Hello, precious people!
Kripto alias cryptocurrency merupakan mata uang digital yang beredar luas di masyarakat belakangan ini. Salah satu contoh jenis kripto yang paling popular adalah Bitcoin. Penggunaan dan transaksi dari kripto simpel seperti uang elektronik lainnya, tinggal klik-klik selesai deh!
Dilansir dari CNBC Indonesia, pada Juli 2023 setidaknya ada 17,54 juta pengguna kripto di Indonesia. Cukup banyak kan?
Hmmm, kalau kripto ini dipake buat bayar hutang atau dibuat perjanjian hutang piutang, kira-kira boleh nggak ya? Yuk, kita bahas!
Untuk menjawab pertanyaan di atas kita harus paham dulu apa itu hutang, apa itu kripto dan bagaimana konteksnya dalam POV hukum Indonesia.
Jadi hutang itu sesuatu yang dipinjam untuk digunakan, lalu dikembalikan lagi dalam wujud dan nilai yang telah disepakati. Misal gini, kalau gua pinjam uang ke lo, terciptalah hubungan hukum yang bernama perjanjian hutang piutang.
Sederhananya kalau bicara soal hubungan hukum hutang piutang pasti ada pihak yang berpiutang (kreditur) dan yang punya hutang (debitur). Nah, dalam hubungan hukum hutang piutang ini terdapat hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur.
Kreditur haknya menerima piutang sedangkan debitur kewajibannya b-a-y-a-r hutang. (Sengaja dikasih space tulisannya biar yang punya hutang segera tobat).
BACA JUGA: LEGALITAS MARKET CRYPTO DI INDONESIA
Aturan mainnya bisa dilihat dalam kitab suci anak perdata bro, alias KUHPer. Di situ mengenal perjanjian hutang piutang sebagai Pinjam Pakai Habis (maklum agak aneh istilahnya soalnya hampir dua abad masih berlaku nih, kitab).
Coba liat Pasal 1754 KUHPer yang bilang, “Pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengambilkan barang sejenis kepada pihak pertama jumlah dan keadaan yang sama.”
Lebih detailnya juga dijelaskan dalam Pasal 1756 tentang hutang piutang uang “Hutang yang timbul karena peminjaman uang, hanya terdiri dan sejumlah uang yang digariskan dalam perjanjian. Jika sebelum hutang dilunasi nilai mata uang naik atau turun atau terjadi perubahan dalam peredaran uang yang lalu, maka pengembalian uang yang dipinjam itu harus dilakukan dengan uang yang laku pada waktu pelunasannya sebanyak uang yang telah dipinjam, dihitung menurut nilai resmi pada waktu pelunasan itu.”
Noh, ada beberapa aturan mainnya, bro. Pertama, ada pihak yang pinjam (debitur) dan yang minjemin (kreditur). Kedua, ada objeknya, yakni barang yang bisa dihabisin sama debitur. Ketiga, objek tersebut harus dikembalikan dengan barang sejenis dalam nilai dan jumlah yang sama.
Pusing ya, baca aturannya? Tenang, tenang, intinya dalam hutang piutang harus ada pihak dan objek hutang sebagai alat pembayaran. Yang jadi pertanyaan, apakah mata uang kripto bisa dijadikan objek ya?
Kalau dilihat dari kedudukannya dalam sistem hukum Indonesia, kripto ini diakui sebagai aset, digital, bukan sebagai mata uang yang bisa dijadikan alat pembayaran. Kedudukan aset itu hanya bisa dipakai dalam perjanjian investasi dan bukan dalam ranah hutang piutang. Lumrahnya, hutang piutang itu menggunakan mata uang.
BACA JUGA: ERA 4.0: APAKAH CRYPTOCURRENCY BISA JADI LEGAL TRADER DI INDONESIA?
Aturan yang secara tegas menyatakan bahwa kripto merupakan aset adalah pada Pasal 1 Peraturan Menteri Perdagangan No. 99 Tahun 2018 Tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset) yang menyebutkan Aset Kripto (Crypto Asset) ditetapkan sebagai komoditi yang dapat dijadikan Subjek Kontrak Berjangka yang diperdagangkan di Bursa Berjangka.
Dan setahu gua, menurut Undang-undang No. 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang (UU Mata Uang) cuma rupiah yang diakui dan diperbolehkan sebagai mata uang yang dapat dijadikan alat pembayaran di Indonesia.
Memang benar, meskipun regulasi Indonesia menggolongkan kripto sebagai aset tidak merubah kenyataan bahwa kripto tetaplah sebuah currency alias mata uang digital. Akan tetapi menggunakan benda tidak pada kamarnya tentu menyebabkan masalah dan menabrak aturan, kan?
Tentunya ada alasan kenapa Indonesia mengklasifikasikan kripto sebagai aset digital dan bukan sebagai uang ya, bro!
Perlu kita pahami, bahwasannya kripto produksi mata uangnya tidak dikendalikan oleh otoritas moneter resmi kita, yakni Bank Indonesia. Tentunya ini bahaya banget. Bayangkan kalau tiba-tiba kripto ini mencetak 1 triliun pieces setiap harinya.
Tentunya jumlah kripto yang beredar akan sangat banyak melebihi jumlah barang yang ada di pasar. Apa akibatnya? Yap, inflasi karena nilai dari uang ini akan hilang disebabkan jumlahnya yang terlalu banyak sehingga jadi nggak berharga. Ingat, uang itu cuma kertas dan hanya bisa berharga dikarenakan jumlahnya yang sedikit mengikuti jumlah cadangan emas negara.
Sudah menjawab, kan? Semoga nggak ngide ngutang pakek kripto ya brodi!
That’s all from me, see you in the next article!