Ada anggapan bahwa mahasiswa fakultas hukum pasti hafal undang-undang. Saya sebagai sarjana hukum menjamin pernyataan itu sama sekali gak benar. Emang benar sih, di fakultas hukum kami diajarkan berbagai hal terkait dengan hukum, tapi ya gak harus dihafalin juga. Cukup dipahami dan dimengerti.
Teorinya hukum itu kadang suka beda sama praktiknya. Jadi ilmu yang didapatkan di Fakultas Hukum bisa dipake untuk membangun logika hukum. Disadari atau nggak, semua bidang kehidupan kita ini berhubungan dengan hukum. Bahkan dalam hukum ada ungkapan “Ubi societas ibi ius” yang diartikan, “Di mana ada masyarakat maka di situ ada hukum.” Bisa dibilang hukum sangat diperlukan untuk mengatur kehidupan manusia.
Meskipun banyak hal sudah diatur dengan hukum, tapi sayangnya hukum identik dengan bahasa formal dan kaku, jadi banyak banget orang yang sulit untuk memahami hukum. Ya jangankan orang awam, sarjana hukum aja masih banyak yang bingung dengan aturan-aturan yang seharusnya cukup familier di kalangannya. Bahkan banyak pejabat negara, pegawai negara atau pegawai-pegawai swasta yang menduduki jabatan atau bergelut dalam bidang usaha tertentu, tapi mereka gak paham dengan aturan terkait pekerjaan mereka. Contoh aja, masih banyak pegawai bank yang gak paham UU Perbankan, masih banyak bendahara di lembaga negara yang gak paham UU Perbendarahaan Negara, bahkan masih banyak pekerja yang gak paham UU Ketenagakerjaan.
Sudah seharusnya semua rakyat Indonesia melek hukum. Karena setiap orang ntah kaya atau miskin, lulusan sarjana hukum atau bukan, dianggap tahu hukum. Nah, asas ini disebut dengan fiksi hukum (rechtfictie).
Dalam sebuah fiksi hukum, siapapun tanpa kecuali dianggap tahu hukum. Ngerti dan paham dengan semua peraturan perundang-undangan yang ada. Simplenya orang gak bisa ngeles dan bilang, “Ooohhh, maaf saya gak tahu ternyata ada hukumnya.”
BACA JUGA: BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA
Misalnya nih, atm kamu dipinjem temen buat bayar transaksi sabu. Kamu tahu, tapi karena kamu gak enak hati untuk menolak, jadi kamu pinjemin. Kamu juga beranggapan bahwa semua aman aja, yang penting kamu gak beli dan pakai sabu. Nah, apesnya temen kamu keciduk, lalu kamu pun ikut diperiksa dan jadi tersangka. Nah, disaat seperti ini kamu gak bisa ngeles dan bilang kalo kamu gak tahu bahwa perbuatan kamu meminjamkan atm tersebut merupakan perbuatan melanggar hukum. Btw, ini kasus beneran pernah terjadi dan saya jadi Penasehat Hukumnya.
Bisa dibilang banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang belum diketahui masyarakat. Bahkan jika ada undang-undang yang cukup familier di masyarakat, seperti UU ITE, UU Narkotika, UU Korupsi dan berbagai undang-undang lainnya, masyarakat cuma tahu tanpa memahami apa saja yang diatur dalam undang-undang tersebut. Paling satu dua pasal yang bisa dimengerti dengan baik, sisa yang sekian puluh pasal lainnya gak pernah diperhatiin detailnya. Wajar aja, saya juga gitu kok.
Jangan lupa bahwa undang-undang yang ada di negara kita bukan cuma UUD 1945 dan KUHP aja. Buanyyaaakkk banget undang-undang yang mungkin kamu-kamu, bahkan saya sendiri gak mengetahui. Misalnya ni, ada UU Sistem Pembukuan, UU Pemajuan Kebudayaan, UU Arsitek, UU Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, UU Tabungan Perumahan Rakyat, UU Desa, UU Kesehatan Jiwa, UU Pencarian dan Pertolongan, UU Administrasi Pemerintah, UU Panas Bumi, UU Transfer Dana, UU Mata Uang, UU Pengelolaan Zakat, UU Geospasial dan lain-lain. Di antara semua undang-undang yang saya sebut itu, jujur aja saya sendiri belum pernah download, apa lagi baca isinya.
Ntah, berapa ribu peraturan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, walaupun belum pernah baca, kita dianggap tahu dan paham semuanya sehingga kita ga boleh melanggarnya. Beruntungnya sekarang kita lebih mudah untuk mengakses berbagai peraturan perundang-undangan. Tinggal masuk ke web dpr.go.id atau webnya jdihn.go.id, kita bisa donwload dan baca peraturan perundang-undangan yang kita butuhkan. Tapi masalahnya gak semua rakyat Indonesia bisa mendapatkan dan bisa mengakses internet, gimana coba dengan nasib rakyat Indonesia yang ada di daerah pedalaman.
BACA JUGA: MENGENAL HUKUM PIDANA DAN PERDATA
Mengacu pada ketentuan Pasal 88 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebenarnya pemerintah dan DPR sudah diamanatkan untuk melakukan penyebarluasan peraturan perundang-undangan sejak tahap penyusunan Prolegnas, penyusunan rancangan undang-undangan, pembahasan rancangan undang-undang, sampai dengan tahap pengundang undang-undang. Harapannya dengan ada penyebarluasan tersebut, masyarakat dan juga pihak-pihak yang berkepentingan dapat memberikan informasi dan masukan untuk undang-undang terkait.
Itukan idealnya, faktanya banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat secepat kilat. Seperti yang saya bahas sebelumnya, banyak peraturan perundang-undangan yang justru gak diketahui keberadaannya oleh masyarakat luas. Lalu masak iya kita serta merta dianggap tahu dengan semua isi undang-undang yang kita sendiri belum pernah denger ataupun baca.
Terkait asas fiksi hukum, menurut saya ada dua masalah fundamental yang harus segera diselesaikan. Pertama, terkait penyebarluasan yang tidak merata ke seluruh rakyat Indonesia. Perlu dikencangin lagi tuh sosialisasi lewat media cetak, media elektronik, workshop, konfrensi pers, seminar atau kegiatan lain dengan lebih masif. Jangan cuma undang-undang yang rame di komentarin doang yang disosialisasikan.
Kedua, terkait ribet dan riwehnya pengaturan hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan. Bahasa dalam pasal-pasal yang terlalu kaku, kadang sulit dimengerti. Materi yang terlalu banyak, kadang suka gak sinkron, malah bikin masyarakat yang baca jadi sulit untuk memahami isi peraturan perundang-undangan dengan baik. Belum lagi undang-undang di Indonesia banyak pake banget, ini juga jadi masalah yang bikin asas fiksi hukum terasa mengikis nilai keadilan. Rasanya kan nyesek ya, kalo kita dijerat hukum padahal kita sendiri gak tau kalo yang kita lakukan ternyata melanggar hukum. ~~~~~~