Katanya ini untuk masa depan rakyat, katanya ini untuk kemajuan bangsa. Bukannya kalau memang itu untuk rakyat, seharusnya rakyat menyambut dengan suka cita, tapi kenapa justru rakyat menyambut dengan duka cita?
Omnibuslaw UU Cipta Kerja secara resmi tercatat sebagai UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Mungkin UU ini akan menjadi sejarah hilangnya kesakralan pembentukan suatu UU. UU ini terkesan dibuat dengan ‘sembrono.’ Kita lihat beberapa waktu ke belakang, rakyat sempat dibuat bingung dengan adanya beberapa versi jumlah halaman naskah RUU Cipta Kerja yang diserahkan ke presiden, ada yang 812 halaman, 905 halaman bahkan ada yang 1035 halaman. Nah, lebih bingung lagi ternyata yang diteken presiden itu berjumlah 1187 halaman. Lah, jadi yang diteken presiden itu naskah yang mana?
Yakin itu naskah yang diserahkan ke presiden waktu itu? Jangan-jangan ada perbaikan? Memang boleh sih, ada perbaikan dalam suatu RUU. Tapi coba kita lihat deh UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 72 sekaligus penjelasannya mengatur bahwa ada tenggang waktu 7 (tujuh) hari untuk menyampaikan naskah RUU ke presiden untuk selanjutnya disahkan menjadi UU. Tenggang waktu tersebut dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan RUU ke Lembaran Resmi presiden, sampai dengan penandatanganan pengesahan Undang-Undang oleh presiden dan penandatanganan sekaligus Pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Jadi perbaikan yang dimaksud misalnya jika ada kesalahan penulisan alias typo. Ya maklumlah namanya juga buatan manusia, wajarlah kalo ada typo kan. Dan tentu saja perbaikan tersebut dilakukan sebelum penyerahan naskah RUU ke presiden.
Jadi bolehkan curiga kalau naskah UU Cipta Kerja ini bukan naskah yang diserahkan ke presiden waktu itu?
Banyak elemen masyarakat yang menyuarakan kegelisahan pasca diundangkannya UU Cipta Kerja ini. Menanggapi hal tersebut, pemerintah pun menyampaikan klarifikasi, bisa kita lihat di akun resmi twitter @KemensetnegRI menyampaikan terkait kesalahan yang ada di dalam UU Cipta Kerja.
BACA JUGA: YAKIN BERHARAP PRESIDEN MENERBITKAN PERPPU PEMBATALAN UU CIPTA KERJA?
“Kami menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja.”
“Kekeliruan teknis ini menjadi catatan bagi kami dan masukan untuk terus menyempurnakan kendali kualitas terhadap RUU yang hendak diundangkan agar kesalahan teknis seperti ini tidak terulang lagi.”
Lah, sudah diteken kok baru direview? Pertanyaan konyol yang muncul ketika pemerintah menyampaikan alibinya. Eeeeh, tapi yakin itu hanya kekeliruan teknis administratif dan tidak berdampak ke implementasi UU Cipta Kerja? Yuks ah, coba kita unboxing pasal-pasal yang jadi sorotan atas kekeliruan di dalam UU Cipta Kerja.
Pasal 6 di Bab III Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha
Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a meliputi:
- penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko;
- penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha;
- penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
- penyederhanaan persyaratan investasi.
Rujukan Pasal 6 tersebut adalah Pasal 5 Ayat (1) huruf a. Sedangkan Pasal 5 berbunyi, “Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.”
Jadi Pasal 5 Ayat (1) yang dimaksud dalam Pasal 6 itu yang mana? Semacam pasal fiktif belaka.
Pasal 175 angka 6 di Bab Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan Untuk Mendukung Cipta Kerja
Pasal ini mengubah ketentuan Pasal 53 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang jadi sorotan dalam pasal ini adalah kesalahan rujukan. Dimana dalam Ayat (5) yang berbunyi.
“Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.”
Padahal ketentuan mengatur tentang apa yang dimaksud pada Ayat (5), seharusnya ditentukan pada Ayat (4) bukan Ayat (3). Lagi-lagi typo yaaaa.
BACA JUGA: UNBOXING “PASAL 3” PP MANAJEMEN PNS
Ini sih, cuma salah dua contoh pasal yang nggak jelas rujukannya. Padahal, di dalam khasanah Hukum Administrasi Negara, pemerintah harus menerapkan AAUPB (Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik) dalam membuat suatu perundang-undangan. Salah satu asasnya yaitu Asas Kecermatan. Kekeliruan yang diakui pemerintah dan dibuktikan kesalahan rujukan yang terlihat di dua pasal yang saya jelaskan sebelumnya, menandakan kalau di sini tidak ada kecermatan si pembuat UU. Hal ini akan mengakibatkan tidak ada kepastian hukum bagi masyarakat dan tentunya akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat, serta nantinya ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan alias tidak implementatif.
Padahal asas kepastian hukum dan asas dapatnya dilaksanakan (menurut Hamid S. Attamimi) merupakan salah satu asas yang harus ada dalam suatu pembuatan peraturan perundang-undang untuk menjamin adanya kepastian hukum di masyarakat.
Selain itu pendapat Hamid S. Attamimi, “Hukum hendaknya tidak merancukan pokok masalah dengan pengecualian, pembatasan atau pengubahan. Penggunaan kata-kata tersebut dalam keadaan yang benar-benar diperlukan.”
Banyak kesemrawutan yang ada di dalam UU Cipta Kerja, bisa dibayangkan bagaimana dampak dari kekeliruan tersebut. Apakah pemerintah tetap santuy dengan alasan kalau itu hanya clerical error (kekurang cermatan) alias typo. Apakah kekeliruan teknis ini merupakan pembenaran atas sebuah kesalahan?
Udahlah, ngaku aja kalo pemerintah telah mengabaikan beberapa asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Sepertinya Pak Hamid Attamimi menangis melihat kenyataan yang terjadi sekarang ini.