Tradisi umat muslim di Indonesia pasca Idulfitri sangat beragam, salah satunya silaturahmi kepada sanak saudara untuk saling memaafkan antara sesama atau yang kerap disebut Halalbihalal. Namun tahukah kamu, sejarah Halalbihalal ternyata untuk penyatuan para elit politik merajut perdamaian.
Sungguh sangat inovatif pemikiran para tokoh Islam di Indonesia. Sesuai yang aku bahas di atas tentang Halalbihalal, bahwa istilah ini tidak dikenal dalam Al-Qur’an maupun Hadist.
Walaupun diksinya tidak tercantum dalam sumber hukum Islam, bukan berarti kegiatan ini tergolong haram, karena memang makna dan kandungannya sangat baik, apalagi sebagai upaya untuk tetap menjaga perdamaian di bumi Indonesia yang sangat beragam.
Sejarah Halalbihalal
Sebagai bangsa yang tidak melupakan sejarah, kiranya kita wajib berterima kasih kepada KH. Abdul Wahab Chasbullah, yang merupakan tokoh penggagas Halalbihalal. Berikut yang dikutip dari nu.or.id di balik makna dan agenda Halalbihalal, rupanya tersirat tujuan penyatuan elit politik untuk merajut perdamaian.
Sejarah mencatat, pada tahun 1948, negara kita sedang dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara terjadi pula pemberontakan di mana-mana, di antaranya DI/TII, PKI Madiun.
BACA JUGA: HUKUM DAN SEJARAH THR DI INDONESIA, DARI MILIK PNS/ASN HINGGA MILIK SEMUA
Singkat cerita, pada pertengahan bulan Ramadan tahun 1948, Bung Karno selaku Presiden RI kala itu memanggil KH. Wahab Chasbullah ke Istana Negara dan dimintai pendapat serta sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang sedang sakit dan kacau.
Sebagai tokoh Muslim, kemudian beliau menyarankan kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahim, sebab sebentar lagi Idulfitri, di mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturahmi.
Terhadap saran tersebut, rupanya sang Proklamator kurang setuju, dengan alasan bahwa silaturahmi itu terkesan biasa saja dan beliau menginginkan adanya agenda atau istilah yang lainnya.
Namanya juga seorang pemikir dan cendekiawan Muslim, mendapatkan tantangan dari Bung Karno tersebut, kemudian dijawab gampang oleh KH Wahab Chasbullah, dengan argumentasi “Para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan dan saling menghalalkan. Sehingga silaturahmi nanti kita pakai istilah Halalbihalal.”
Dengan wacana dan argumentasi apik yang disampaikan KH. Wahab Chasbullah, lantas Bung Karno menyetujui bahwa setelah Lebaran tahun 1948 akan mengundang semua tokoh politik datang ke Istana Negara menghadiri silaturahmi yang diberi judul Halalbihalal. Akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
BACA JUGA: TEMPLATE PIDATO PEJABAT PAS ACARA HALAL BIHALAL YANG GITU-GITU AJA
Halalbihalal Merajut Perdamaian
Lain dari sejarah yang nilai filosofisnya sudah dijelaskan di atas, jika dicermati lebih lanjut pada momentum Halalbihalal ini seharusnya dapat dilaksanakan serta diterapkan tiap hari supaya perdamaian selalu terjaga di Indonesia.
Melihat keberagaman Indonesia yang begitu majemuk, sehingga melalui cara khusus itulah bisa menyatukan permusuhan dan membuat perdamaian sehingga tidak mudah terpecah belah dan dapat menimbulkan konflik-konflik yang merugikan masyarakat.
Dengan memahami nilai filosofi Halalbihalal yang sudah diajarkan KH. Wahab Chasbullah bahwa saling menyalahkan itu merupakan perbuatan dosa (haram), maka untuk memperbaikinya para pihak harus menghalalkan (memaafkan).
Prinsip ini sangat pas dan cocok untuk diimplementasikan segenap masyarakat Indonesia lintas kalangan, supaya kerukunan selalu terjaga dan perdamaian tetap dirajut di Indonesia yang sangat beragam.
Mengingat bukankah sejatinya hukum itu adalah menciptakan keadilan dan membawa perdamaian, sehingga sudah seyogyanya nilai Halalbihalal mampu dipraktekkan dalam setiap langkah penegak hukum di Indonesia dengan tetap mengacu pada aturan serta kepastian norma hukum yang berlaku.