Kalau boleh jujur, masyarakat kita tuh, udah lama punya semacam trust issue sama lembaga peradilan. Di mata banyak orang, pengadilan itu ruwet, birokrasinya njelimet dan prosesnya lambat kayak kura-kura. Belum lagi cerita, “Kalau nggak pakai pelicin, ya jangan harap urusanmu kelar cepat.” Miris, tapi begitulah kesan yang menempel.
Tambah lagi soal biaya. Meski udah digembar-gemborkan soal ‘biaya ringan’ atau ‘pro bono,’ tetap aja citra pengadilan sebagai institusi mahal masih lekat di benak rakyat. Mulai dari biaya pendaftaran perkara, transportasi bolak-balik, sampai ongkos-ongkos tak resmi yang ‘katanya’ udah jadi rahasia umum. Dan jangan lupa, bahasa hukum juga ikut bikin mumet.
Padahal, di era serba instan ini penyelesaian sengketa yang sat set jadi dambaan banget. That’s why hadirnya Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) jadi angin segar bagi pihak bersengketa.
Wait … APS tuh, apa sih?
APS sebetulnya sudah lama dikenal dalam konstruksi hukum adat kita. Secara historis, kultur masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan kekeluargaan. Musyawarah, rembukan, dihadapan tetua adat bisa dibilang original version dari mediasi, konsiliasi, bahkan arbitrase yang hari ini dikemas ulang jadi APS.
Secara hukum, definisi resminya bisa kamu intip di Pasal 1 butir 10 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS. Intinya, APS itu lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan, lewat konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli, dan arbitrase. Yuk, kita kenalan satu-satu:
BACA JUGA: APA ITU BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA?
1. Konsultasi
Konsultasi adalah permintaan nasihat dari pihak yang bersengketa kepada pihak ketiga (konsultan), agar bisa dapat pandangan untuk menyelesaikan sengketa. Biasanya dilakukan secara personal dan informal.
2. Negosiasi
Negosiasi sebagai sarana bagi para pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah, jadi nggak ada prosedur baku, akan tetapi prosedur dan mekanismenya diserahkan sama kesepakatan yang bersengketa.
Simplenya, Penyelesaian sengketa sepenuhnya dikontrol oleh para pihak, sifatnya informal, yang dibahas adalah berbagai aspek, nggak hanya soal hukum saja. Dua pihak duduk bareng, ngobrol, dan cari win-win solution tanpa pihak ketiga. Mau bahas harga, kerugian, atau ego masing-masing, silakan. Prosedurnya? Nggak baku yang penting: sepakat!
3. Konsiliasi
Berbeda dari negosiasi, di konsiliasi ini ada pihak ketiga (konsiliator) yang lebih aktif. Dia ikut bantu nyusun opsi solusi dan nawarin ke para pihak. Tapi ingat, konsiliator ini nggak bisa maksa, keputusannya bukan vonis, cuma rekomendasi yang pelaksanaanya sangat bergantung sama itikad baik para pihak yang bersengketa sendiri.
4. Mediasi
Mediasi adalah penyelesaian sengketa yang dibantu oleh pihak ketiga (mediator) untuk mendapatkan win-win solution. Peranan mediator disini sebagai penengah (yang pasif) dan netral alias nggak memihak buat ngasih bantuan berupa alternatif-alternatif penyelesaian sengketa untuk selanjutnya ditetapkan sendiri oleh pihak yang bersengketa. Aturan lengkapnya ada di Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
5. Penilaian ahli
Simplenya, ini itu pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis sesuai dengan bidang keahliannya.
6. Arbitrase
Berbeda dengan bentuk ADR/APS lainnya, arbitrase punya karakteristik yang hampir serupa dengan penyelesaian sengketa adjudikatif. Sengketa dalam arbitrase diputus oleh arbiter atau majelis arbiter yang mana putusan arbitrase tersebut bersifat final and binding. Artinya, putusannya mengikat dan nggak bisa diganggu gugat lagi, mirip kayak putusan pengadilan.
BACA JUGA: CURKUM #88 ARBITRASE
Tapi ingat, biar putusannya bisa dieksekusi, tetap harus didaftarin ke Pengadilan Negeri. Ini diatur di Pasal 59 ayat (1) dan (4) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS.
Dan satu hal penting: kalau kalian sepakat pakai jalur arbitrase, nggak bisa lagi ngadu ke pengadilan umum. Jadi pastikan kalian siap lahir batin buat patuh sama hasilnya.
Kenapa APS Jadi Pilihan?
Karena, litigasi tuh sering jadi ajang “tarik urat” antar pihak. Masing-masing saling “serang”, nyari celah lawan, dan semua masalah dibongkar habis-habisan. Prosesnya? Lambat. Biayanya? Nggak ramah kantong. Hakim? Kadang kurang netral dan nggak selalu ngeh sama isu hukum kekinian.
Makanya, penyelesaian sengketa non-litigasi jadi pilihan bijak karena fokusnya perdamaian dan itikat baik dari para pihak. Landasannya tetap hukum, tapi mekanismenya fleksibel dan disesuaikan dengan kesepakatan para pihak. Prinsipnya: efisien, cepat, dan win-win solution.
So, gengs.. next time ada konflik, coba dulu jalan damai, ya!? Karena masalah gak melulu mesti diselesaiin pakai palu hakim. Cuz, Peace is the new prestige! Thank U.