“We are advancing into a post-professional society.” – Richard Susskind
Quote di atas merupakan quote dari Richard Susskind yang ada di dalam bukunya, The Future of the Professions: How Technology Will Transform the Work of Human Experts. You know what? It’s quite true nowadays.
Richard Susskind menyatakan dalam bukunya bahwa ada dua kemungkinan di masa depan untuk pekerjaan profesi di era teknologi ini.
The first one is efficiency. Dalam kasus ini, para pekerja profesional tetap melakukan apa yang telah dilakukan sejak abad lalu. Hal yang membedakan antara abad lalu dan sekarang lebih kepada standarisasi dan sistematisasi dari pekerjaan-pekerjaan rutin yang dilakukan. Proses perampingan juga dilakukan dalam kasus ini. Take example of lawyer, yang tadinya harus antri pagi-pagi di pengadilan untuk daftar kasus, sekarang bisa dilakukan secara online dan singkat.
The second one is availability. Perkembangan teknologi yang sangat cepat memunculkan banyak pemecahan masalah, yang tadinya harus diatasi oleh para profesional. Misalkan HaloDoc, yang dapat memudahkan masyarakat mengakses informasi kesehatan melalui smartphone. Kemudahan akses dan availability inilah yang akan memindahkan atau bahkan menghilangkan fungsi dari profesi-profesi tradisional.
BACA JUGA: APAKAH ADVOKAT ITU HARUS KREATIF DAN MELEK TEKNOLOGI?
Jika dilihat dalam jangka panjang, maka masa depan kedua akan mendominasi. We homo deus, akan menemukan cara baru yang lebih baik untuk berbagi keahlian profesi dalam masyarakat. That’s what Susskind said in his book.
Perubahan dalam profesi pasti akan terjadi, but doesn’t mean it’s a bad thing. Akan muncul sebuah tantangan dan peluang baru dalam profesi hukum dari yang sudah ada saat ini.
Tantangan di industri hukum, IMO ga usah takut.
Disruption dalam menjalankan profesi apapun dapat menyebabkan perubahan drastis jika orang yang terlibat tidak siap. Demikian pula, kemajuan teknologi di bidang hukum. Hal ini tidak akan bekerja secara maksimal jika para praktisi tidak bisa menerima perubahan dan upgrading keterampilan mereka. Did I have to say, apa yang akan terjadi jika para praktisi hukum nggak bersiap-siap menghadapi kemajuan teknologi? Well, in a nutshell, they will perish.
IMO, praktisi hukum harus memiliki sense of urgency dalam perkembangan di bidang legaltech. Faktor yang berkontribusi terhadap kurangnya urgensi adalah kecemasan tentang dampak apa yang mungkin dilakukan teknologi ini terhadap industri hukum.
Kantor atau firma hukum dapat melakukan perombakan teknologi seperti yang banyak dilakukan perusahaan sekarang. Memang hal ini dapat memunculkan beberapa kemungkinan masalah baru. Data pribadi klien, arsip file sensitif kasus, tingkat kepercayaan, keamanan data firma, kemampuan penggunaan teknologi dan perubahan habit bisa jadi alasan dalam memutuskan apakah akan dilakukan perombakan IT. Belum lagi masalah modal dan profit dari investasi teknologi, masuk di kantong apa enggak.
It’s arguably true that, di masa serba digital ini, transformasi teknologi haruslah didorong jika dilihat dari segi bisnis. Hal ini juga bisa didasarkan atas ekspektasi klien atas proses hukum yang cepat, simple, mudah diakses, dan biaya ringan. Salah satu cara dalam menjawab kebutuhan tersebut adalah dengan menyediakan jasa hukum secara online.
Hal tersebut tentu akan susah dilakukan jika para praktisi hukum masih berpikiran secara linear dan masih memiliki tendensi harus dilakukan dengan standar mereka sendiri.
The focus of the industry, need to switch dari penawaran jasa menjadi menjawab permasalahan masyarakat.
Peluang industri hukum dan praktisi hukum di era teknologi, saatnya cuan!
BACA JUGA: 4 MACAM SPESIALISASI PROFESI ADVOKAT
Perkembangan teknologi juga menyebabkan munculnya beberapa aturan baru. Di Indonesia sendiri juga sudah muncul beberapa aturan. There are few regulations that specifically membahas tentang penggunaan teknologi. Misalnya UU Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), UU nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik beserta peraturan perubahannya serta aturan tentang PSE. Dengan perkembangan teknologi, maka muncul juga kesempatan bagi para lulusan hukum. Ada beberapa contoh profesi hukum yang berkembang akibat perkembangan teknologi.
- Law Firm Technology Consultant
Konsultan IT Firma Hukum, dapat membantu firma hukum untuk mengimplementasikan teknologi dalam proses operasional mereka. Praktisi hukum yang mahir dalam IT dapat memasuki posisi ini. Begitu juga orang IT yang tahu tentang hukum.
- Legal Software Developer
Software house ataupun perusahaan IT dapat membuat produk IT digunakan untuk membantu proses hukum. Sebenarnya sudah banyak yang melakukan hal ini, hanya saja optimalisasi dari aplikasi yang bisa dibilang kurang tepat sasaran or simply not profitable.
- Patent and Intellectual Property
Perusahaan teknologi pasti memiliki paten atau HKI yang harus mereka lindungi. Praktisi hukum dapat fokus pada perlindungan hak kekayaan intelektual dan paten. Paten dan IP ini mencakup hak cipta, merek dagang, rahasia dagang, merek, logo, nama domain dan situs web serta juga hak paten. Banyak perusahaan yang mempekerjakan pengacara untuk melindungi identitas merek mereka dan memastikan tidak ada orang lain yang menggunakan nama merek dagang mereka tanpa izin.
- Data Protection Officer
DPO atau Petugas Perlindungan Data bertugas memastikan bahwa organisasi menerapkan aturan standar yang melindungi data pribadi individu sesuai dengan peraturan yang berlaku di wilayah tersebut. Penunjukan, posisi dan tugas DPO dalam suatu organisasi telah dijelaskan dalam aturan GDPR Eropa. Di Indonesia sendiri kebutuhan atas DPO dapat didasarkan pada Pasal 53 UU PDP yang mengatur tentang pengendali data pribadi dan prosesor data pribadi wajib memiliki/menunjuk petugas yang melaksanakan fungsi PDP.
Personally, i’m intrigued tentang bagaimana teknologi akan merubah industri hukum di Indonesia secara keseluruhan. Let’s wait a few more years. Apakah kita akan thriving atau malah nggak ada perubahan sama sekali? CU.
“Lawyers, remember, the world will end only once—and it’s unlikely to happen over your case.” – Mark Hornak