Nggak kerasa sudah 3 bulan Sultan Covid-19 (2019-nCoV) yang beralih nama menjadi SARS-CoV-2 bersama dengan para antek-anteknya berhasil menduduki Indonesia.Keberadaan Sultan Covid-19 yang berasal dari negeri tak kasat mata ini bukanlah untuk berdagang rempah-rempah atau mengemban misi gold, glory and gospel. Bermodalkan teror pada kesehatan manusia, mereka datang untuk meluluhlantakkan negeri kita tercinta, Indonesia.
‘Entah apa yang merasukimu,’ wahai Indonesiaku. Sedari Sultan Covid-19 ini mencoba menguasai China daratan dengan terlebih dahulu mencaplok Wuhan, warning sign sudah menggema di seluruh dunia. Alhasil, mayoritas negara di dunia pun bersiap siaga untuk menghadapi ancaman Sultan Covid-19. Sayangnya, hal tersebut tidak berlaku bagi Indonesia.
Dari informasi yang banyak beredar di masyarakat, pada waktu itu pemerintah kita meyakini bahwa Sultan Covid-19 bersama dengan pasukannya tidak akan mungkin mampu menembus barikade sinar matahari yang ada di Indonesia. Bahkan, dengan sangat percaya diri para influenzer bilang, “Orang Indonesia itu kebal sama virus corona atau covid-19.”
Sialnya! Keyakinan tersebut berujung pada suatu kebijakan yang pada akhirnya mendatangkan blunder hebat. Saat Sultan Covid-19 diyakini belum masuk ke Indonesia, presiden membuka lebar-lebar akses pariwisata. Coba saja cek artikel yang ditayangkan oleh tagar.id yang berjudul “Tujuan Jokowi Bayar Influencer Rp72 Milyar.”
Dalam paragraf ke 6 sangat jelas menerangkan bahwa, “Dalam konteks menangkal dampak virus corona, jasa para influencer bakal digunakan untuk mempromosikan sejumlah objek wisata sekaligus membantu pemerintah untuk meyakinkan pengguna media sosial kalau lokasi wisata di Indonesia aman dari wabah virus tersebut.”
Bagi saya kebijakan tersebut sama sekali tidak mengakomodir dan memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 UU No. 6 Tahun 2018, yang berbunyi:
“Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.”
BACA JUGA: MENYAMBUT NEW NORMAL DI SEKOLAH
Jika saja pemerintah memperhatikan amanat pasal di atas dengan cermat dan seksama, kemudian mengimplementasikannya dalam bentuk kesiapsiagaan dan bertindak extra waspada terhadap potensi penularan si Sultan Covid-19 ini. Saya sangat yakin pemerintah tidak akan menginvestasikan uang miliyaran rupiah demi promosi wisata.
Sekarang, setelah kebijakan tersebut diambil, apakah Indonesia mendapat keuntungan? Saya rasa tidak. Malah kerugian yang didapatkan. Mau fakta, silakan cek kebun binatang, apakah di sana ada wisatawan yang datang untuk melihat parade tikus berdasi? Nggak ada kan.
Fakta paling nyata sekarang adalah keberadaan pasukan Sultan Covid-19 yang senyatanya telah membunuh, dan menginfeksi puluhan ribu rakyat Indonesia. Bahkan, pasukan Sultan Covid-19 juga sukses memporakporandakan hajat hidup rakyat Indonesia.
Lantas apa yang kemudian dilakukan pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan rakyat Indonesia? Jawabannya adalah PSBB (pembatasan sosial berskala besar) dan menganjurkan rakyat untuk melaksanakan segala aktifitasnya dari rumah. Apakah mungkin? Bagi yang memiliki ketahanan sumber daya, hal tersebut mungkin saja, tapi bagi mereka yang miskin, jelas hal tersebut merupakan hal yang sangat mustahil.
Saya yakin, pemerintah sangat menyadari bahwa penerapan PSBB dan kawan-kawannya cukup efektif untuk menekan keganasan pasukan Sultan Covid-19. Akan tetapi, jika kebijakan tersebut diterapkan terlalu lama (sampe covid selesai misalnya), jelas akan menimbulkan masalah ketahanan nasional, salah satunya yakni stuck atau macetnya roda perekonomian. Jadi buah simalakama kan.
Dalam rangka menjawab tantangan tersebut, saat ini pemerintah tengah menggodok suatu regulasi yang dinamakan dengan “New normal.” Secara arti new normal dapat dipahami sebagai “Perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal. Namun, perubahan ini ditambah dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19.” Itu katanya Bp. Wiku Adisasmita yang saya baca di kompas.com.
Saya paham sekaligus nggak ngerti sama penjelasan yang diterangkan oleh Bp. Wiku Adisasmita. Saya paham karena saya bisa membaca, namun saya jadi gagap ketika membaca kalimat, “Ditambah dengan menerapkan protokol kesehatan.”
Simpelnya begini, dulu waktu saya TK saya diajarkan untuk mencuci kaki, tangan, cebok, buang air di wc, membuang sampah pada tempatnya, hingga menggosok gigi. Agama saya juga mengajarkan kalo bersin harus ditutup mulutnya. Bukankah itu protokol kesehatan yang detik ini bapak dan seluruh rakyat Indonesia praktekkan? Beda ceritanya kalo memang sedari dulu kita nggak pernah diajarkan tentang protokol kesehatan.
BACA JUGA: GAK JADI PERANG LAWAN CORONA
Jika kita mau jujur, justru yang abai dengan protokol kesehatan itu adalah pemerintah sendiri. Kenapa begitu? Iya, karena memang faktanya, selain di Rumah Sakit, pemerintah tidak pernah menyediakan sabun atau hand sanitizer yang siap pakai di fasilitas umum.
Maka dari itu, semestinya arti dari new normal itu perlu ditambah kalimat, “Perubahan ini ditambah dengan kewajiban pemerintah untuk menyediakan peralatan serta perlengkapan yang mendukung protokol kesehatan.” Begini kan lebih cantik kalimatnya.
Terkait dengan wacana pemerintah untuk menerapkan new normal, saya berpesan kebijakan tersebut dipikirkan dengan sangat matang, mendalam, komprehensif, berbasis data keilmuan dan kebijaksanaan. Karena, jika kita kembali masuk ke dalam lubang yang sama, maka kita akan sulit untuk kembali bangkit.
Mengutip pernyataan Dr. Hans Henri P. Kluge (WHO Regional Director for Europe) yang berbunyi
“Jika negara tidak memiliki kesiapsiagaan untuk melakukan respon yang cepat, tenaga medisnya tidak dilatih, tidak dilengkapi dan dilindungi, warga negara juga tidak diberdayakan dan tidak diberikan informasi berdasarkan data, maka pandemi akan menyapu komunitas, menghentikan bisnis, merusak sistem kesehatan, mengambil nyawa dan mata pencaharian anda.”
Mulai sekarang, tanggung jawab ada di pundak bapak. Bukan di pundak para pembisik yang memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi. Bapak pasti berhasil mengembalikan senyum pasta gigi yang sudah tiga bulan ini sudah tak lagi tampak.