“Pliss, jangan penjarain Ardhito!! Dia harus disembuhin pak.”
Beberapa hari ini, lini medsos kita dipenuhi berita tentang artis yang ketangkep pake narkoba. Ada Naufal Samudra, Velline Chu dan Ardhito Pramono. Teranyar kemarin Jumat, komika Fico Fachriza juga ditangkep Reserse Narkoba Polda Metro Jaya.
Ok, let’s talk about kasusnya Ardhito Pramono.
No, no, aku spesial bahas kasus ini bukan karena aku fans Ardhito, bukan karena Ardhito lebih good looking dari si Fico, bukan juga karena aku lawyernya si Ardhito. Tapi aku mau bahas kasusnya si Ardhito, ya karena emang udah ada di editorial plan redaksi dari dua hari yang lalu. Hihihi.
Sesuai dengan kalimat pertamaku tadi, “Pliss, Ardhito jangan dipenjarain, karena dia butuh disembuhin dan mendapatkan rehabilitasi.”
Penjara gak bakal membuat pecandu dan penyalahguna narkoba auto tobat. Bisa jadi keluar dari penjara, penyalahguna narkoba malah makin ber-skill karena di dalem penjara bisa banyak belajar dari dedengkot kurir dan bandar narkoba. Kalo penjara bikin kapok, gak mungkin Ridho Rhoma atau Rio Reifan bolak-balik masuk penjara gara-gara narkoba.
BACA JUGA: ATURAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOBA
Back to kasusnya Ardhito. Dia tuh, pake narkoba bukan baru sehari dua hari. Sejak tahun 2000-an Ardhito udah pake putaw. Ardhito juga pernah hampir mati over dosis, karena minum 10 pil Dumolid (obat penenang/psikotropika). Gitu sih, pengakuan Ardhito dua tahun yang lalu di podcastnya Gofar Hilman.
Jadi jangan heran kalo sekarang dia ketangkep pake ganja, walaupun ngakunya udah berhenti, udah clean. Hah, mau lepas dari jeratan narkoba itu susah.
Keluar dari jerat narkoba itu butuh keinginan, konsistensi, suport dan rehabilitasi, baik secara medis maupun sosial. Setidaknya UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sudah menyadari bahwa penjatuhan sanksi pidana terhadap pecandu dan penyalahguna narkoba bukanlah jawaban yang sempurna untuk pemberantasan narkoba.
UU Narkotika, melalui ketentuan Pasal 54 mengatur bahwa, “Pecandu narkotika dan korban penyalahguna narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”
Btw, untuk mendukung pelaksanaan ketentuan Pasal 54 dan pasal-pasal terkait dalam UU Narkotika, dengan pertimbangan sebagai berikut.
- Sebagian besar narapidana dan tahanan kasus narkoba termasuk dalam kategori pemakai atau bahkan sebagai korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan, mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit. Oleh karena itu, memenjarakan para pemakai atau korban penyalahguna narkoba bukanlah sebuah langka yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan.
- Kondisi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang tidak mendukung, dampak negatif keterpengaruhan oleh prilaku kriminal lainnya semakin memperburuk kondisi kejiwaan dan kesehatan yang diderita para narapidana narkotika dan psikotropika.
Mahkamah Agung pada tahun 2009 mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No. 7 Tahun 2009 menempatkan pemakai narkoba dalam panti terapi dan rehabilitasi.
SEMA No. 7 Tahun 2009 mengukuhkan bahwa pengguna narkoba adalah korban, bukan kriminal. Seiring perjalanannya, SEMA No. 7 Tahun 2009 ini direvisi melalui SEMA No. 4 Tahun 2010 tentang penempatan penyalahguna, korban penyalahguna dan pecandu narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Lalu, apakah menempatkan pecandu atau penyalahguna narkoba ke lembaga rehabilitasi ujug-ujug mendekriminalisasikan perbuatannya?
Ah, tentu tidak kawan!!
Kalo kita baca ketentuan Pasal 103 Ayat (3) UU Narkotika menyatakan bahwa masa pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Jadi bukan berarti kalo gak dipenjara, terus cuma direhabilitasi, perbuatan pidananya jadi kehapus ya.
Intinya, kalo emang terbukti bersalah, seorang pecandu, penyalahguna atau korban penyalahguna, ya tetap dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana narkotika. Tapi, treatment hukumannya bukan dipenjara. Begitu loh.
Wah, enak banget pake narkoba, tapi ga dipenjara.
Yaaa, gak gitu juga Bambaaaaaaanggg. Lu, kata masuk panti rehabilitasi itu enak. Hihihihi. Sama aja kali nyebelinnya, cuma beda treatment aja.
BACA JUGA: BAGAIMANA KETIKA KITA MENGETAHUI ORANG TERDEKAT KITA MENGGUNAKAN NARKOBA?
Eits, tapi gak semua orang yang ketangkep narkoba bisa minta rehabilitasi dan ngaku-ngaku sebagai korban penyalahguna ya. Ada syarat dan ketentuan berlakunya.
Sesuai dengan ketentuan SEMA No. 4 Tahun 2010, syaratnya adalah pada saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti pemakaian satu hari, adanya surat keterangan uji laboratorium positif menggunakan narkotika berdasarkan permintaan penyidik, adanya surat keterangan dari psikiater pemerintah yang ditunjuk hakim dan tidak terbukti terlibat dalam peredaran gelap narkotika.
Oh iya, selain itu ada juga ketentuan bahwa barang bukti yang ditemukan pada saat tertangkap tangan gak boleh melebihi perincian SEMA, misalnya kalo sabu gak boleh lebih dari 1 gram, kalo ekstasi gak boleh lebih dari delapan butir atau kalo ganja gak boleh lebih dari 5 gram.
Terkait kasusnya si Ardhito, kalo dari hasil tracking berita, sebenernya Ardhito ini memenuhi syarat untuk mendapatkan rehabilitasi medis dan sosial. Dia ketangkep tangan pas lagi pake ganja, barang buktinya ganja 4,8gram (kurang dari 5 gram) dan urinenya positif.
Nah, udah deh, tinggal keluarga atau lawyernya nyari surat keterangan dari psikiater pemerintah dan membuktikan bahwa Ardhito cuma pake narkoba buat diri sendiri dan gak terlibat dalam peredaran gelap narkotika.
Dah, kayanya semua unsur sabilah terpenuhi. Jadi, tolong Ardhito putusan direhab aja pak hakim, biar dia sembuh gitu.