Fanpage Klikhukum.id sering banget dikirimi inbox yang berisi sambatan, keluhan, umpatan dan makian tentang penegakan hukum di Indonesia. Isinya beragam, tapi umumnya adalah ungkapan rasa kekecewaan, sakit hati dan frustasi dengan keadilan dan proses hukum yang mereka alami. Mereka curhat dan mengeluarkan semua uneg-unegnya kepada kami, Klikhukum.id.
Memang adil itu gak akan memberikan kepuasan kepada semua pihak, tapi gak bisa dipungkiri, ada saja masyarakat pencari keadilan yang merasa kecewa dan sakit hati, karena mempunyai pengalaman buruk ketika berurusan dengan hukum.
Saking sakit hatinya, mereka sampai-sampai gak percaya lagi sama hukum, gak percaya lagi sama keadilan, gak percaya lagi sama aparat penegak hukum. Itu semua terjadi karena mereka dikecewakan oleh oknum, hingga akhirnya membuat citra aparat penegak hukum buruk di mata mereka. Ibarat karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Aparat penegak hukum, bukan hanya kepolisian, kejaksaan dan badan peradilan lhoo gaes. Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, bilang bahwa advokat itu merupakan aparat penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Sebagai seorang advokat, aku agak miris melihat kenyataan bahwa saat ini citra advokat sebagai aparat penegak hukum udah banyak tercoreng akibat ulah oknum-oknum advokat nakal. Karena ulah mereka, akhirnya banyak orang yang gak percaya lagi dengan advokat.
Sering aku baca komentar netizen di grup konsultasi hukum di medsos. Misalnya nih, ada yang bertanya bagaimana proses perceraian, ada aja yang nyeletuk, “Udah selesaikan sendiri aja, gak usah pake pengacara, udah ribet, bayarnya mahal pula, buang-buang uang aja.”
Kenapa ya, mereka berpikir begitu?
Mungkin mereka pernah punya pengalaman buruk ketemu advokat nakal kali ya, tapi percaya deh, gak semua begitu. Banyak banget kok, advokat yang menjalankan profesinya karena panggilan jiwa dan passionnya. Kalo emang passionnya, advokat pasti akan bekerja dengan sepenuh hati, profesional dan penuh dedikasi.
Advokat itu memang berjualan jasa hukum, tapi jika profesi itu dijalankan dengan hati, maka orientasinya bukan semata-mata untuk mencari uang dan profit. Beberapa waktu yang lalu aku pernah main ke Kantor Hukum 3H. Kantor hukum yang terletak di Timoho, kota Jogja itu didirikan oleh orang-orang yang memang memiliki passion di dunia hukum. Menjadi advokat adalah jalan ninjanya.
Aku mengenal salah dua founder Kantor Hukum 3H yang bernama Mas Heri dan Mas Hedi. Di kantor itu aku melihat foto tiga orang keren terpajang rapi di ruang kerja, satu orang yang belum aku kenal rupanya bernama Mas Hariyadi. Dengan sotoynya aku kira 3H itu singkatan dari Heri, Hedi dan Haryadi. Usut punya usut, ternyata oh ternyata aku salah.
Meskipun 3H adalah sebuah kantor hukum, tapi salah seorang foundernya bukanlah seorang advokat. Mas Hariyadi rupanya adalah seorang doktor yang mempunyai keahlian khusus tentang kebudayaan antropologi dan juga teologi. Beliau adalah pakar keistimewaan Yogyakarta. Wah, keren banget kan.
Setelah ngobrol-ngobrol, aku baru tau ternyata 3H itu adalah kepanjangan dari help, hope and harmony. Karena penasaran, aku sempat bertanya, apa sih filosofi dari tiga kata tersebut. Rupanya help, hope dan harmony merupakan cita-cita luhur dari ketiga founder.
Mas Hariyadi menyampaikan satu statement yang menarik, filosofi 3H itu adalah harapan agar kantor hukum 3H dapat memberikan pertolongan (help) dan pengharapan (hope) dengan hati yang tulus. Lalu kemudian nilai harmony yang dimaksudkan adalah keseimbangan atau harmonisasi dalam segala aspek, jadi mereka sepakat untuk menjalankan misi profesional, juga misi sosial.
Prinsipnya kantor hukum 3H gak semata-mata berorientasi untuk mencari profit, tapi ada idealisme dan nilai-nilai mulia yang ditanamkan oleh para foundernya. Inilah mungkin nilai-nilai yang gak pernah dipikirkan ataupun dijalankan oleh oknum-oknum advokat yang hanya berorientasi dengan uang dan uang. Herannya advokat-advokat gak berintegritas gitu masih aja laku dan selalu ada di tengah-tengah masyarakat. Mungkin itulah penyebab selalu aja ada masyarakat pencari keadilan yang kemudian kecewa dan berstatement “Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.”
Bener juga kata Mas Hedi, sebenernya kalo semua advokat bekerja sesuai rule dan mentaati etika profesi, mungkin gak bakal ada lagi stigma negatif tentang profesi ini. Memang sudah seharusnya advokat itu memiliki nilai-nilai moral yang diyakini dengan penuh kesadaran. Selain berpegang teguh pada kode etik advokat, ada prinsip-prinsip etis yang memang tertanam dalam hati dan pikiran advokat.
Dari kantor 3H aku belajar, bahwa bekerja dari hati ini penting sekali. Setiap orang harus punya nilai-nilai luhur yang menjadi pegangan dan pedoman dalam hidupnya. Aku sangat berharap, makin banyak kantor-kantor hukum yang menanamkan dan memiliki nilai-nilai luhur dalam menjalankan tugas mulianya. Kalo gak dimulai dari kita, dari siapa lagi. Jika semua advokat menjalankan profesinya dengan sepenuh hati, maka profesi advokat akan dihargai dan tidak akan pernah dipandang sebelah mata.