Konon, Raja Louis XIV, Raja Perancis yang terkenal dengan kekuasaannya yang absolut tersebut, pernah mengucapkan satu kalimat pendek untuk menegaskan kekuasaannya yang absolut tersebut. “L’état c’est moi!” Yang berarti “Negara adalah saya.” Ucapan sang raja absolut tersebut akhirnya menjadi sangat terkenal sampai hari ini, meskipun para sejarawan meragukan ucapan tersebut pernah keluar dari mulut sang raja.
Tadi malam, saya mendengar berita bahwa Badan Intelijen Negara alias BIN, lembaga yang sangat angker dan misterius itu, tidak lagi berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam). Hal itu disebabkan karena berdasar Pasal 4 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 73 Tahun 2020 tentang Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, BIN tidak lagi berada di bawah koordinasinya, berbeda dengan Pasal 4 Perpres Nomor 43 Tahun 2015 di mana BIN masih berada di bawah koordinasi Kemenko Polhukam.
Sampai sini, saya anggap masih wajar. Toh, saya juga baru tahu kalau ternyata BIN selama ini di bawah koordinasi Kemenko Polhukam. Ya ampun, ke mana saja saya selama ini?
Hanya saja, saya perlu bersyukur. Ketika pagi tadi saya mumet mikirin mau nulis apaan demi memenuhi tugas negara mingguan, saya menemukan sebuah pranala berita mengenai komentar Susaningtyas Kertopati. Sebagai pengamat intelijen, beliau menganggap bahwa dikeluarkannya BIN sebagai lembaga yang berada di bawah koordinasi Kemenko Polhukam merupakan hal yang seharusnya, karena dengan begitu tidak ada lagi tumpang tindih birokrasi dan BIN dapat bekerja lebih efektif dalam menyediakan data intelijen kepada single client, yaitu Presiden.
Saya sih, agak setuju dengan pendapat beliau. Alasannya karena pada dasarnya, BIN merupakan alat negara yang menyelenggarakan fungsi intelijen di dalam dan di luar negeri, yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Hal ini diatur di Pasal 1 Ayat (1) dan Ayat (2) Perpres Nomor 90 Tahun 2012 tentang Badan Intelijen Negara.
BACA JUGA: PENYAMARAN RAJA YANG TERBONGKAR
Ketika Perpres Nomor 43 Tahun 2015 diundangkan, kinerja BIN malah jadi membingungkan karena berdasar Perpres Nomor 43 Tahun 2015, BIN berada di bawah koordinasi Kemenko Polhukam. Lalu, ke mana BIN harus mempertanggungjawabkan pekerjaannya? Langsung ke presiden? Atau ke Menko Polhukam dulu, baru ke Presiden? Karena hal inilah, dari sudut pandang birokrasi, Perpres Nomor 73 Tahun 2020 merupakan langkah yang bagus untuk BIN dan patut diapresiasi.
Akan tetapi, mari kita lihat dari sudut pandang lainnya. Berdasar Pasal 9 UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, BIN merupakan salah satu aktor penyelenggara intelijen negara, di mana hakikat dari intelijen negara adalah merupakan lini pertama dalam sistem keamanan nasional.
Karena sebagai aktor penyelenggara intelijen negara itulah, berdasar Pasal 4 UU Intelijen Negara, salah satu peran BIN adalah memberikan deteksi dini dan peringatan dini guna menangkal ancaman yang mungkin timbul dan mengancam kepentingan dan keamanan nasional, baik ancaman dari dalam maupun dari luar negeri. Yah, pokoknya sedia payung sebelum hujan gitu, deh.
Sebenarnya kalau dibilang tidak ada yang salah, ya oke aja sih untuk saat ini. Cuma begini, saya pernah membaca draf RUU Perlindungan Data Pribadi, dan berdasar Pasal 3 RUU tersebut, pandangan politik termasuk salah satu data pribadi yang dapat dimintakan oleh Pengendali Data Pribadi selaku pihak yang melakukan pemrosesan data pribadi.
Siapa aja sih, yang dimaksud Pengendali Data Pribadi? Ada 3 (tiga) pihak berdasar Pasal 23 RUU Perlindungan Data Pribadi, yaitu:
- Setiap Orang;
- Badan Publik; dan
- organisasi/institusi.
BACA JUGA: UUPS, SALAH TANGKAP
Mari kita menyoroti bagian Badan Publik saja. Emangnya siapa sih, yang dimaksud dengan Badan Publik? Memang sih, di RUU Perlindungan Data Pribadi tidak disebutkan. Akan tetapi, pengertian Badan Publik bisa dilihat di Pasal 1 angka 2 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, di mana Badan Publik diartikan sebagai lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, dan sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD. Sebenarnya sumber dananya masih panjang, tapi yang jelas masih terkait APBN dan/atau APBD gitulah. Googling sendiri aja ya, capek saya ngetiknya.
Di sinilah saya beralasan saya cuma ‘agak setuju’ dengan Ibu Susaningtyas Kertopati. Saya setuju dengan beliau dalam hal birokrasi, karena secara peraturan perundang-undangan memang terdapat tumpang tindih birokrasi. Tapi, dengan mengetahui bahwa pandangan politik merupakan data yang dapat dimintakan oleh pemerintah selaku lembaga eksekutif, rasanya saya jadi skeptis juga dengan dikeluarkannya BIN dari koordinasi Kemenko Polhukam.
Begini maksudnya. Ketika RUU Perlindungan Data Pribadi disahkan, kelak dan tiap warga negara dimintai data mengenai pandangan politik oleh pemerintah. Nah, menurut saya hal ini akan menjadi persoalan serius. Siapa yang bisa menjamin data itu tidak disalahgunakan? Misal si A secara pandangan politik berbeda dengan rezim yang berkuasa, lalu siapa yang bisa menjamin rumahnya tidak didatangi pedagang bakso yang bawa HT, karena si A dicurigai sebagai ancaman yang dapat mengganggu stabilitas keamanan negara?
Dengan adanya berbagai macam upaya pemerintah saat ini untuk menjamin stabilitas keamanan negara, dikeluarkannya BIN dari koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), itu bisa berarti bahwa BIN menjadi lembaga negara yang mandiri (independen). Di sini saya sedikit khawatir juga. Semoga BIN tidak menjadi alat Presiden menjadi “L’état c’est moi!”
Yah, itu sih pemikiran liar saya saja, ya. Saya sih, yakin kalau pemerintah yang sekarang, maupun yang akan datang kelak gak akan berpikiran seperti Raja Louis XIV. Toh, netizen di Indonesia kan terkenal ganas. Aktris Drakor aja gak nyaman karena dinyinyirin sebagai pelakor sama netizen kita, apalagi pemerintah sendiri. Eh, tapi kita ada UU ITE ya? Waduh.