Berapa hari yang lalu dapet surat cinta dari BPJS. Surat cinta tanpa amplop, yang isinya bisa dibaca walaupun enggak dibuka. Suratnya dititipin ke tetangga, walhasil semua bisa baca apa isi suratnya. Isi suratnya tak lain tak bukan adalah tagihan tunggakan iuran BPJS. Huum, saya belum bayar iuran BPJS beberapa bulan. Ceritanya saya lagi ngambek karena iuran BPJS naik 100%.
Per tanggal 24 Oktober 2019, iuran BPJS naik berdasarkan Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 34 Ayat (1) Huruf c, maka saya sebagai peserta dengan kategori PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah) wajib membayar iuran sebesar Rp160.000,00 per orang tiap bulan. Nah, sesuai prediksi saya, akhirnya ada pihak yang melakukan Judicial Review (uji materiil) terhadap Perpres tersebut. Saya bilang ke papanya Abhie, “Wes, BPJS enggak usah dibayar sampe ada putusan uji materiil-nya.”
Sesuai prediksi saya lagi, pada tanggal 27 Februari 2020 Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan permohonan uji materiil Perpres 75/2019. Dalam salah satu amar Putusan No. 7 P/HUM/2020, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Pasal 34 Ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden N0. 75 Tahun 2019 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Wes, intinya dengan adanya Putusan Mahkamah Agung tersebut, maka BPJS enggak punya dasar hukum untuk menaikkan iuran BPJS.
Tentunya Putusan Mahkamah Agung tersebut bikin saya seneng. Kalau sudah dapet kejelasan berapa tagihan yang belum terbayar, saya minta papanya Abhie segera membayar tunggakan BPJS, biar enggak kena denda.
BACA JUGA: CORONA DATANG, SPP GAK BOLEH KURANG
Nah, loh. Belum juga terlaksana niat untuk membayar tagihan BPJS yang tertunggak, tau-tau dong iuran BPJS naik lagi. Diem-diem pemerintah menaikkan iuran BPJS dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan.
Perpres 64/2020 ini isinya serupa tapi tak sama dengan Perpres 75/2019, intinya sama-sama naikin iuran BPJS. Cuma perubahan Pasal 34 dalam Perpres 64/2020 isinya dibuat lebih njelimet dengan ‘banyak basa basi.’ Saya bilang ‘banyak basa basi’ karena dalam perubahan Pasal 34 Ayat 8 diatur bahwa iuran BPJS untuk bulan April, Mei, Juni 2020, tetep pake tarif lama (kelas 3 Rp25.500,00, kelas 2 Rp51.000,00 dan kelas 1 Rp80.000,00) per orang tiap bulan. Mungkin karena alasan Covid-19 kali ya.
Cuma lucunya nih, di dalam perubahan Pasal 34 Ayat (7) justru mengatur bahwa tagihan iuran BPJS untuk bulan Januari, Februari dan Maret 2020, khusus buat peserta PBPU dan BP (Bukan Pekerja) iurannya tetap naik. Buat kelas 3 iurannya Rp42.000,00, kelas 2 Rp100.000,00 sedangkan kelas 1 Rp160.000,00. Nih, aturan ngaco banget. Masa iya sih, aturan tentang iuran BPJS ini mau berlaku surut. Wong, aturannya aja dibuat tanggal 5 Mei 2020. Lah, masa isinya mau ngatur iuran sebelum bulan Mei 2020. Duh pak, pliss deh. Sebenarnya pemerintah punya enggak sih ahli yang bisa ngasih wejangan kalau mau bikin suatu kebijakan.
Lagian nih, jelas-jelas Pasal II Perpres 64/2020 bilang bahwa “Peraturan Presiden ini berlaku pada tanggal diundangkan.” Tuh kan, diundangkan bulan Mei 2020, masa iya isinya mau mengatur mundur ke Januari, Februari, Maret 2020. Pinter banget deh yang bikin peraturan ini. Jadi gemesss.
BACA JUGA: UNBOXING PERATURAN HUKUM PRA-KERJA
Saya baru kali ini bener-bener merasa sebel dengan sebuah peraturan perundang-undangan. Ciyus deh. Kesel-kesel sendiri jadinya. Gimana enggak, saya adalah peserta BPJS Kesehatan kategori PBPU kelas satu yang tiap bulannya bayar Rp80.000,00 per orang. Nah, keluarga saya terdaftar untuk empat orang (dengan dua anak). Sebelum negara api menyerang, tiap bulan saya punya kewajiban membayar iuran BPJS Kesehatan sebesar Rp320.000,00. Jujur aja saya kurang puas dengan pelayanan BPJS Kesehatan. Kalau anak demam, saya kan ke puskesmas, paling mentok nanti dikasih paracetamol. Gapapa katanya. Kadang kalau cemas banget, saya memutuskan untuk ke rumah sakit berbayar dan periksa lab dengan biaya sendiri. Emang sih, saya enggak pernah berharap bisa menggunakan BPJS, karena saya berdoa agar seluruh keluarga saya sehat selalu, dan dijauhi segala macam penyakit.
Bayar iuran Rp320.000,00 per bulan, oke, fine saya enggak masalah, masih cukup oke di kantong. Tapi, sejak akhir 2019 tiba-tiba iuran BPJS naik 100%. Eh, nanti dulu. Karena saya peserta bukan penerima upah, artinya saya kan bayar mandiri, enggak pake potong gaji. Coba, mari kita kalikan. Iuran Rp160.000,00 x 4 orang = Rp640.000,00. Itu artinya tiap bulan saya punya kewajiban membayar iuran BPJS sejumlah Rp640.000,00. Udah berasa bayar kredit cicilan motor Bit.
Dalam Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Perpres 75/2019, dijelaskan bahwa dari hasil Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap BPJS Kesehatan dalam Rapat Gabungan Komisi IX dan XI DPR RI serta dikaitkan dengan realitas BPJS Kesehatan saat ini, ditemukan beberapa fakta antara lain:
1. anggaran BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit setiap tahunnya;
2. permasalahan NIK Peserta;
3. tata kelola kepesertaan tidak konsisten dalam mendata masyarakat yang seharusnya ditanggung pemerintah;
4. manajemen dan Perhitungan BPJS Kesehatan tidak dilakukan dengan baik;
5. dan masih banyak lagi.
BACA JUGA: RELAKSASI KREDIT
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menjelaskan bahwa kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan jaminan sosial oleh BPJS yang menyebabkan terjadinya defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan enggak boleh dibebankan kepada masyarakat dengan cara menaikkan iuran BPJS bagi peserta PBPU dan PB sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Ayat (1) dan (2) Perpres 75/2019.
Jadi kesimpulannya, kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan dana jaminan sosial enggak boleh dibebankan kepada masyarakat. Menaikkan iuran BPJS Kesehatan bukan solusi tepat untuk menutupi defisit keuangan BPJS. Jangan bikin rakyat sengsara dong.
Kalau setelah baca artikel ini ada yang komen, lah cuma bisa sambat, komen, terus solusinya apa? Jangan tanya saya lah, udah jadi tugas dan kewajiban pemerintah, manajemen BPJS Kesehatan dan kementerian terkait untuk memperbaiki kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial tanpa membebankan kepada masyarakat seperti saya. Paling enggak, kalau sudah berbuat salah, ya harus bertanggung jawab dong.