Pilpres 2019 sepertinya bisa kita nobatkan sebagai sesi pilpres ter-drama sepanjang sejarah demokrasi Indonesia. Episode pertama drama ini bahkan sudah bisa kita nikmati sejak satu setengah tahun sebelum hari pemungutan suara dilangsungkan. Entah berapa episode lagi drama ini akan bergulir. Tetapi yang jelas kali ini kita akan nge-review sedikit ‘keseruan’ episode drama pilpres 2019 yang terakhir dirilis pada tanggal 22 Mei kemarin.
Buat kamu yang belum sempat menonton episode 22 Mei, kalimat ini jadi peringatan spoiler terakhir ya gaes! Jangan salahin kami kalau kamu keburu baca review ini sebelum sempat menonton episodenya secara langsung. Tapi kalau kamu udah nonton, here we go!
Dalam episode sebelumnya, KPU menjadwalkan pengumuman hasil pilpres paling lambat akan dilaksanakan pada tanggal 22 Mei 2019. Menyambut hasil ini, sebagian pihak sudah merencanakan aksi pada tanggal tersebut. Namun KPU rupanya cukup cerdik dengan mengeluarkan pengumuman satu hari sebelum tanggal yang direncanakan. Sayang sebagian massa aksi memang sudah bersiaga di tempat sejak tanggal 21 Mei malam dan kondisi ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk menciptakan kerusuhan.
Pagi dini harinya, linimasa media dipenuhi oleh berita kerusuhan semalam. Anak-anak pun sempat dibuat menggerutu, sebab tontonan kartun mereka diambil alih oleh para orang tua demi menyaksikan perkembangan Jakarta. Notifikasi media sosial juga mendadak penuh, meskipun tetap tidak ada sih chat dari si dia.
Puncaknya terjadi ketika matahari mulai bergerak menepi. Menkominfo mengumumkan diberlakukannya pembatasan media sosial selama 3 hari demi menyelamatkan masyarakat dari arus informasi hoax pasca aksi 22 Mei. Sasaran utamanya adalah tiga media sosial dengan pengguna terbanyak di Indonesia yakni WhatsApp, Facebook dan Instagram.
Sontak notifikasi dari media sosial tiba-tiba meredup. Eh tapi ngga meredup juga sebenernya. Toh sehari-hari juga emang udah sepi kan?
Uniknya hanya butuh waktu beberapa jam sampai orang berbondong-bondong pindah ke media sosial lain seperti LINE, Twitter dan Telegram. Warga Twitter seperti aku jadi sempat merasa sebal juga. Soalnya linimasa Twitter yang biasanya renyah mendadak keruh dan toxic gara-gara urusan politik.
Akun @kemkominfo dan @rudiantara_id pun jadi bulan-bulanan. Tetapi Menkominfo kemudian berdalih bahwa pembatasan yang mereka lakukan sudah berlandaskan pada UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE. Tepatnya pada Pasal 40 Ayat (2), (2a) dan (2b) yang berbunyi sebagai berikut.
(2) “Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
(2a) “Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
(2b) “Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum”.
Masalahnya, frase “Segala jenis gangguan” dan “Muatan yang dilarang” memang belum memiliki batasan yang cukup jelas. Meskipun keduanya disebutkan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, nyatanya tidak semua orang mengenal dengan jelas tentang berbagai ketentuan tersebut. Inilah alasannya mengapa kamu harus tetap follow klikhukum ya gaes *promosi garis keras*.
Adapun menurut sebagian pengamat, langkah Menkominfo ini tetap rentan melanggar peraturan perundang-undangan lain yang juga berlaku. Misalnya UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Di mana setiap orang berhak memperoleh informasi publik sebagaimana yang tertulis pada Pasal 4 Ayat (1) undang-undang ini.
Ada juga yang menyebut bahwa pembatasan kemarin rentan melanggar amanat konstitusi Pasal 28E Ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945. Bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat, serta berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi sebagai bentuk penghormatan terhadap hak warga negara.
Bahkan ada juga yang mengatakan kalau pembatasan kemarin rentan melanggar hak asasi manusia. Namun perlu diingat bahwa dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik), negara telah diberikan kewenangan untuk melakukan pembatasan hak asasi manusia apabila negara berada dalam kondisi darurat.
Lepas dari perdebatan landasan hukum di atas, kini pembatasan akses tersebut memang sudah dicabut. Masyarakat sudah kembali ke wahana media sosial favoritnya masing-masing. Linimasa Twitter juga hanya menyisakan sedikit thread politik di permukaan. Lantas seberapa efektifkah pembatasan yang diberlakukan kemarin?
Bagi generasi milenial seperti saya, pembatasan tersebut nampaknya tidak begitu efektif. Toh kebanyakan sudah biasa memakai VPN bukan? Cukup pastikan, kalau VPN tersebut kita gunakan dengan bijak sesuai kebutuhan.
Sementara bagi generasi lainnya yang belum cukup familiar dengan VPN, aturan pembatasan kemarin bisa jadi sangat berdampak. Lagipula, tidak semua orang menggunakan WhatsApp, Facebook dan Instagram-nya untuk menyalurkan berita-berita tak bersumber. Tak sedikit juga yang memanfaatkan media-media tersebut untuk kegiatan bisnis dan aktivitas lain yang sifatnya penting. Jadi bukan hal yang mustahil kalau sampai ada yang kehilangan client penting gara-gara pembatasan kemarin.
Pada akhirnya, aturan mengenai pembatasan akses media sosial memang perlu disempurnakan lagi. Mulai dari penentuan batasan perihal gangguan, hingga mekanisme teknis terkait pembatasan. Wacana ini tentu akan sangat menarik jika langsung dibahas oleh para anggota dewan yang baru kita pilih pada pileg kemarin.
Fenomena ini juga telah mengisyaratkan bahwa membangun kedewasaan dalam bermedia sosial itu lebih penting daripada melakukan pembatasan. Kedewasaan ini bisa muncul lewat beragam hal. Yang paling sederhana, tentu dengan membiasakan proses saring sebelum sharing.
Harapannya, tentu arus informasi hoax bisa berkurang tanpa harus dilakukan pembatasan. Dan kalaupun suatu hari pembatasan terjadi lagi, mari kita nikmati masa-masa itu dengan secangkir kopi. Kita nikmati sejenak kehidupan tanpa tekanan dari dunia maya, demi meningkatkan kualitas kehidupan di dunia nyata.