Siapa sih, yang gak kenal dengan istilah money laundering. Di Indonesia istilah tersebut dikenal dengan sebutan pencucian uang. Cuci uang yang dimaksud, bukan ngebersihin uang pake air ya. Tapi itu cuma buat istilah doang.
Sistem kerjanya gini, suatu perbuatan menyembunyikan uang tunai atau aset yang diperoleh dari suatu kejahatan, biar seolah-olah berasal dari sumber yang sah. Misalnya nih, uang hasil korupsi dipake buat bikin usaha restoran. Nah, dengan begitu uang keuntungan dari restoran tersebut akan terlihat bersih.
Ada beberapa versi mengenai asal-usul penggunaan istilah ‘money laundering’ atau ‘pencucian uang.’ Istilah ‘pencucian uang’ pertama kali digunakan dalam surat kabar yang berkaitan dengan skandal Watergate di Amerika Serikat yang melibatkan Presiden Richard Nixon pada tahun 1973.
Eit, tapi jauh sebelum itu, konsep menyamarkan hasil kejahatan semacam ini sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1920-an. Gini ceritanya, pada tahun 1920-an, para pelaku kejahatan terorganisasi di Amerika Serikat, mencuci uang hitam dari usaha kejahatannya melalui usaha binatu (laundry). Mereka banyak mendirikan usaha binatu (laundry) sebagai tempat persembunyian uang haram.
BACA JUGA: 5 PENYEBAB KORUPSI MAKIN MERAJALELA
Pasti pernah dong, denger nama besar Al Capone?
Nah, doi adalah salah satu mafia besar di Amerika Serikat. Al Capone mempekerjakan Meyer Lansky, seorang akuntan berkewarganegaraan Polandia, untuk melakukan pencucian uang dari kejahatannya dengan bisnis binatu ini yang dikenal dengan nama Laundromats (tempat cuci otomatis).
Laundromats menjadi tempat untuk membersihkan uang yang diperoleh dari hasil pemerasan, prostitusi, perjudian dan penyelundupan minuman beralkohol, biar seolah-olah uangnya jadi terlihat halal.
Karena jaman itu belum ada aturan tentang tindak pidana money laundering (pencucian uang), maka Al Capone gak bisa dihukum karena melakukan money laundering. Al Capone cuma bisa dituntut dan dihukum dengan pidana penjara berdasarkan kasus penghindaran pajak (tax evasion). Jadi sejak saat itu mulailah dikenal istilah money laundering.
Money laundering adalah suatu perbuatan kriminal loh. Sifat kriminalitasnya bisa dilihat dari latar belakang dari perolehan sejumlah uang yang sifatnya gelap, haram atau kotor. Lalu uang atau aset kotor tersebut dikelola melalui kegiatan usaha, melalui mentransfer atau mengkonversikannya ke bank atau valuta asing, hingga hilanglah jejak kotor uang tersebut.
Awal mula dunia barat fokus terhadap praktik money laundering, karena mengguritanya kejahatan perdagangan gelap obat bius (drug trafficking). Tau sendirikan, drug trafficking punya dampak negatif bagi masyarakat. Selain itu drug trafficking juga berimplikasi secara luas terhadap perekonomian, karena melibatkan dana yang sangat besar.
Gak cuma itu, penggunaan dana hasil kejahatan yang sedemikian besar juga berpotensi mengkontaminasi dan menimbulkan distorsi di segala aspek kehidupan, baik pemerintahan, ekonomi, politik dan sosial.
Saya baca dari sebuah jurnal di website kpk.go.id, pada tahun 2001. Financial Action Task Force (FATF) menyatakan bahwa Indonesia menjadi salah satu di antara 15 negara yang dianggap tidak kooperatif (non-cooperative countries and teritories/NCCT), dalam memberantas praktik pencucian uang(money laundering).
FATF menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah salah satu surga di dunia bagi pemilik uang haram membersihkan uang hasil kejahatan dalam arti kata lain cuci uang, baik di dalam negeri maupun dari luar negeri. Dari peringkat opacity, Negara Indonesia mendapat peringkat 3 (tiga) sebagai tempat pencucian uang, dari Peringkat CPI (Corruption Perception Index) bernilai 88 (peringkat 2) di bawah Nigeria dan di atas Rusia.
Entah data FATF itu bener apa nggak, akhirnya sejak tahun 2002, Indonesia mengeluarkan UU No. 15 Tahun 2002, lalu diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Selanjutnya, sejak tahun 2010, UU tersebut dicabut dan diganti dengan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberatasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Namun rupanya gak mudah untuk mengungkap kasus TPPU. Perhatikan deh, setiap perkara TTPPU akan dihadapkan kepada dua jenis tindak pidana, yaitu tindak pidana pencucian uang dan juga tindak pidana semula alias tindak pidana asal, delik awal atau predicate crime.
Dengan begitu, TPPU mengandung dua tindak pidana. Pertama, tindak pidana asal (predicate crime), tindak pidana ini merupakan tindak pidana yang menjadi sumber asal dari harta haram (dirty money) atau hasil tindak pidana (criminal proceeds) yang kemudian dicuci.
Pasal 2 Ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberatasan TPPU mengatur tentang jenis tindak pidana asal secara limitatif. Yaitu korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, perbankan, pasar modal, asuransi, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, pajak, kehutanan, lingkungan hidup, kelautan dan perikanan tindak pidana lain yang diancam pidana penjara empat tahun atau lebih.
Lalu, apakah untuk menjerat pelaku TPPU harus terlebih dahulu membuktikan tindak pidana asalnya?
Jawabannya ya nggak juga sih, karena TPPU bisa berdiri sendiri.
Ketentuan Pasal 69 UU Pencegahan dan Pemberatasan TPPU menyatakan bahwa, “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.”
Jadi dalam proses hukum TPPU, APH gak harus membuktikan terlebih dahulu kejahatan asalnya (predicate crime), karena TPPU merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Intinya, meskipun tersangka/terdakwanya bisa lolos dari predicate crime, bukan berarti bisa lolos dari tuduhan TPPU ya.