Sepak bola berduka, khususnya Indonesia.
Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang. Mari sejenak kita berdoa bagi para korban, semoga mereka senantiasa diberikan tempat yang terbaik di sisi Tuhan YME.
Kali ini vibes tulisanku agak-agak sad gimana gitu yagesya. Sumpah sih, kemaren aku agak shock, baru bangun tidur, eeh malah baca berita duka dari Aremania.
Aku adalah emak-emak yang suka nribun nonton bola. Biasanya aku rajin nonton PSS Sleman kalo lagi main di sekitaran Jogja-Solo. Aku tau banget rasanya berdesak-desakan pas mau masuk or keluar stadion. Bahkan pas aku nonton laga PSS Sleman vs Persib Bandung dan PSS Sleman vs Persebaya Surabaya Agustus lalu, aku dong sampe kegencet-gencet. Ya, maklumlah aku kan kecil. Jadi aku tak terlihat bagaikan kuman, hiks. Rasanya sesak nafas, gerah, sakit juga karena kegencet-gencet orang dari depan, belakang, sebelah kiri-kanan. Bahkan, habis nribun yang terakhir, paginya tangan aku memar dan ada bekas cakaran gitu.
Dalam keadaan fine-fine aja, mau masuk or keluar stadion begitu horornya. Bisa dibayangkan, gimana kalo pas keadaan panik or lagi ada huru-hara di dalam stadion, semua orang pasti pengen segera keluar stadion untuk menyelamatkan diri. Risikonya gak cuma kegencet, memar dan luka-luka, penonton bisa aja meninggal dunia akibat sesak nafas, jatuh dan terinjak-injak.
Aku masih terus ngapdet jumlah korban jiwa tragedi Stadion Kanjuruhan. Sampai dengan artikel ini aku tulis, jumlah korban jiwanya masih simpang siur. Ada yang bilang jumlah korban meninggal 127 orang, ada juga yang bilang korban meninggal 174 orang. Tapi, menurut updetan detik.com per hari ini (3/10/2022) korban tragedi Kanjuruhan sebanyak 488 orang. Dari 448 korban itu, sebanyak 302 orang di antaranya mengalami luka ringan, 21 orang luka berat dan 125 orang meninggal dunia.
Pemain PSS Sleman Tri Handoko pernah bilang, “Jika sepakbola lebih mahal daripada nyawa, maka kami lebih memilih hidup tanpa sepak bola.” Setuju, aku setuju banget. Satu nyawa aja sangat berharga, ini ada ratusan nyawa melayang akibat kebodohan. Maap frontal yaa, emang ini provokator bodoh dan petugas keamanannya mungkin suka bolos latihan pas simulasi huru-hara.
Dalam sebuah pertandingan, menang kalah itu biasa. Kalo kamu cinta sepak bola, menang kalah ya terima aja. Namanya juga cinta, mainnya bagus ato jelek, ya pasti tetep cinta. Aku loh, tetap menerima meskipun PSS Sleman 3x kali kalah home match. Kecewa sih iya, tapi yaudah lah.
Harusnya nih ya, seluruh suporter liga Indonesia belajar dari PSS Sleman tentang apa itu sepak bola dan kedewasaan. Cukup ungkapan kekecewaan atas kekalahan dengan ritual membelakangi pemain tanpa menyanyikan anthem sampai PSS bisa menang.
Selain provokator, ini petugas keamanannya juga agak-agak. Masak sih, pada gak bisa baca. Sudah jelas-jelas federasi sepak bola internasional FIFA melarang penggunaan gas air mata di stadion. Dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations. Pasal 19 huruf b) bilang, ‘No firearms or “crowd control gas” shall be carried or used.’ Intinya sudah jelas ya, bahwa senjata api atau gas untuk mengontrol kerumunan dilarang dibawa serta digunakan.
Menurut berita yang aku baca di detik.com, penggunaan gas air mata oleh pihak kepolisian dalam tragedi Kanjuruhan bermula saat suporter Arema masuk ke lapangan usai timnya kalah melawan Persebaya. Sejumlah suporter yang masuk ke lapangan disebut sudah anarkis, sehingga polisi menghalau dan menembakkan gas air mata. Tembakan gas air mata oleh polisi membuat suporter panik, berlarian dan terinjak-injak.
Nah, masalahnya nih ya, FIFA Stadium Safety and Security Regulations mengatur bahwa membawa gas air mata aja gak boleh, apalagi sampe digunakan. Masak sih, panitia pelaksana dan petugas keamanan gak saling berkoordinasi dan gak paham dengan standar aturan keamanan di stadion.
Udah gitu, dari Thread-nya tempodotco di Twitter, kronologi versi polisi bilang bahwa, “Karena Aremania semakin brutal dan terus menyerang aparat keamanan, serta diperingatkan beberapa kali tidak dihiraukan, kemudian aparat keamanan mengambil tindakan dengan menembakkan gas air mata ke arah lapangan, tribun selatan (11, 12, 13) dan tribun timur (tribun 6), akibatnya setelah penembakan gas air mata, suporter yang berada di tribun berusaha keluar melalui pintu secara bersamaan, sehingga berdesak-desakan, banyak yang tergencet dan terjatuh serta mengalami sesak nafas.
Lah, kan aneh ya, kenapa juga menembakkan ke tribun. Kasian dong, suporter-suporter yang gak ngapa-ngapain dan gak ikut-ikutan rusuh, kena semprotan gas air mata. Lah, kan suporter jadi panik. Menurut BBC, para ahli sepakat bahwa efek dari penggunaan gas air mata adalah rasa terbakar, sensasi berair di mata, kesulitan bernapas, nyeri dada, air liur berlebihan dan iritasi kulit. Selain itu, efek gas air mata juga bisa menimbulkan kebingungan dan disorientasi yang memicu kepanikan dan kemarahan. Jadi, pastilah keadaan stadion jadi chaos.
Kalo menurut aku, tragedi ini harus diusut sampe tuntas. Harus ada yang bertanggung jawab atas hilangnya nyawa ratusan orang. Siapapun itu, entah panpelnya, entah petugas keamanannya or siapapun yang menjadi penyebabnya.
Gak mikir apa, selain menghilangkan ratusan nyawa, akibat ulah kalian, sepak bola Indonesia terancam mendapatkan sanksi dari FIFA. Dan akibat ulah kalian juga, aku terancam gak bisa nribun nonton PSS lagi. Aiiiisssshhhhhh, gini nih, yang bikin aku kesaaaaaalllll!!!!