Pandemi merubah segalanya, tatanan dunia bakalan berubah setelah pandemi ini berakhir, yang entah kapan waktunya.
Tapi ini beneran lo, pandemi ini ngerubah segalanya, semua lini terkena imbasnya. Lini ekonomi tentu aja jadi yang terdepan kena dampak, berikutnya lini sosial budaya, termasuk di dalamnya mempengaruhi pola perilaku dan interaksi masyarakat sehari-hari.
Siapa yang nyangka kalo pake masker jadi trend? Kecuali Manabu Mikami yang ke mana-mana pake masker. Gak capek apa ya berantem pake masker?
Yang biasanya jajan bakso aja ndadak ke gerai mol, sekarang cukup mbakso gerobagkan di depan rumah. Biasanya kalo ketemu cipika cipiki sambil njawil syantik, sekarang cukup menangkupkan tangan di dada. Ah, antum bukan muhrim ane wahai ughtie yang e-nya 3.
Hukum juga gak luput dari perubahan, karena hukum sebagai sarana kontrol sosial maka doi juga wajib ai’n untuk ikut berubah donk. Yakan masyarakat melalui pola interaksinya udah berubah, masak hukum yang jadi alat kontrolnya gak ikutan update. Ntar kayak ngejar maling yang pake Kawasaki Ninja H2, eh tapi yang ngejar cuman pake Yamaha V75.
Menjadi sebuah keniscayaan ketika hukum pidana sebagai alat penegakkan hukum yang punya elemen sarana dan prasarana untuk memaksa masyarakat tunduk dan patuh pun ikut berubah. Udah saatnya wajah pidana yang garang dan kaku berubah menjadi lebih humanis. Gak juga harus berubah jadi unyu dan ngegemesin kayak dedek gemes bersepatu vans idola El Presidente, nanti malah gak ada yang mentaatinya lagi ndes.
Hukum harus mampu mengikuti perkembangan jaman dan mampu menjawab perubahan jaman dengan segala apa yang ada di dalamnya.
Ketika jaman kerajaan nuswantara, sabda raja adalah hukum yang sah dan mutlak berlaku bagi masyarakatnya. Hingga datanglah bangsa Eropa ke tanah surga di antara dua samudra ini dengan membawa aturan hukum, norma dan kebiasaannya. Lambat laun hukum ala Eropa merembes dan meresap kepada khalangan pribumi hingga dikodifikasi yang salah satu hasilnya adalah Wetboek van Strafreeht (WvS) alias Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berdasarkan Pasal II aturan peralihan dan UUD 1945 jo. Pasal 192 Konstitusi RIS 1949 jo. Pasal 142 UUDS 1950, berlaku mulai 1 Januari 1918 sampek sekarang.
Hukum pidana Indonesia dengan segala instrumennya yang ngatur proses dan tata cara formal yang wajib dilewati dalam penanganan sebuah perkara pidana seringkali jadi alat represif untuk menekan salah satu pihak yang berperkara. Gak jarang juga justru jadi ajang sarana balas dendam korban terhadap pelaku dengan meminjam tangan yang legitimate untuk melaksanakan hasratnya.
Apakah hukum pidana itu hanya soal memenjarakan si pelaku kemudian selesai? Oh tentu tidak semudah itu, Bambang. Inget hukum pidana bukan alat pembalasan dendam Mbang. Hukum pidana itu adalah sebagai pilihan terakhir.
Jaman selalu berkembang, kebudayaan berubah, hanya perasaanku padamu yang masih sama sejak dahulu kala. Di jaman modern tatanan masyarakat berubah, apalagi dengan adanya kemajuan teknologi. Pola kehidupan masyarakat jelas ikut menyesuaikan, jaman dulu titik berat penerapan hukum terutama pidana hanya untuk menghukum pelaku dan menimbulkan efek jera. Sekarang jauh berkembang hingga mikirin konsep hukum yang lebih manusiawi, lebih humanis. Gak sekedar yang salah kemudian dipenjara lalu jera, tapi lebih kepada bagaimana sebuah masyarakat mau patuhi hukum tanpa perlu dipenjara.
Bahwa yang salah tetep harus dihukum sesuai perbuatannya tanpa mengurangi hak dan harga dirinya sebagai manusia, pun tanpa mengesampingkan akibat perbuatannya terhadap si korban. Istilahe terjadi negoisasi kekeluargaan untuk musyawarah demi mufakat. Cieee, hukumnya bercorak bangsa Indonesia banget nih.
Menurut Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.C.L, salah satu tujuan hukum pidana adalah tegaknya ketertiban dan perdamaian. Apabila cara yang ditempuh telah menghasilkan ketertiban dan perdamaian, tujuannya udah tercapai, apa iya masih diperlukan proses pemidanaan konvensional?
Hingga pada tahun 1970-an di negara Kanada sana timbul sebuah gagasan yang diawali dari pelaksanaan program penyelesaian perkara di luar pengadilan. Mulanya digunakan sebagai tindakan alternatif buat ngehukum pelaku kriminal anak. Sebelum dilaksanakan hukuman, pelaku dan korban diijinkan bertemu guna membicarakan permasalahan di antara mereka yang mana hasil pembicaraan tersebut jadi salah satu pertimbangan hakim buat mutus perkara yang bersangkutan.
Sebenernya hal serupa dan mirip-mirip juga banyak ditemuin dalam praktek hukum adat di beberapa komunitas masyarakat adat di Indonesia. Misal dalam komunitas adat tersebut ada sebuah tindakan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang, maka penyelesaian sengketanya dilakukan secara internal masyarakat adat setempat tanpa melibatkan aparat negara. Takaran penyelesaian yang adil menurut mereka adalah ganti kerugian berdasarkan kesadaran pelaku dan pemaafaan dari korban dan keluarganya.
Secara yuridis formal prinsip di atas dinamakan sebagai restorative justice, yaitu sebuah konsep pendekatan dan penyelesaian perkara pidana yang lebih mengutamakan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.
Sama halnya terdapat dalam beberapa ajaran agama Samawi yang banyak mengandung nilai-nilai restorative justice, dimana prinsip cinta kasih, kedamaian dan pemaafan menjadi solusi terhadap tindak kejahatan yang terjadi. Dalam agama Islam misalnya, terdapat kata islah yang mengacu pada sikap bathin dan tindakan nyata untuk melakukan rekonsiliasi demi kepentingan yang lebih besar. Lewat islah pihak yang berperkara dipertemukan untuk rukun kembali. Dasar dari terwujudnya islah ini adalah pemberian maaf.
Dalam hukum pidana Indonesia konsep restorative justice salah satunya terdapat dalam UU 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Terhadap kejahatan yang berkaitan dengan anak, baik sebagai pelaku, korban maupun saksi diutamakan diselesaikan melalui diversi. Diversi adalah sebuah proses pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 7 UU SPPA.
Melalui perkembangan jaman dan perkembangan hukum, hukum yang tadinya sebatas bersifat pembalasan dendam kemudian berubah menjadi lebih humanis. Restorative justice adalah koentjik dan jadi salah satu jawabannya. Sebuah proses hukum modern yang mengedepankan dialog di kalangan pihak-pihak yang berkepentingan, sebuah musyawarah untuk mufakat sebagai salah satu solusi alternatif penyelesaian tindak kejahatan.
Apa gak rumit Trot bahas ginian?
Ya pasti rumit lah ndes, ada pepatah bilang bahwa hidup sendiri itu juga merupakan sebuah masalah. Akan selalu ada disparitas terjadi antara das sein dengan das solemn, antara ius constitutum dengan ius constituandum. Antara aku, kamu dan pacarmu.
Jangan lupa cuci kaki dan tangan sebelum bobok ndes.
AUTHOR NOTE :
Keknya Foxtrot baru kesurupan yang mbaurekso buku KUHP gegara lama gak disentuh.
Malem mingguan sama siapa ndes?