Sejak diberlakukan tahun 2008 dan kemudian direvisi tahun 2016 UU ITE udah banyak memakan korban lo ndes. Itu buktinya pasal-pasal karet di UU ITE gak kenyal sama sekali, atos kayak cor-coran semen buat para korban pelaporan dengan dasar UU ITE. Gak usah bayangin yang aneh-aneh ndes. Otakmu dipel dulu sana biar gak ngeres.
Apa sih, yang ada dalam otakmu ndes kalo denger UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?
Kepanjangan yak?
Yawis, disingkat aja jadi UU ITE. Dari namanya aja udah ketawan kalo UU ini ‘sepertinya’ dulu bertujuan menyelaraskan hukum sebagai alat kontrol sosial dengan perubahan jaman di era digital ini. UU pada awalnya dimaksudkan untuk mengatasi kejahatan-kejahatan yang menggunakan media elektronik dan internet seperti kejahatan carding, hacking, phising, penipuan online maupun kejahatan siber (cyber crime). Eh, tapi sekarang malah digunakan sebagai alat bagi pihak yang mempunyai kekuasaan untuk membungkam kritik lawan dan balas dendam. Padahal dalam hukum ada adegium hukum itu bukan semata-mata alat pembalasan dendam.
Sebenere ndes, apa-apa aja yang diatur di UU ITE itu gak ada yang baru, alias sebelumnya udah ada yang ngatur, lalu kemudian diatur lagi dalam UU ITE dengan ditambahi embel-embel proses digitalisasi (transmisi, distribusi, membuat bisa diakses lan sak panunggalipun -> dan lain-lain).
UU ITE mengandung banyak pasal karet, sebuah aturan hukum yang melahirkan profesi baru ‘tukang lapor.’ Pasal karet yang Foxtrot maksud khususnya Pasal 27 Ayat (3) yang bunyinya “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Pasal ini seringkali jadi senjata pamungkas pemusnah kebebasan manusia di Indonesia.
Misal soal pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE ternyata sejak jaman kuda makan besi udah diatur di Pasal 310 KUHP yang bilang gini, “Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, dengan menuduh sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”
BACA JUGA: BECANDA KOK DISERIUSIN!!!
Trus bedanya di mana Trot ?
Bedanya diancaman hukumannya ndes, lebih berat UU ITE daripada KUHP. Kayak Pasal 45 Ayat (1) UU ITE bilang “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), atau Ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Mabok gak tuh, kalo gara-gara update status medsos kena ancaman penjara dan denda maksimal segitu.
Kalo di KUHP ancaman hukumannya cuma pidana penjara maksimal 9 (sembilan) bulan, tapi UU ITE ancaman hukumannya lebih berat, yaitu maksimal 6 (enam) tahun dan denda maksimal semilyar ndes. Pantesan banyak banget laporan yang didasari UU ITE khususnya soal Pasal 27 Ayat (3) ini ndes. Laris manis tanjung kimpul.
Sekarang ini UU ITE jadi trending topic karena laku banget di jajaran SPKT (Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu) dari level Polsek sampek Mabes Polri. UU ITE kerap digunakan untuk memberangus kebebasan berpendapat dan atau minimal sebagai posisi tawar pihak-pihak berkepentingan kepada lawannya. Orang mengutarakan pendapatnya di media sosial, eh, besoknya terima panggilan dari kepolisian karena dilaporin pencemaran nama baik. Trus, apa kabarnya kebebasan pendapat yang diatur di konstitusi NKRI tercintah ini?
Gak main-main lo kebebasan berpendapat sebagai hak asasi manusia dan ciri negara demokrasi diatur dalam banyak UU, itu bukti empiris kalo sebenere Negara Indonesia itu sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Aturan tertinggi soal kebebasan berpendapat ada di UUD 45 Pasal 28E Ayat (3) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” dan Pasal 28F “ Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Eits, belum selesai ndes, masih ada UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 23 Ayat (2), lalu ada UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka umum. Oh ya, jangan lupa khusus untuk media pers masih ada hak jawab dan koreksi yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Browsing sendiri bunyi pasalnya ndes, jangan males karena males itu sumber dari segala sumber kebodohan. Ngoahahahahaha.
Lagian menurut Foxtrot, hal yang berkaitan dengan opini kok dipaksakan diatur dalam rumusan pidana. Tau sendiri to ndes, kalo opini itu penilaiannya relatif sulit, buruk menurut Foxtrot, belum tentu buruk buat kalian ndes. Sebaiknya hal seperti ‘pencemaran nama baik’ yang gak jelas parameternya ini dikembalikan kepada khittahnya sebagai masalah keperdataan. Yah, maksimal sih, diatur dalam ranah administrasi. Biarkan manusia yang merasa ‘tercemarkan nama baiknya’ menyelesaikan soal nama itu dengan gugatan keperdataan, ato negara hadir dalam bentuk aturan administrasi aja ndes.
Hal ini seperti pendapat Prof. Andi Hamzah di acara Indonesian Lawyer Club, beliau bersabda kalo UU ITE itu sebaiknya masuk dalam ranah UU administratif. Secara universal UU administratif tidak boleh mengancam dengan pidana berat, paling tinggi 1 (satu) tahun kurungan, karena maksud dari sanksi pidana dalam UU administratif bukan untuk menghukum orang tapi untuk mempertahankan agar peraturan itu ditaati orang.
BACA JUGA: PENIPUAN KELAS TERI
Jadi buat para pihak yang merasa namanya ‘tercemarkan’ jangan baper dan buru-buru buat laporan kepolisian. Buat para pilar penegak hukum juga mohon lebih ketat dan berhati-hati dalam ranah pencemaran nama baik lewat UU ITE. Semoga semua inget kalo pidana itu adalah ultimum remidium.
Last but not least, asik nih, kalo ngutip kata penutup Mbak Najwa Shihab yang uwuwuwuwu banget itu di acara Mata Najwa.
“Alih-alih melindungi mereka yang teraniaya, UU ITE kerap dipakai pihak yang berkuasa, digunakan untuk membungkam keluh dan keberatan, membisukan mereka yang sebenarnya korban ”;
“ Publik ketakutan bersuara lantang, kritik bisa dipidana sebagai fitnah dan pencemaran” ;
“ Hukum sibuk meladeni ketersinggungan, urusan remeh bisa berakhir pemenjaraan .”
Salam kebebasan berpendapat,
Foxtrot Sang Pencinta Keindahan Wanita.