Saat ini AI (Artificial Intelligence) atau yang kita kenal sebagai kecerdasan buatan memang lagi hype banget. Nggak cuma di kalangan tech savvy aja, tapi di kalangan anak hukum pun juga ikut ngehype. Kalau kalangan tech savvy kek saya, ngebahasnya mungkin lebih pada pengembangan dan manfaatnya ya. Beda dengan anak hukum, mereka ngebahasnya lebih ke bagaimana regulasinya. Nah, kali ini saya akan mencoba share obrolan-obrolan AI ala anak hukum, berdasarkan pengalaman-pengalaman ngobrol langsung dengan mereka.
Salah satu hal yang sering muncul adalah soal status hukum AI. Jadi gimana sih, AI dimata hukum? Atau gimana sih, hukum memandang AI? Apakah AI sebagai obyek hukum atau subjek hukum. Nah, berat kan?
Tak jelasin juga di sini bahwa subjek hukum adalah segala sesuatu yang memiliki hak dan kewajiban. Kek, manusia atau perusahaan. Sedangkan obyek hukum itu yang bisa dikuasai oleh subyek hukum, kayak barang atau properti.
FYI aja nih, memang di Indonesia belum jelas status AI ini kek mana. Apakah AI dianggap sebagai tools (alat) atau sistem yang dikontrol sama manusia? Atau apakah AI ibarat makhluk yang memiliki ketangkasan untuk mengambil keputusan sendiri?
BACA JUGA: BALANCING INNOVATION AND ACCOUNTABILITY, KEBUTUHAN AKAN REGULASI PENGGUNAAN AI
Ya, AI yang makin hari makin canggih, bikin orang hukum mulai berpikir, gimana kalau AI sudah bisa bikin kebijakan sendiri dan berakibat serius? Siapa yang akan bertanggung jawab, programernya atau AI nya?
Misal programernya nih, kan dia hanya memprogram perintah AI untuk mengotomatiskan suatu pekerjaan tertentu, namun di sisi lain terjadi bias dalam integrasi datanya dan berakibat merugikan, sedangkan programmer juga sudah bekerja sesuai SOP dan etik yang ada, jika AI yang disalahkan, ya kali masak mesin di salahin? Rumit memang, rumit ngobrol sama kalian-kalian (orang hukum)
Ke depannya AI sudah pasti bakal diatur. Dan ada dua hal yang sering menjadi konsen yaitu gimana aturan pakainya dan gimana aturan ngembanginnya. Kalau pendapat saya sih, ngatur AI jangan ketat-ketat banget, khawatir bisa menghambat inovasi.
Sebenarnya sudah ada aturan yang menyinggung masalah AI. Misalnya, Permenkominfo Nomor 3 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Standar Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pos, Telekomunikasi dan Sistem dan Transaksi Elektronik, tapi memang belum cukup spesifik mengatur AI sih.
BACA JUGA: 6 TIPS MENGGUNAKAN CHAT GPT BAGI MAHASISWA HUKUM, BIAR GA PUSING
Tapi melihat perkembangan AI, pemerintah dan para pembuat regulasi harus pintar-pintar dalam menyeimbangkan antara mendorong inovasi dan melindungi masyarakatnya dari penyalahgunaan AI.
Saat ini nggak cuma robot yang menggantikan manusia di pabrik, ke depan AI bakal membawa perubahan lebih jauh lagi. Di mana pekerjaan yang sekiranya manual bisa lebih efisien dengan sistem otomatis berbasis AI. Perlu diingat orang yang belum paham AI bisa saja digantikan sama orang yang sudah mahir menggunakan AI.
Balik lagi soal status hukum AI di Indonesia, semoga tulisanku bisa ngingetin kita semua untuk segera punya regulasi yang jelas dan fleksibel. Tentu kuncinya adalah kolaborasi antara orang hukum dan orang tech ya.
Di samping AI yang terus mengalami perkembangan, sudah saatnya pemerintah menyiapkan masyarakatnya agar mampu bertransformasi terhadap pemanfaatan yang bakal dibawa teknologi ini.
Semoga di Indonesia AI bisa menjadi alat yang mendukung, bukan menghambat kemajuan kita bersama.