Rabu, 22 November 2023 kemaren, Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (Ikahum Atma Jogja) telah menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Menakar Kepemimpinan Yudisial Baru Dalam Mengembalikan Martabat dan Wibawa Mahkamah Konstitusi.” Wuih! Dari temanya saja bisa dibayangkan, gimana kerennya acara ini.
Sudah tahu dong, kalau Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini dinahkodai oleh Dr. Suhartoyo S.H., M.H, yang terpilih sebagai Ketua dan Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A sebagai wakil ketua Mahkamah Konstitusi untuk masa jabatan 2023–2028, menggantikan Anwar Usman. Pemilihan ini dilaksanakan dalam rangka menindaklanjuti Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 2/MKMK/L/11/2023 tanggal 7 November 2023 yang menginstruksikan dilakukan pemilihan pimpinan baru untuk masa jabatan 2023-2028 dalam waktu 2×24 jam sejak Selasa, 7 November 2023 pukul 18.21 WIB.
Ya, belum lama ini masyarakat disajikan drama panjang tentang pelanggaran kode etik hakim konstitusi, yang berujung pemilihan ketua MK dan wakilnya yang baru. Dalam sambutannya, Pak Dr. J. Widijantoro, S.H., M.H (Ketua Umum Ikahum Atma Jogja) menyampaikan bahwa drama penegakan hukum MK, seolah-olah melengkapi berbagai peristiwa bencana hukum yang terjadi di negeri kita, yang jauh dari semangat reformasi dan telah memasuki 25 tahun. Hiks, hiks, so sad.
Lalu apakah kepemimpinan yang baru dapat memberikan perubahan positif untuk mengembalikan martabat dan wibawa Mahkamah Konstitusi di mata masyarakat?
Sebagai pengawal konstitusi, MK harus kembali menjadi lembaga peradilan yang dihormati seluruh kalangan. Harkat, martabat dan keluhuran Mahkamah Konstitusi harus segera pulih dan dikembalikan pada posisi tertinggi.
Acara diskusi publik yang diselenggarakan Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (Ikahum Atma Jogja) tersebut, menghadirkan tiga narasumber. Yaitu, Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H. M.Hum (Hakim Konstitusi RI Periode 2003-2008 & 2015-2020), Violla Reininda, S.H., LL.M., (Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia) dan Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, SH.,MH (Akademisi/Pakar Hukum Tata Negara Universitas Atma Jaya Yogyakarta). Acara ini dimoderatori oleh kakak kita yang paling kece, Korneles Materay, S.H., (Anggota Bidang Kajian dan Penelitian Hukum IKAHUM Atma Jogja).
Dari acara diskusi publik ini, narasumber menyampaikan beberapa formula untuk mengembalikan martabat dan wibawa Mahkamah Konstitusi. Langsung aja deh, simak di mari.
Pertama, harus ada transformasi leadership MK yang bisa menyentuh persoalan yang sifatnya fundamental atau mendasar untuk menjaga independensi dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Menurut Mba Violla Reininda, perubahan kepemimpinan ini menjadi momentum untuk mengembalikan marwah Mahkamah Konstitusi. Meskipun dalam UUD 1945, peran ketua MK dan wakil ketua sebagai pimpinan lembaga bersifat administratif, tetapi dalam implementasinya peran itu sangat penting dan berat dalam iklim saat ini.
Kedua, harus ada independensi MK. Menurut mantan hakim mahkamah konstitusi, Bapak I Gede Dewa Palguna, apa yang terjadi di MK merupakan penyalahgunaan peradilan karena kurangnya independensi hakim. Terkait prinsip independensi, Pak Palguna bilang bahwa independensi hakim tampak dalam dua hal. Satu, tatkala menyidangkan suatu perkara atau menyidangkan suatu kasus. Kedua, terkait pertimbangan hukumnya. Sementara itu, Pak Benediktus Hestu Cipto Handoyo mengatakan bahwa dalam paradigma critical legal theory, aktivisme peradilan konstitusi sangatlah paradigmatik dalam konteks kewenangan MK dalam ketatanegaraan Indonesia. Oleh karena itu, independensi peradilan mensyaratkan hakim-hakim yang sangat negarawan. Bahwa lahirnya MK yang paradigmatik tidak terlepas dari amandemen yang menghilangkan penjelasan konstitusi, sehingga diperlukan lembaga yang memiliki kewenangan untuk menjelaskan.
Jadi menurut Pak Hestu, ketika menafsir konstitusi, sebagai negarawan tidak hanya memedomani rule of law, tetapi juga rule of ethic sehingga terjaga independensi peradilan.
Haduh, berat juga nih pembahasannya.
Tapi dari diskusi tersebut, bisa ditarik kesimpulan, bahwa ada beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk mengembalikan martabat dan wibawa Mahkamah Konstitusi. Menurut mba Violla Reininda, beberapa langkah cepat yang bisa dilakukan adalah: Pertama, kode etik yang ada harus bisa membatasi hakim-hakim dalam berperilaku. Kedua, judicial leadership yang deliberatif dengan pertimbangan-pertimbangan umum yang memang masuk akal. Ketiga, dari segi intelektualitas perlu untuk mendorong judicial accountability dengan model penulisan-penulisan pendapat hukum yang dilihat atau diketuai oleh hakim-hakim tertentu.
Kalo menurut pak I Gede Dewa Palguna, MK memang perlu diawasi dengan ketat. Maka, urgensi pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) perlu segera terealisasi. Berkaca dari pengalaman MK, ketika ada Dewan Etik, independensi MK relatif terjadi karena hakim-hakim diawasi dengan ketat day to day, sehingga pelanggaran dapat diminimalisir.
Pak Palguna juga menyarankan sebaiknya pemilihan hakim harus dilakukan secara objektif, transparan, partisipatif, dan sesuai asas-asas, juga tidak secara langsung melibatkan lembaga yang bersangkutan. Ia menyarankan perlu ada panel ahli yang menjembatani lembaga pengusul pada saat seleksi calon-calon hakim untuk menjamin hasil yang maksimal.
Wah, ternyata output dari diskusi ini sangat solutif ya. Kalo segera diimplementasikan, aku yakin sih, wibawa MK akan segera pulih. Menurut aku, event diskusi kaya gini harus sering-sering diadakan. Ya, biar masyarakat aware, plus bisa menyampaikan pandangan dan pendapatnya dalam satu forum yang tepat.