“Unus testis nullus testis,” artinya satu saksi bukan merupakan saksi.
Jika sedang membicarakan saksi, pasti kamu teringat dengan adagium tersebut. Sudah menjadi rahasia umum kalau hanya ada satu saksi dalam suatu peristiwa, maka itu tidak bisa dibilang saksi.
Pasal 1 angka 27 KUHAP mendefinisikan saksi sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar, lihat dan alami sendiri.
Dan kalau kalian tahu, saksi itu ada banyak jenisnya, nggak cuma satu. Jadi yang aku maksud saksi nggak cuma satu itu dari sudut pandang jenisnya bukan dari kuantitasnya. Mari kita bahas.
1. Saksi korban
Sudah pasti saksi ini berasal dari korban, di mana korban itu hadir di dalam persidangan karena melihat, mendengar dan mengalami sendiri peristiwa yang menimpanya. Ya, iyalah, kalo dia nggak ngalamin sendiri nggak mungkin dia jadi korban kan.
BACA JUGA: CURKUM #83 ALAT BUKTI HUKUM ACARA PIDANA
2. Saksi de auditu
Kebalikan dengan saksi korban atau saksi yang lain, saksi de auditu itu saksi yang tidak melihat, mendengar dan mengalami sendiri. Dia ini kayak orang yang tahu kejadian gara-gara ikut ngerumpi, tapi diakui setelah adanya Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010. Putusan ini memperluas definisi saksi kalau orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar, lihat dan alami sendiri.
3. Saksi a charge
Saksi a charge ini tidak berbeda dengan definisi saksi di Pasal 1 angka 27 KUHAP, tapi saksi ini penyebutan bagi saksi yang keterangannya memberatkan terdakwa. Sudah pasti kalau keterangan yang memberatkan terdakwa itu yang menghadirkan jaksa penuntut umum. Habis baca ini kalo nyebut saksi dari JPU saksi a charge ya, biar keren.
4. Saksi a de charge
Kalau saksi a de charge ini adalah saksi yang meringankan terdakwa, artinya saksi ini berlawanan dengan saksi a charge. Pastinya saksi ini dihadirkan penasehat hukum untuk menyangkal dakwaan dari JPU ya. Saksi a de charge dijamin dalam Pasal 65 Kuhap yang isinya “Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.”
5. Saksi whistleblower
Whistleblower ini adalah pelapor yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri peristiwa yang terjadi, definisi ini juga termuat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 yang menyebut whistleblower sebagai pelapor tindak pidana.
BACA JUGA: 4 TAHAP PROSES HUKUM DALAM KASUS PIDANA
6. Saksi mahkota
Kalau saksi ini bukan saksi yang pakai mahkota ya, tapi ini adalah saksi yang berasal dari terdakwa lain yang berkas perkaranya dipisahkan (splitsing). Ketentuan saksi ini berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990, yang menjelaskan kalau Mahkamah Agung tidak melarang JPU mengajukan saksi mahkota dipersidangan sebagai terdakwa yang tidak termasuk dalam satu berkas perkara.
7. Saksi justice collaborator
Saksi ini adalah pelaku tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana, memberikan informasi dan bersedia menjadi saksi. Ketentuan justice collaborator ini juga diatur dalam SEMA nomor 4 Tahun 2011 seperti whistleblower.
Mmm, wait, mungkin selain beberapa saksi yang aku sebutin, kamu sering mendengar ada saksi ahli. Ya, kan? Nah, perlu dicatat ya, saksi ahli itu tidak ada. Pasal 184 Ayat (1) KUHAP menyebutkan lima alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Kalau kita lihat dalam pasal ini, ahli terpisah dari saksi dan ahli memberikan keterangan itu atas dasar keilmuan dan keahliannya, bukan karena mengalami peristiwanya. Jadi kalau menyebut ahli jangan ada embel-embel saksi ya.
Oke, jadi sekarang sudah tahu kan, kalau saksi itu banyak jenisnya. Di mana dari jenis itu, kita bisa tahu saksi dihadirkan untuk apa.