Assalamu’alaikum Bapak Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo yang kami hormati. Apa kabar Pak? Saya berdoa semoga bapak selalu diberi kesehatan. Saya tahu, pekerjaan bapak sebagai pemimpin negeri ini tidaklah mudah, terutama dalam menghadapi wabah COVID-19. Sebelumnya saya juga ingin mengucapkan duka yang sedalam-dalamnya, mengingat ibunda Pak Presiden baru saja dipanggil Tuhan Yang Maha Esa. Semoga bapak diberi kekuatan dalam menghadapi ini semua. Aamiin.
Pada tanggal 31 Maret kemarin, saya menonton konferensi pers bapak di televisi. Bapak mengumumkan bahwa pada hari itu pemerintah menerbitkan tiga produk hukum. Dua produk merupakan peraturan, yaitu PP Nomor 21 Tahun 2020 dan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Satu produk hukum yang lainnya berupa Keppres Nomor 11 Tahun 2020.
Sebelumnya saya pernah menuliskan pemikiran saya tentang dua produk hukum berupa PP dan Keppres yang malam itu diundangkan. Semoga pemikiran saya sampai ke bapak, tapi jika tidak sampai, ya tidak apa-apa. Karena tujuan saya menuliskan pemikiran saya, semata-mata untuk membuka diskursus terkait PP dan Keppres tersebut.
Bapak Presiden yang terhormat, sebetulnya saya tidak ingin mengomentari Perppu yang diundangkan kemarin, soalnya terlalu ekonomi dan saya tidak paham ekonomi. Hanya yang saya tahu, di luar sana banyak pihak yang mengkritisi Perppu yang diundangkan kemarin. Perppu tersebut dianggap memberi imunitas kepada pihak-pihak tertentu. Mungkin staf bapak bisa googling untuk membaca berbagai pemikiran masyarakat tentang Perppu tersebut. Pasal yang paling dikritisi adalah Pasal 27, tepatnya Pasal 27 Ayat (2) yang berbunyi:
“Anggota KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan), Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pasal tersebut banyak dikritisi karena memuat frase “tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana.” Bukankah itu artinya semua tindakan para pihak yang melaksanakan Perppu tersebut dianggap semua benar? Padahal bisa saja mereka melakukan sesuatu yang ternyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau justru membuat kebijakan tanpa ada itikad baik. Frase tersebut secara terang-terangan memberi imunitas atau kekebalan hukum kepada beberapa pihak tertentu.
BACA JUGA: PRESIDENTIAL SEMU
Jika pemerintah beralasan ketentuan Pasal 27 Ayat (2) tidak sepenuhnya memberi imunitas karena ada frase “jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” maka itu artinya para pihak yang dijamin imunitasnya dalam Pasal 27 Ayat (2) itu masih bisa dituntut baik secara pidana maupun digugat secara perdata, apabila mereka dalam melaksanakan tugas tidak disertai dengan itikad baik dan tidak sesuai peraturan perundang-undangan.
Jika pemerintah beralasan demikian, itu juga tidak sepenuhnya salah. Hanya masalahnya, siapa yang berhak untuk menentukan para pihak tersebut telah melaksanakan tugas dengan itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan?
Perppu tersebut tidak membuat tolok ukur itikad baik yang dimaksud. Mengingat hal ini terkait dengan pengambil kebijakan, maka menurut saya pribadi, kita bisa mengacu pada Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik atau AUPB untuk sebagai tolok ukur itikad baik.
Pasal 1 Ayat (17) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menjelaskan bahwa AUPB adalah prinsip yang harus dijadikan pegangan pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang sebelum mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Lebih lanjut, Pasal 10 Ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan mengatur sedikitnya 8 (delapan) AUPB, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum dan pelayanan yang baik.
Ketentuan Pasal 10 Ayat (2) UU menegaskan bahwa AUPB tidak sebatas yang telah diatur dalam Pasal 10 Ayat (1), tapi bisa juga asas-asas umum yang ditentukan berdasar yurisprudensi.
Lalu pertanyaan yang muncul dibenak saya adalah, bagaimana misalnya jika pihak yang dijamin dalam Pasal 27 Ayat (2) Perppu itu ternyata melanggar sebagian atau bahkan seluruh asas baik di Pasal 10 Ayat (1) atau Pasal 10 Ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan, apakah mereka disebut ‘cuma’ melanggar itikad baik, melanggar peraturan perundang-undangan atau keduanya? Mengingat ketentuan Pasal 27 Ayat (2) Perppu menggunakan kata hubung “dan” di antara frase “itikad baik” dengan “sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” artinya pasal tersebut bersifat kumulatif, sehingga untuk dapat dijerat maka semua unsur harus terpenuhi.
Dini Purwono, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum menyampaikan bahwa Pasal 27 Ayat (2) Perppu ini ada karena pengalaman sejarah ketika masa krisis tahun 1998 dan 2008, para pengambil kebijakan rentan diseret ke pengadilan gara-gara kebijakan yang diambil.
Jika memang alasan tersebut menjadi pembenaran terhadap isi Pasal 27 Ayat (2) Perppu, maka saya perlu menyampaikan bahwa tidak perlu khawatir sejarah tahun 2008 akan terjadi kembali.
BACA JUGA: PERGULATAN POLITIK ALA OLIGARKI
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-IV/2016 menyatakan bahwa kata “dapat” sebelum frase “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” di Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan konstitusi.
Kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi dihapuskan karena dikhawatirkan akan membuat pengambil kebijakan dituduh korupsi meski kerugian keuangan negara atau perekonomian negara belum terjadi.
Dengan dihapuskan kata “dapat” Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi itu artinya, para pengambil kebijakan tidak bisa dituduh korupsi jika tidak terjadi kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Pada tahun 1998 dan 2008, kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi masih berlaku, sehingga akhirnya banyak pengambil kebijakan saat itu diseret ke pengadilan karena kebijakannya dipandang berpotensi merugikan keuangan negara.
Pak Presiden yang mulia, untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengutip adagium dalam buku Prinsip-Prinsip Hukum Pidana karya Prof. Eddy OS Hiariej, dalam buku itu dituliskan adagium “impunitas semper ad deteriora invitat,” yang artinya imunitas mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan yang lebih besar. Jadi mohon dipertimbangkan.