Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, berbagai tindak kejahatan sering kali mewarnai. Mulai dari pencemaran nama baik, pencurian, pelecehan, penganiayaan, pembunuhan dan kejahatan lainnya. Nah, sebagai negara hukum nih, beragam tindak kejahatan tersebut tentu meresahkan dan tak boleh dibiarkan. Pelakunya harus dihukum sesuai hukum yang berlaku.
Tapi tahu nggak guys, kalau ternyata ada loh, beberapa keadaan yang dapat menghapuskan hak untuk melakukan penuntutan pidana. Yuk, simak lebih lanjut. Alasan-alasan apa aja sih, yang dapat menghapuskan hak menuntut pidana?
Eits, tapi sebelumnya kita harus tahu dulu nih, apa itu penuntutan dan siapa yang memiliki hak atau kewenangan untuk melakukan penuntutan tersebut?
Selain di KUHAP, terkait penuntutan juga sudah dijelaskan di dalam UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, tepatnya di Pasal 1 angka 4 UU disebutkan bahwa penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Kemudian siapa sih, yang memiliki hak melakukan penuntutan? Yaps, jawabannya adalah penuntut umum. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim. Jadi singkatnya, dalam perkara pidana jaksa penuntut umum bertugas mewakili negara untuk menuntut seorang pelaku kriminal. Kalau kamu mau tahu lebih lanjut mengenai jaksa penuntut umum, coba deh, baca artikel CURKUM #61 PERAN JPU DALAM PERSIDANGAN PIDANA, oke!
Lanjut ya. Nah, dalam proses penuntutan itu, ada hal-hal yang menyebabkan hak untuk melakukan penuntutan pidana menjadi hapus atau gugur. Misalnya kayak berikut ini.
- Nebis in idem
Salah satu penyebab penghapusan atau peniadaan penuntutan terhadap terdakwa adalah adanya asas ne bis in idem. Nebis in idem (non bis in idem) berasal dari bahasa Latin yang berarti ‘tidak atau jangan dua kali yang sama.’ Dalam kamus hukum, nebis in idem artinya suatu perkara yang sama tidak boleh lebih dari satu kali diajukan untuk diputuskan oleh pengadilan.
Asas ne bis in idem ini dapat kita temui dalam Pasal 76 Ayat (1) KUHP. Yaitu, seseorang tidak boleh dituntut dua kali atas perihal yang sama yang sebelumnya telah diputus pengadilan dan memiliki kekuatan hukum tetap, baik itu putusan yang bersifat penjatuhan hukuman (veroordeling), putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging).
Tujuannya agar kepastian hukum dapat tercapai. Kepastian hukum diperlukan agar suatu persoalan diselesaikan dengan tuntas sehingga tidak terus menerus tergantung dan juga untuk menegakkan martabat aparat penegak hukum dengan tindakan maupun putusannya serta untuk menjaga perasaan aman bagi seseorang yang terlibat di dalam suatu perkara.
BACA JUGA: JAKSA, TUGAS DARI SANG PENGACARA NEGARA
Asas nebis in idem ini termasuk salah satu hak asasi manusia yang harus dilindungi hukum dan sekaligus dimaksudkan untuk tegaknya kepastian hukum. Bahwa seseorang tidak diperkenankan mendapat beberapa kali hukuman atas suatu tindak pidana yang dilakukannya.
Apalagi kalau pelaku sudah pernah diadili terkait perbuatan pidana yang dilakukannya, baik berupa pemidanaan, pembebasan ataupun pelepasan dari tuntutan hukum dan putusan itu telah memperoleh keputusan hukum yang tetap, maka terhadap orang tersebut tidak lagi dapat dilakukan pemeriksaan, penuntutan dan peradilan untuk kedua kalinya atas peristiwa yang bersangkutan.
- Tersangka meninggal dunia
Pasal 77 KUHP menentukan bahwa, “Kewenangan menuntut pidana hapus, jika terdakwa meninggal dunia.” Ketentuan ini adalah sebagai konsekuensi dari sifat pidana yang hanya didasarkan atas kesalahan diri pribadi seorang manusia. Artinya harus dianggap bahwa hanya seorang pribadi itu sendirilah yang harus bertanggung jawab. Kesalahan hanya dapat dituntut dari seseorang yang melakukan perbuatan pidana yang masih hidup.
Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal pada abad modern, yakni kesalahan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang bersangkutan.
Prinsip hukum ini adalah penegasan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, yang mengajarkan bahwa tanggung jawab seseorang dalam hukum pidana, hanya ditimpakan kepada si pelaku tindak pidananya. Pertanggungjawaban pidana itu adalah pertanggungjawaban personal atau individual, artinya tidak bisa dibebankan kepada orang lain.
- Daluwarsa atau Lampau Waktu
Dalam bahasa Belanda, daluwarsa dikenal dengan istilah ‘verjaring’ artinya, pengaruh dari lampau waktu yang diberikan oleh undang-undang untuk menuntut seorang tertuduh dalam perbuatan pidana.
BACA JUGA: MENGENAL ULTRA PETITA, VONIS YANG MELEBIHI TUNTUTAN
Berdasarkan pendapat dari Leden Marpaung dalam bukunya yang berjudul “Asas-teori-praktik, hukum pidana,” mengungkapkan bahwa dasar hapusnya kewenangan menuntut karena daluwarsa adalah bahwa berlalunya waktu yang agak lama, ingatan akan kejadian atau peristiwa pidana yang ada telah hilang. Dengan keadaan demikian, kemungkinan pembuktiannya menjadi rumit, bahkan alat bukti kemungkinan telah lenyap.
Dan juga kita bisa lihat di dalam pasal 78 KUHP dalam Pasal 78 yang menentukan bahwa kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa.
Oke, guys. Jadi begitu ya, soal alasan-alasan yang dapat menggugurkan hak penuntutan pidana bagi seorang tersangka/pelaku kriminal. Menurut kamu, ada lagi nggak sih, hal-hal yang menghapuskan hak penuntutan? Tulis di kolom komentar ya.
Hmm, meskipun ada hal-hal yang meniadakan penuntutan jangan pernah dicoba, ygy! See you.