Sebagai orang yang pernah menikmati pendidikan hukum, saya tidak memungkiri bahwa salah satu kemewahan yang dapat dirasakan oleh orang yang berlatar belakang pendidikan hukum adalah kita dapat dengan mudahnya berkata, “Apa dasar hukumnya?” Hal itu tidak terlepas dari doktrin dasar yang diajarkan oleh para guru kita ketika mengenyam pendidikan hukum di bangku kuliah.
“Ingat ya, sebagai orang hukum, tiap kalian berdebat mengenai sesuatu, tanyakan dasar hukumnya. Kalau memang dasar hukumnya belum ada, tanyakan asasnya,” ujar salah seorang dosen saya dulu. Doktrin itu tidak terlepas dari anggapan bahwa masih banyak masyarakat kita yang belum mengerti bagaimana hukum bekerja.
Karena anggapan banyak masyarakat yang belum mengerti hukum itulah, pada akhirnya kita dapat mengamati di berbagai stasiun televisi selalu ada jam-jam tertentu yang isinya berita-berita dunia kriminal. Secara kuantitas, mungkin tayangan berita-berita tersebut hanya kalah dari tayangan mengenai gosip-gosip selebriti.
Selain itu, akhir-akhir ini acara-acara talk show pun tidak mau ketinggalan dengan menghadirkan para ahli hukum, baik ahli secara keilmuan maupun secara praktik, untuk menjadi narasumber dalam acara mereka. Kalau perlu, tim kreatif menghadirkan dua narasumber yang saling berseberangan agar acara talk show tersebut menjadi lebih ‘hidup’ dengan perdebatan-perdebatan yang terjadi di antara para narasumber.
Lalu, efektifkah acara-acara televisi tersebut dalam memberi pemahaman hukum kepada masyarakat? Saya pribadi merasa acara-acara tersebut tetap saja tidak cukup efektif untuk memberi pemahaman hukum kepada masyarakat. Yah, efektif sih, tapi hanya kulit luarnya saja.
BACA JUGA: MAKNA PLEDOI BAGI ADVOKAT
Kenapa hanya kulit luarnya saja? Saya akan memberikan contohnya, dalam tayangan berita-berita kriminal di televisi, sering kali terdapat berita seseorang yang diamankan oleh pihak kepolisian karena orang tersebut kedapatan mencuri. Yah, istilah hukumnya tertangkap tangan gitulah.
Lalu, coba tebak, apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yang memergoki pelaku pencurian tersebut? Mengajak orang itu makan nasi Padang? Main kartu remi? Membuka sharing session agar si pelaku bisa mencurahkan isi hatinya dan mengungkapkan alasan kenapa dia mencuri? Oh tidak, kawan-kawan. Si pelaku pencurian sudah pasti akan jadi korban main hakim sendiri sebelum diserahkan ke pihak kepolisian.
Di sisi inilah hal tersebut menjadi menarik. Para pelaku main hakim sendiri tersebut memahami bahwa pelaku pencurian dapat diserahkan kepada pihak kepolisian, tetapi mereka sendiri pada dasarnya telah melakukan perbuatan melawan hukum karena melakukan penganiayaan.
Akan tetapi, karena hal tersebut dianggap ‘wajar’ oleh pihak kepolisian maupun media selama korbannya tidak meninggal dunia, maka perkara main hakim sendiri tersebut seolah menjadi hal yang dapat dibenarkan dan diwajarkan oleh masyarakat. Media dan pihak kepolisian baru benar-benar menindaklanjuti kasus main hakim sendiri ketika korbannya meninggal dunia, seperti yang terjadi pada seseorang yang diduga mencuri amplifier masjid dan kemudian dibakar hidup-hidup oleh masyarakat pada 2017 silam.
Lalu, apakah media menjadi satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pemahaman hukum masyarakat yang dapat dikatakan setengah-setengah itu? Tidak juga. Pada dasarnya, figur publik pun secara tidak langsung dapat memberikan pehamaman hukum kepada masyarakat dengan perilaku-perilaku mereka untuk dijadikan contoh.
Akan tetapi, kecenderungan figur publik dalam memberikan contoh pun cenderung bermasalah, karena lebih sering mengutamakan penggunaan hukum pidana ketimbang penyelesaian secara kekeluargaan.
Mau contoh? Banyak sekali. Mari kita mengenang kasus pidato Ahok yang keseleo lidah dan dianggap sebagai penistaan agama itu. Dalam berbagai kesempatan, Ahok telah berupaya untuk meminta maaf kepada para pihak terkait pidatonya di Kepulauan Seribu itu. Akan tetapi, banyak pihak tetap meminta Ahok diproses secara hukum, salah satunya Habib Rizieq Shihab (HRS).
“Ya kalau Ahok minta maaf itu sangat bagus, tapi proses hukum harus terus berjalan,” kata HRS waktu itu.
Kecenderungan figur publik mengutamakan penggunaan hukum pidana itulah yang cenderung bermasalah, karena menjadi contoh bagi masyarakat untuk lebih mengutamakan hukum pidana sebagai cara menyelesaikan masalah dengan orang lain, ketimbang berdialog untuk menemukan titik temu atas permasalahan yang sedang dihadapi.
Padahal, hukum pidana merupakan ultimum remidium alias jalan terakhir dalam penyelesaian masalah. Akan tetapi, saat ini masyarakat cenderung mengutamakan hukum pidana dalam penyelesaian masalah. Maka jangan heran apabila terdapat berita seseorang terjerat UU ITE (yang sebetulnya sangat karet tersebut) gara-gara orang tersebut menagih hutang melalui media sosial.
Kecenderungan penggunaan hukum pidana ini pada akhirnya membuat orang-orang takut bertindak bahkan apabila hal itu berkaitan dengan haknya. Kebebasan berekspresi dan berpendapat, misalnya. Survei Indikator Politik Indonesia di akhir 2020 kemarin menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia saat ini merasa takut menyampaikan pendapat karena khawatir berurusan dengan pihak berwajib.
Yah, tapi gimana, ya? Nanti pasti ada saja yang bilang, “Lho hukum pidana itu perlu. Kalau cuma minta maaf semua masalah selesai, gak usah ada hukum sekalian.”
Ya deh, saya yang ngalah.