Mungkin belakangan ini di media masa sering terdengar inisial AWEW dan kebakaran hutan di kawasan Bromo.
Siapa dia dan apa kaitannya dengan kebakaran hutan bromo? Apakah AWEW sang pembakar?
AWEW merupakan seorang manajer wedding organizer yang menjadi tersangka kasus kebakaran Lahan Sabana dan Bukit Teletubbies Gunung Bromo. Hmm, mungkin di sini pada bingung ya, apa hubungannya manajer wedding organizer dengan kebakaran hutan.
Jadi gini loh, ceritanya. AWEW merupakan penanggung jawab wedding organizer prewedding pasangan asal Surabaya. Ternyata oh, ternyata, selama menjadi penanggung jawab, dia melakukan beberapa kesalahan.
Kesalahan pertama, AWEW tidak memiliki surat izin masuk kawasan konservasi. Padahal untuk masuk ke area konservasi semestinya mengantongi izin dan ada biaya yang harus dibayarkan pengunjung. Kedua, AWEW merupakan orang yang mencetuskan ide penggunaan flare saat sesi foto prewedding yang berakibat pada kebakaran hutan di Kawasan Bromo. Loh, loh, loh, nggak bahaya tah.
BACA JUGA: KARHUTLA SANG PENYAKIT TAHUNAN
Akibat kecerobohannya, Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) sampai harus menutup kawasan wisata Gunung Bromo untuk memudahkan operasi pemadaman.
Aduh, aduh, kebayang nggak sih, berapa banyak kerugiannya? Kawasan Bromo tidak bisa beroperasi untuk sementara waktu dan keindahan alamnya pudar seketika. Rasanya bakal dibutuhkan waktu berabad-abad untuk mengembalikan kawasan hutan Bromo nan indah seperti sedia kala.
Kebakaran hutan tentunya berdampak sangat serius. Misalnya, pada kesehatan masyarakat. Dada berasa sesak akibat asap kebakaran yang tak kunjung berhenti. Selain itu sudah pasti akan berdampak pada ekosistem, hingga perekonomian. Sedih rasanya gara-gara ide yang ceroboh bisa berdampak ke mana-mana. Tapi mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur.
Tapi tenang saja kawan, kalau memang benar kejadian kebakaran hutan bromo itu akibat dari penggunaan flare, AWEW sebagai penanggung jawab bisa dijerat pidana. Pasal yang bisa dikenakan yakni Pasal 78 Ayat (3) Jo. Pasal 50 Ayat (3) huruf d Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana yang telah diubah melalui UU Cipta Kerja.
Pasal tersebut menyebutkan, “Barang siapa yang dengan sengaja melakukan pembakaran hutan akan dikenakan pidana penjara maksimal 15 tahun dan/atau denda maksimal Rp5 miliar.” Tinggal dibuktikan saja nih, di pengadilan. Apakah AWEW memang sengaja melakukannya atau tidak.
Nah, jika pasal tersebut tidak bisa menjeratnya jangan khawatir kawan, masih ada ketentuan pidana lainnya yang bisa diterapkan.
BACA JUGA: DAMKAR, PANTANG PULANG SEBELUM API PADAM
Pasal 78 Ayat (4) Jo. Pasal 50 Ayat (3) huruf d Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana yang telah diubah melalui UU Cipta Kerja. Pasal tersebut menyebutkan bahwa “Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 Ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”
Wuih, mantap kan hukumannya?
Eh, tapi nih ya, IMO pidana penjara dan denda seperti yang disebutkan sebelumnya, itu tidak sebanding dengan kerugian yang dialami. Karena kebakaran hutan merupakan masalah serius yang berdampak pada ekosistem, memburuknya kualitas udara, lahan menjadi tidak subur serta kawasan hutan tidak lagi indah nan mempesona. Tentunya ekonomi masyarakat sekitar pun turut terpengaruh akibat kebakaran tersebut. Karena dengan sepinya pengunjung, sangat berdampak besar pada mata pencaharian dan perputaran ekonomi.
Bayangkan saja, jika pelaku dikenakan pidana penjara maksimal 15 tahun dan/atau denda maksimal Rp5 miliar, apakah pidana penjara dan denda cukup untuk mengembalikan keadaan seperti semula? Saya rasa jauh dari kata cukup. Bagaimana menurut kalian?