Mak deg, rasanya membaca sebuah berita seorang ibu melahirkan sendiri di rumah sakit tanpa bantuan tenaga medis, hingga akhirnya si bayi meninggal dunia. Bukankah rumah sakit itu tempat berkumpulnya tenaga medis, mulai dari perawat, bidan, sampai dengan dokter, masa sih, gak ada satupun yang bisa membantu?
DR (27), warga Desa Gedangan, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang terpaksa melahirkan sendiri, tanpa bantuan tenaga medis, meskipun keluarga sudah berkali-kali meminta bantuan kepada petugas rumah sakit. Baru setelah 30 menit bayi lahir, petugas medis masuk ke ruangan tempat DR dirawat dan menyatakan bayi meninggal dunia.
Kurang ironis apa coba? Meskipun yang meninggal seorang bayi, tapi bayi tersebut juga seorang manusia. Bahkan sejak dalam kandungan, seorang bayi merupakan subjek hukum yang punya hak untuk dilindungi.
Kejadian rumah sakit menelantarkan pasiennya masih sering terjadi di Indonesia, gugling aja kalo gak percaya. Bahkan pada saat Covid-19 baru masuk ke Indonesia, banyak rumah sakit yang menolak pasien dengan gejala klinis Covid-19. Aku baca di pikiran-rakyat.com, pernah kejadian dua orang pasien bergejala Covid-19 ditolak oleh 23 rumah sakit, hingga akhirnya meninggal dunia. Wah, parah banget kan.
Pada bulan Februari 2020 juga sempat viral sebuah video orang tua pasien mengamuk karena merasa anaknya ditelantarkan oleh sebuah rumah sakit plat merah, hingga akhirnya meninggal dunia. Ah, kalo mau di-list satu-satu banyak sekali kasusnya. Itu cuma yang terekspose ya. Ntah, apa kabar dengan korban-korban penelantaran rumah sakit lainnya yang anteng-anteng bae dan bisa menerima dengan ikhlas.
BACA JUGA: PROBLEMATIKA KASUS PENELANTARAN
Okay, sebelum aku di-nyinyirin netizen karena dianggap mendiskreditkan peran dokter, bidan, perawat dan tenaga medis lainnya. Wait, tolong dipahami bahwa yang aku bahas ini tentang sistem pengelolaan rumah sakit. Meskipun ada unsur kesalahan personal dari tenaga medis yang mengakibatkan seorang pasien terlantar dan tidak mendapatkan pelayanan medis, namun pihak rumah sakit memiliki tanggung jawab secara hukum terhadap perbuatan tenaga medis di rumah sakit.
Lah kok gitu? Ya gitu lah, Maemunah.
Rumah sakit itu bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit, itu amanat Pasal 44 UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
Ada sanksi pidana bagi rumah sakit yang menelantarkan pasiennya. Kalo sebuah rumah sakit terbukti dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama pada pasien dalam keadaaan gawat darurat, maka pimpinan rumah sakit tersebut terancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Ada lanjutannya nih, kalo sampai pasien tersebut cacat atau meninggal dunia, maka pimpinan rumah sakit tersebut juga terancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak satu miliar. Itu bukan kataku, itu kata Pasal 190 Ayat (1) dan (2) UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Tapi naga-naganya itu cuma hukum di atas kertas, faktanya aku belum pernah nemuin (aku loh ya, gak tau kalo kamu) pimpinan rumah sakit yang dipenjara karena terbukti melanggar Pasal 190 UU Kesehatan tersebut. Susah cuy, membuktikan unsur ‘dengan sengaja’ menelantarkan pasien. Umumnya kasus penelantaran pasien oleh rumah sakit cuma menguap begitu saja.
BACA JUGA: UNBOXING PERPRES JAMINAN KESEHATAN “BARU”
Kalo kasusnya terblow-up, paling juga jabatan pimpinan rumah sakitnya dicopot. Mentoknya rumah sakit cuma diminta untuk memperbaiki sistem manajemen ataupun sistem pengelolaan rumah sakitnya. Masih kau gak percaya? Nah, kau tengoklah kasusnya bayi Debora dan kasus video viral yang aku bahas di atas. Kasus mereka berakhir dengan sad ending.
Sebenarnya kalo mengintip ketentuan Pasal 29 Ayat (1) huruf c UU Rumah Sakit, dijelaskan bahwa rumah sakit punya kewajiban untuk memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya. Nah, apabila rumah sakit melanggar kewajiban tersebut, maka rumah sakit dapat dikenakan sanksi administratif berupa:
- teguran;
- teguran tertulis; atau
- denda dan pencabutan izin rumah sakit.
Sekali lagi sodara-sodara, ini cuma pasal hiburan, gak usah terlalu dianggap serius ya. Dari sekian banyak keluhan pasien yang ditelantarkan oleh rumah sakit, pernah gak lihat rumah sakit yang dicabut izinnya. Itu semua cuma ancaman belaka.
Itulah realita hukum kesehatan di Indonesia, pidana korporasi yang diatur dalam seperangkat regulasi cuma pemanis buatan. Boro-boro dapet keadilan, keluarga pasien juga harus hati-hati untuk menyampaikan keluhan, salah-salah kata malah bisa dipidana. Misalnya saja dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit. Tuh, Mba Prita Mulyasari pernah mengalaminya. Kalo uda begini wajar muncul slogan, hukum tajam ke bawah-tapi tumpul ke atas.