homeEsaiPEREBUTAN KURSI KERAMAT

PEREBUTAN KURSI KERAMAT

Voice is political action par excellence (bersuara adalah wujud utama dari aksi politik) begitulah kata Albert O. Hirschman dalam bukunya Exit, Voice, and Loyalty: Responses to Decline in Firms.

Pemungutan suara seharusnya menjadi momentum kedaulatan rakyat untuk memilih wakil rakyat yang benar-benar berintegritas, menjunjung tinggi demokrasi sebagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Gimana gaes, kata-kata saya sudah mirip belum sama anggota dewan yang terhormat?

Alhamdulilah ya kita udah selesai melaksanakan pencoblosan dalam Pemilu, bahkan KPU pun udah selesai melakukan perhitungan suara untuk Pilpres, sedangkan perhitungan untuk Pileg masih otw. Sambil nunggu selesainya perhitungan Pileg oleh KPU yang gak tau kapan bakal selesainya, saya kali ini mencoba menulis tentang perhitungan suara untuk DPRD.  Alasannya sederhana, karena saya Caleg DPRD Tingkat II yang gagal dan baru paham metode perhitungan ketika selesai pencoblosan.

Damn, so foolish am I. But it’s Ok. Like Aerosmith said “You have to learn to crawl, before you learn to walk”. This will be a leason for me to fight again in Pileg 2024

Jadi gaess,

Pemilu 2019 kali ini dilaksanakan berdasarkan UU No. 7/2017 yang merupakan hasil dari penyatuan dan penyederhanaan UU Pemilu yang berlaku sebelumnya. Salah satu yang membedakan antara Pemilu kali ini dengan Pemilu sebelumnya adalah mengenai metode perhitungan suara untuk DPR dan DPRD.

Nah sebelum saya membahas tentang metode perhitungan suara Pileg pada Pemilu 2019 kali ini, saya mau bahas lebih dulu metode perhitungan suara Pileg pada Pemilu 2014. Kenapa? ya, tujuannya bukan manjang-manjangin tulisan, tapi agar gaes-gaes semua tau gimana bedanya perhitungan suara pada Pemilu 2014 dengan Pemilu 2019. Baik kan saya? Ya Iyalah, btw jangan lupa besok 2024 coblos saya ya gaes.

BACA JUGA: AWAS BAHAYA LATEN BAPER DALAM DEMOKRASI

Pada Pemilu 2014 pemerintah bersama dengan DPR merumuskan model pembagian kursi Parlemen dengan menentukan bilangan pembagi pemilih (BPP), caranya total suara sah di suatu dapil dibagi dengan jumlah kursi yang diperebutkan. Setelah itu partai yang memiliki suara sama atau lebih tinggi dari BPP berhak mendapat kursi. Caleg yang memperoleh suara terbanyak dari partai yang mendapat kursi itulah yang berhak duduk menjadi anggota Parlemen. Pembagian kursi dengan cara kaya gitu dikenal dengan metode kuota hare.

Lalu bagaimana sih contoh perhitungannya? Nih saya kasih contoh perhitungan Pemilu Legislatif 2014 ya gaes.

  • Menentukan nilai BPP (bilangan pembagi pemilih) dengan metode kuota hare dengan rumus
  • Suara sah yang diperoleh oleh setiap partai politik akan dikonversikan dengan angka BPP. Partai yang memiliki selisih lebih banyak atau sama dengan angka BPP berhak memperoleh kursi di DPRD. Exp :  jika suara sah Dapil DIY 1 berjumlah 1.525.030 dan jumlah kursi yang tersedia 8 maka
  1. Tahap I Suara sah Partai Demokrat 327.799 maka {327.799 – 190628 = 137.171} ditahap ini Partai Demokrat mendapat 1 kursi.
  2. Tahap II sisa suara Partai Demokrat 137.171 suara. Sisa ini akan dihitung dalam perhitungan tahap ke dua sebagaimana amanat pasal 212 huruf c UU No. 8/2012.
  3. Calon Legislator yang meraih suara terbanyak dari partai yang mendapatkan kursi yang berhak mewakili untuk duduk di DPRD.

Pada Pemilu 2019 metode kuota hare digantikan dengan metode Sainte Lague, sebuah metode konversi yang dipopulerkan oleh Andre Sainte Lague seorang matematikawan asal Prancis. Dalam naskah akademik UU No. 7/2017 disebutkan bahwa perubahan metode ini dilakukan selain untuk memotong proses rekapitulasi suara, menyederhanakan mekanisme konversi suara menjadi kursi, penyederhanaan sistem kepartaian juga demi efektivitas dan efisiensi Pemilu serentak yang sangat kompleks.  

Mekanisme pembagian kursi dengan metode saint lague bisa dijumpai dalam pasal 420 huruf a, b, c, d, dan e UU No. 7/2017. Berdasarkan ketentuan tersebut, mekanisme yang berlaku yakni dengan cara membagi seluruh suara sah partai dengan bilangan pembagi ganjil 1 dilanjutkan kemudian dengan angka pembagi ganjil yang lebih besar 3, 5, 7… dst.

Bingung ya gaes? biar gak pada bingung, untuk lebih jelasnya saya jelasin deh, simak yak:

  • Pemerintah menetapkan jumlah kursi yang disediakan dalam suatu dapil  (lihat dalam lampiran I – IV UU No. 7 /2017)
  • KPU menghitung dan menetapkan total suara sah yang diperoleh oleh setiap partai.
  • Pembagian kursi :
    • Kursi ke (1): Seluruh suara sah partai akan dibagi 1, partai yang mendapat hasil pembagi paling tinggi berhak atas kursi ke (1)
    • Kursi ke (2): Partai yang belum dapat kursi akan dibagi 1, partai yang sudah dapat kursi akan dibagi 3. Partai yang mendapat hasil pembagi paling tinggi berhak atas kursi ke ( 2 ).
    • Kursi ke (3): Partai yang belum dapat kursi tetap dibagi dengan angka 1, partai yang sudah dapat kursi akan dibagi dengan angka pembagi ganjil di atas 1, catatan:
      • jika kursi ke (2) didapat oleh partai yang mendapatkan kursi ke (1) maka selanjutnya perolehan suara partai tersebut akan dibagi dengan angka pembagi 5.
      • Jika kursi ke (2) didapat oleh partai yang belum mendapatkan kursi, maka selanjutnya perolehan suara partai tersebut akan dibagi dengan angka pembagi 3.  

Begitulah seterusnya sampai ketersediaan kursi di dapil tersebut habis. Semua partai yang telah mendapatkan kursi akan dibagi dengan bilangan pembagi ganjil dimulai dengan 1 kemudian diikuti dengan bilangan ganjil berikutnya 3, 5, 7,…. dst.

Ternyata gaes, berdasarkan pengamatan saya di lapangan sebagai caleg yang gagal, metode saint lague cukup efektif baik untuk memotong jalur rekapitulasi suara dan cukup mampu juga untuk menyederhanakan mekanisme konversi suara. Di sisi lain, metode saint lague mampu membuat seluruh caleg yang berada dalam satu partai berjuang untuk memperbanyak suara partai. 

Tapi gaes, seperti kata pepatah ‘tidak ada gading yang tak retak’, maka tidak ada metode yang sempurna. Metode saint lague ternyata berdampak terhadap caleg yang berasal dari partai kecil, karena biaya kampanye akan lebih tinggi, mandegnya kaderisasi partai dan  terjadi kompetisi antar caleg dalam satu partai yang tidak sehat.

Memahami sistem Pemilu yang diatur dalam undang-undang seharusnya jadi syarat mutlak sebelum memutuskan untuk terjun menjadi Calon Legislatif. Membaca dan memahami UU memang bukan hal menarik, tapi gaes untuk jadi seorang legislator kita harus faham, khatam dan fasih tentang perundang-undangan ya.

Jangan sampai, hanya berbekal pengetahuan yang dangkal dan euforia sesaat, kita cuma jadi ATM berjalan demi sebuah jabatan.  Kayak saya ini contohnya.

Dari Penulis

SAKIT JIWA, BISAKAH DIPIDANA?

Udah pada tau kan ada give away tiket nonton film...

BERBISNIS DENGAN CV

Perkenalkan, beliau H. Yanto. Dari awal namanya saja sudah...

BUKAN HANYA AKU, ENGKAU DAN GPS

Kegelisahan melanda ribuan driver ojek online yang menggantungkan hidupnya...

AKHIR CERITA PUTUSAN PIDANA

Tempo hari saya menulis sebuah artikel berjudul “Makna Pledoi...

EKSEPSI ATAS SURAT DIK MAHENDRA WIRASAKTI

Beberapa hari lalu klikhukum.id mengangkat artikel berjudul “Surat...

TerkaitRekomendasi buat kamu
Artikel yang mirip-mirip

Dedi Triwijayanto
Dedi Triwijayanto
Anggota Team Predator klikhukum.

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Dari Kategori

Klikhukum.id