Sepertinya semua udah tau kalo pemerintah melalui Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian menerbitkan Peraturan Menko Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja. Ya kita tau sama taulah kalo Permenko Bidang Perekonomian itu merupakan salah satu bentuk upaya Pak Presiden untuk mewujudkan janjinya ketika kampanye kemarin itu, tuh.
Emang sih, pusat ribut-ribut soal Kartu Prakerja ini bukan di materi muatan Permenko Bidang Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020, tapi isunya merebak di seputar media pelatihan yang salah satunya milik seorang anggota Staf Khusus Presiden yang katanya mewakili generasi milenial itu. Pangkal persoalannya adalah perusahaan doi jadi mitra pemerintah untuk mensukseskan program Kartu Prakerja ini.
Soal itu, kayaknya nggak usah saya bahas deh, lagian juga udah banyak orang yang ngomel-ngomel di media. Ini kan perkara etika seorang pebisnis yang dekat dengan penguasa dan lagi jadi staf khusus presiden. Kalo dia tetap bertahan jadi stafsus dan perusahaannya tetap jadi mitra pemerintah, ya itu sih perkara etikanya dia aja yang bermasalah.
Kembali lagi ke soal materi muatan Permenko Bidang Perekonomian Nomor 36 Tahun 2020. Secara kelembagaan, program ini diselenggarakan oleh Komite Cipta Kerja yang diketuai oleh Menko Bidang Perekonomian. Komite Cipta Kerja sendiri dibentuk berdasar Pasal 13 Ayat (1) Perpres Nomor 36 Tahun 2020. Pemilihan nama ini mengingatkan saya dengan sebuah RUU yang kontroversial. 11 – 12.
Oke, lanjut. Nah, dalam pelaksanaan pelatihan, Pasal 25 Ayat (1) Permenko Bidang Perekonomian Nomor 36 Tahun 2020 bilang kalo pelatihan dilaksanakan oleh Lembaga Pelatihan yang dimiliki swasta, badan usaha milik negara alias BUMN, badan usaha milik daerah atawa BUMD, atau pemerintah. Nantinya Lembaga Pelatihan itu didaftarkan dan kalo memenuhi syarat, maka bisa ditetapkan sebagai Lembaga Pelatihan Program Kartu Prakerja.
Ini, nih, yang menarik. Kalo Lembaga Pelatihan milik swasta, BUMN atau BUMD gitu masih gampanglah untuk Komite Cipta Kerja meminta jajaran di bawahnya, dalam hal ini Manajemen Pelaksana, melakukan pencabutan kepesertaan Lembaga Pelatihan apabila kinerjanya kurang memuaskan. Lha kalo Lembaga Pelatihannya milik pemerintah? Yakin tuh Manajemen Pelaksana bakalan mencabut kepesertaan Lembaga Pelatihan milik pemerintah?
BACA JUGA: KONTRAK KERJA & PRAKTEK TAHAN MENAHAN IJAZAH
Misalnya nih, berdasarkan hasil evaluasi, Lembaga Pelatihan Kerja milik Kementerian Ketenagakerjaan ternyata nggak bagus, lalu secara normatif Lembaga Pelatihan tersebut dicabut statusnya sebagai Lembaga Pelatihan Program Kartu Prakerja. Lahhh, mau ditaruh mana coba mukanya Menteri terkait? Apa nggak bakalan berantem tuh para pejabat? Ups, maaf keceplosan.
Sekarang mari beralih ke materi yang diajarkan. Saya dikasih screenshot gambar oleh seorang teman, isinya mengenai kelas-kelas yang dapat diambil untuk peserta program Kartu Prakerja di salah satu startup yang jadi mitra pemerintah. Jujur aja, bagi saya kelasnya sangat mengharukan, wong isi kelasnya macam Membangun Channel Youtube, Kelas Menulis Skenario, Kelas Public Speaking, ya gitu-gitulah.
Saya nggak bermaksud buat merendahkan para pemateri kelas-kelas itu. Cuma gini deh, yakin kelas itu aplikatif buat mencari kerja? Lha ini rakyatnya dilatih buat kompetitif di dunia kerja, apa pada disuruh jadi YouTuber ala Atta Halilintar? Kelas yang menurut saya cukup aplikatif untuk semua orang, bahkan buat emak-emak itu ada di kelas Teknik Memasak. Itu pun masakan yang diajarkan tergolong mewah bagi saya. Ha piye? Salah satu materinya masak lobster je, bos. Kalo mau praktekin materinya kan kudu beli lobster, tuh. Itu baru bahan dasarnya. Belum bumbu-bumbunya, belum peralatannya. Nah, lho.
Hal yang paling nggatheli bagi saya dalam program Kartu Prakerja ini adalah bagian evaluasinya. Evaluasi diberikan untuk menilai efektivitas pelaksanaan program Kartu Prakerja yang dilaksanakan oleh peserta program Kartu Prakerja. Evaluasi dilakukan berdasar Pasal 21 Ayat (2) sama Pasal 29 Permenko Bidang Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020. Oke, itu emang bagus, masak program dengan uang negara nggak ada evaluasinya?
Yang jadi masalah adalah, nggak ada satu pun pasal di Permenko Bidang Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020 yang mengatur evaluasi untuk peserta Kartu Prakerja ini. Kalo dilihat di Pasal 20, peserta Kartu Prakerja udah auto dapet sertifikat sebagai bukti mereka udah ikut pelatihan. Ini tuh sebenernya gimana?
Katanya Kartu Prakerja untuk meningkatkan kompetensi pencari kerja, pekerja/buruh korban PHK dan pekerja/buruh yang membutuhkan peningkatan kompetensi. Lha kalo nggak ada evaluasinya, gimana mau tau kompetensinya? Ini mah namanya negara mengafirmasi kalo di negara ini semua hal butuh bukti tertulis berupa sertifikat, bukan kemampuan yang mumpuni.
Terakhir, terkait uang yang akan diterima peserta. Kabar yang beredar di media, setiap peserta akan menerima Rp3.55 juta. Yang murni diterima peserta itu ‘cuma’ Rp2.55 juta, yang merupakan insentif untuk peserta yang sudah menyelesaikan pelatihan. Jadi Rp2.4 juta itu insentif untuk 4 (empat) bulan dan yang Rp150 ribu itu untuk insentif pengisian evaluasi terhadap Lembaga Pelatihan. Sisa Rp1 juta untuk pelatihan. Lho kok bisa?
BACA JUGA: RUU CILAKA, MEMUDARKAN STRICT LIABILITY
Iya, emang begitu. Pasal 10 Permenko Bidang Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020 bilang kalo manfaat yang diterima berupa pelatihan dan insentif. Nah, berdasar Pasal 11 Ayat (1), pemerintah emang ngejanjiin kalo tiap peserta dapat bantuan dalam bentuk saldo non-tunai yang nantinya digunakan untuk membayar pelatihan di platform digital.
Jangan ngimpi buat coba-coba nyairin uang Rp1 juta itu, soalnya Pasal 12 Ayat (1) udah bilang kalo uangnya nggak bisa dicairin, wajib digunakan sesuai tahun anggaran, dan dapat digunakan untuk lebih dari satu pelatihan. Soal mengikuti lebih dari satu pelatihan, Pasal 13 Ayat (1) bilang kalo saldo Rp1 juta itu kurang, peserta bisa nambahin saldo. Penambahan saldo itu bisa melalui dana pribadi, melalui Pemerintah Daerah, melalui Manajemen Pelaksana atau melalui donatur.
Lalu gimana dong kalo nggak dapet bantuan dari Pemerintah Daerah, Manajemen Pelaksana atau donator? Kalo itu sih saya cuma bisa bilang, “Ya udah tabah aja. Pilihannya cuma nambah kelas tapi nombok atau kelasnya cukup itu aja, yang penting program Kartu Prakerja berjalan.”
Oke, kira-kira begitulah soal Kartu Prakerja ini. Oh ya, untuk kuota internet buat mengikuti kelas pelatihan, itu kalian beli sendirilah. Pemerintah nggak nanggung itu. Toh katanya salah satu tujuan Permenko Bidang Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020 kan buat membantu mereka yang kena PHK karena pageblug corona. Mungkin pemerintah berpikir mereka yang kena PHK itu bisa ikut pelatihan online sambil fotosintesis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, jadi lebih milih ngadain program ini ketimbang ngalokasiin uang negara buat kasih bantuan. Mungkin. ~ ~