Dua minggu terakhir, heboh kasus dugaan pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel) oleh ayah kandungnya. Umpatan dan pisuhan mungkin terucap ketika netizen membaca cerita lengkapnya di web Project Multatuli.
Aku gak mau mengkritisi kinerja polisi ataupun mengkritisi profesionalitas pegawai P2TP2A Luwu Timur, karena aku juga gak tau kejadian dan fakta yang terjadi di lapangan. Kali ini, aku cuma mau sharing pengalamanku ketika mendampingi kasus yang serupa, tapi tak sama.
Sejak 2017, aku bergabung di salah satu Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan milik pemerintah. Sesuai dengan bidangku, aku di sana mengabdi sebagai seorang konselor hukum. Ada bermacam-macam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang pernah aku temui. Ini salah satunya.
Akhir Desember 2018, seorang ibu shock setelah mengetahui sang suami, diduga telah mencabuli anaknya yang berusia 2,5 tahun. Ya, gak salah baca kok, aku mau menceritakan tentang seorang ayah yang tega mencabuli anak kandungnya yang masih balita.
Karena menduga anaknya mengalami kekerasan seksual, si ibu segera membawa anaknya pergi ke puskesmas terdekat untuk diperiksa. Hasilnya adalah, benar bagian vital anak mengalami luka dan infeksi.
Setelah itu, si ibu segera lapor ke polisi dan meminta perlindungan, hingga akhirnya diarahkan untuk sementara waktu tinggal di ‘rumah aman’ (safe house) milik P2TP2A terdekat.
Tepat 1 Januari 2019, kasus tersebut masuk di lembagaku. Sebagai seorang konselor hukum, aku bertanggung jawab untuk membantu mengungkap kasus tersebut.
Proses penyelidikan dan penyidikan berjalan cukup sulit, karena gak ada saksi dan si anak masih terlalu kecil untuk dimintai keterangan. Meskipun lancar berbicara, tapi keterangan si anak masih berubah-ubah. Kesulitan lainnya adalah si anak trauma berat dan tak ingin menceritakan kejadian yang dialaminya kepada penyidik.
Setelah laporan, polisi segera meminta korban (anak) untuk divisum di salah satu rumah sakit plat merah terdekat. Namun entah apa sebabnya, hasil visum menyatakan alat vital si anak baik-baik saja (aku lupa juga hasil visum pastinya apa). Intinya visum tersebut gak bisa dijadikan alat bukti, hingga akhirnya penyidik menggunakan hasil pemeriksaan yang di puskesmas.
Karena gak ada saksi pada saat kejadian, penyidik sangat kesulitan untuk mengungkap kasus ini. Berbekal hasil rekam medis di puskesmas dan saksi-saksi yang minim, akhirnya polisi menetapkan ayah korban sebagai pelaku.
Proses penyidikan tetap berjalan lambat, karena terhambat minimnya saksi, bukti dan sulitnya menggali keterangan dari si korban yang masih balita. Sampai masa penahanan oleh penyidik (polisi) udah mau habis, kasus masih sulit terungkap dengan pasti.
Di lain sisi, keluarga pelaku (ya masih keluarga korban) menuntut pelaku segera dibebaskan. Gak cuma keluarga, masyarakat di sekitar rumah mereka pun ingin pelaku dibebaskan dari tahanan. Pernah dalam satu forum, salah seorang perangkat desa mereka menyampaikan bahwa seharusnya kasus seperti ini tidak perlu sampai ke polisi, karena ini masalah keluarga.
Gundulmu itu!!!! Huuu, emosi dengarnya. Gimana ceritanya, cabul ke anak kandung dianggap masalah keluarga.
Aku melihat penyidik sudah mulai putus asa, karena waktu penahanan semakin menipis. Hingga akhirnya, dari lembagaku menyarankan untuk dilakukan psikologi forensik terhadap si anak. Harapanku waktu itu adalah, hasil pemeriksaan psikologi forensik dapat melengkapi dan memperkuat bukti-bukti.
Mengingat psikologi forensik masih jarang terdengar, keinginanku itu ditolak habis-habisan oleh penyidik. Tapi aku dan tim gak menyerah, lalu kami minta bantuan dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk meyakinkan penyidik, bahwa hasil psikologi forensik bisa membantu untuk mengungkap kasus ini.
Untungnya kami berhasil meyakinkan penyidik untuk mempergunakan psikologi forensik dan meminta bantuan dari Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor). Penyidik kembali melakukan perpanjangan waktu penahanan dengan bantuan Bu Jaksa. Akhirnya setelah sebulan melakukan forensik, kasus mulai ada titik terang.
Di sisi lain, penyidik juga melakukan digital forensik terhadap hp milik pelaku. Hasilnya, eng ing ing, isinya donlotan video bokep toookk. Selain video bokep ala-ala, ada banyak video cabul terhadap anak (pedofil).
Akhirnya, setelah semua bukti lengkap, berkas perkara naik P21. Sidang berjalan alot, terdakwa juga bersikeras gak mau mengakui perbuatannya. Untungnya jaksa bekerja keras untuk membuktikan kasus ini.
BACA JUGA: EXPLOITASI ANAK JAMAN NOW
Alhamdulillah, setelah proses hukum yang begitu panjang, akhirnya perkara diputus. Terdakwa dinyatakan terbukti secara sah meyakinkan melakukan pencabulan terhadap anak kandungnya yang saat itu berusia 2,5 tahun. Tokk, diputus 15 tahun penjara. Done, mission complete.
Abis putusan, lega banget rasanya, karena sudah berhasil menyelesaikan kasus ini. Alhamdulillah gak jadi kasus mangkrak, meskipun selesai dalam waktu yang sangat panjang.
Kasus ini cukup membekas di ingatanku, karena kasus ini benar-benar menguras emosi. Jadi, sampai di sini, aku benar-benar bisa memahami gimana perasaan si ibu tiga anak di Luwu Timur. Kecewa, sedih, sakit hati, campur jadi satu. Yang paling berasa adalah hilangnya keadilan untuk mereka, karena kasus tidak terselesaikan.
Gitulah ceritaku hari ini. Sebenernya karena ini kasus lama, aku dah banyak lupa detailnya-detailnya. Padahal pernak-perniknya itu yang bikin seru, hahaha. Tak apalah, setidaknya aku cuma mau sharing aja, bahwa mengungkap kasus-kasus pencabulan itu emang sulit, karena minimnya saksi.
Ya, harapanku, meskipun berat, semoga aja kasus pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur ini bisa dibuka dan diperiksa kembali, tolong berikan keadilan untuk mereka.