PERNAH DENGAR DEATH ROW PHENOMENON?

Gimana ya, kabarnya orang-orang yang divonis pidana mati? Kok, habis putusan lenyap kek, ditelan bumi? Hmm, jangan-jangan mereka bebas nih? 

Kalian pernah kepikiran gitu nggak sih, guys? 

Ya, memang sih, sebagian besar orang-orang yang divonis pidana mati belum dieksekusi. Ditjen Pemasyarakatan bilang noh, tahun 2022 ada 404 terpidana mati yang belum dieksekusi. Eeits, tapi bukan karena mereka dapat privilege penundaan eksekusi ya. 

Btw, kalian pernah dengar death row phenomenon nggak? 

Kalau belum tahu, death row phenomenon  ini istilah yang dipakai untuk menggambarkan penderitaan fisik dan mental akibat lamanya masa tunggu yang nggak pasti dan kondisi penjara yang buruk. Kesimpulannya, mereka yang lagi nunggu eksekusi pidana mati ini nggak bahagia. Kayak melihat mantan nikah sama doinya, hiks hiks. Kalau nggak percaya, sini tak kasih paham.

Pertama, hukum pidana Indonesia tidak ada yang mengatur batas waktu eksekusi pidana mati. Ini nih, salah satu faktor yang membuat lama proses eksekusi pidana mati. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pernah mencatat kalau tahun 2020 ada 60 orang terpidana mati menunggu eksekusi lebih dari 10 tahun dan belum juga dieksekusi.

BACA JUGA: CURKUM #99 PERBEDAAN HUKUMAN MATI DAN PENJARA SEUMUR HIDUP

Kedua, tidak adanya program yang dibuat khusus untuk terpidana mati. Di UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, cuma ada program pemasyarakatan untuk terpidana penjara. Selama ini tuh, terpidana mati nggak wajib mengikuti kegiatan di lapas. Efeknya ada terpidana mati yang mengurung diri di dalam sel. FYI, info ini aku dapat dari staf lapas langsung ya, guys.

Alasannya ya, karena nggak ada aturan yang mewajibkan. Sebenarnya hal ini menunjukkan kalau negara nggak peduli sama terpidana mati. Padahal yang dirampas tuh, hak hidup loh. Bukan hak mendapatkan perlakuan yang sama saat di lapas. Seharusnya ada program yang memiliki dasar hukum untuk mengubah terpidana mati menjadi pribadi yang lebih baik dan siap menghadap Yang Maha Kuasa.

Ketiga, lapas kita overcrowding. Ini sih, sudah bukan rahasia umum lagi kalau lapas kita tuh, kelebihan muatan.

Keempat, ternyata nggak semua lapas memiliki psikolog. Ini juga nih, faktor penting tapi jarang diperhatikan sama pemerintah. Bisa bayangin nggak, gimana tertekannya seseorang yang tahu kalau dia bakal mati. Bisa gila nggak tuh? Ya, bisalah. Kalau gila nggak bisa dieksekusi. Inilah pentingnya ada psikolog yang mendampingi terpidana mati. Sebenarnya yang butuh nggak cuma terpidana mati sih, semua penghuni lapas pasti butuh pendampingan psikolog. Biar bisa melalui masa-masa berat di penjara.

Nah, bisa dibilang kalau apa yang terjadi dengan terpidana mati sekarang tuh, sesuai sama definisi death row phenomenon yang aku jelasin. Cuma nggak terekspos aja. Tapi jangan salah paham ya, aku bukannya mau para terpidana mati ini cepat meninggal. Tapi tolonglah, kesejahteraan terpidana mati selama menunggu eksekusi diperhatikan.

BACA JUGA: SEMOGA PENEGAKAN HUKUM 2023 SE’EPIK’ KERETA PANORAMIC

Actually,  ada angin segar dengan adanya KUHP yang baru saja disahkan. Dimana ada konsep komutasi atau pengubahan pidana mati ke jenis pidana lain. Coba deh, lihat Pasal 100 UU Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di situ dijelaskan kalau hakim bisa menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan. Tentunya disertai syarat ya, nggak cuma-cuma, ygy. 

Misalnya nih, terdakwa menyesal dan ada harapan memperbaiki diri atau peran terdakwa dalam tindak pidana.  Jadi nggak semua terdakwa pidana mati bisa mendapatkan masa percobaan ya. Masa percobaan ini ibaratnya kesempatan kedua bagi terpidana mati untuk menjalani kehidupan. Hal itu bisa kita lihat lebih detail di Pasal 100 UU Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Disebutkan kalau selama 10 tahun masa percobaan terpidana mati menunjukkan perubahan yang baik, maka pidana mati bisa diubah ke pidana seumur hidup dengan keputusan presiden. Nggak cuma itu, terpidana mati yang tidak mendapatkan masa percobaan tetap memperoleh jaminan. Kalau 10 tahun sejak grasinya ditolak presiden bukan karena melarikan diri, pidana matinya bisa diubah menjadi pidana seumur hidup.

Konsep ini punya nama keren loh. Perumus KUHP menyebutnya, “The Indonesian Way.” Harapannya ini bisa jadi solusi yang Indonesia banget untuk perdebatan abadi, bagi golongan yang ingin hukuman mati dihapus dan golongan yang menginginkan hukuman mati tetap ada. Semoga konsep di KUHP tetap on track sampai diatur dalam undang-undang sendiri. Karena ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati diatur dengan undang-undang.

Arif Ramadhan
Arif Ramadhan
Sarjana hukum yang baru lulus kuliah dan masih mencari jati diri

MEDSOS

ARTIKEL TERKAIT

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

DARI KATEGORI

Klikhukum.id