Kamu tau gak, dengan istilah kritik?
Secara harfiah, kritik merupakan proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu dengan tujuan meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi atau membantu memperbaiki pekerjaan.
Menurut KBBI, kritik adalah kecaman atau tanggapan yang kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya.
Ada banyak contoh kritik di lingkungan kita. Misalnya, seorang guru yang menegur karena seragammu tidak rapi, si bos di kantor yang sering mengeluhkan hasil pekerjaanmu atau masyarakat yang banyak menyuarakan pendapat dan ketidakpuasan mereka terhadap kinerja pemerintah.
Btw, tentang kritik pemerintah kalau ditanya secara langsung,
“Siapa yang berani mengkritik pemerintah langsung?!”
Biasanya langsung pada diem. Mikir-mikir. Karena desas-desusnya sih, kalo berani memberikan kritik pedas ke pemerintah, siap-siap aja ada ‘tukang bakso’ lewat depan rumah bawa walkie talkie.
Loh, hubungannya apa? Tukang bakso yang dimaksud di situ sebenarnya adalah intel dari BIN (Badan Intelijen Negara) yang lagi nyamar jadi tukang bakso untuk mencari informasi atau membuntuti target. Kek stalker gitulah.
Ada juga rumor yang beredar kalau kita ngomongin pemerintah terus, nanti kita diculik. Serem! Tapi itu cuma rumor ya, nyatanya gak gitu-gitu banget kok.
Cuma, kalo mau menyampaikan kritik, saran, ide dan gagasan, tetep ya harus sesuai koridor. Apalagi kalo lewat sosmed.
Tau sendirikan, salah ngomong dikit di medsos, bisa-bisa dijerat dengan UU ITE.
Jadi kalau kamu mau nyebarin hoax, nipu atau doxing di media sosial, undang-undang ini akan siap menjerat kamu. Waktu tahun-tahun lalu tuh, banyak banget yang terjerat hukum ini. Seperti Sri Rahayu, Muhammad Arsyad dan lain-lain. Tapi sayangnya, hal ini menimbulkan kontroversi di masyarakat mengenai kritik pemerintah di media sosial. Kenapa?
BACA JUGA: MERDEKA 75 TAHUN, TAPI MASIH ANTI-KRITIK
Kritik Negara yang Kontroversial
Kita telaah dulu nih, Presiden Jokowi pada pidatonya tanggal 8 Februari 2021 silam dalam peluncuran laporan tahunan Ombudsman RI.
Beliau menyatakan bahwa diperbolehkan untuk mengkritik negara. Namun, ketika sudah banyak yang mengkritik negara, eh, malah banyak yang kena jerat UU ITE.
Ada beberapa kasus kritik negara yang berakhir dengan jeratan pidana. Berikut paparan contoh kasusnya.
- Mural Jokowi 404 Not Found
Kasus ini sempat viral karena banyaknya protes dan kecaman yang dilayangkan publik kepada pihak kepolisian. Publik merasa bahwa mural itu sah-sah saja dibuat karena memang menggambarkan realita politik Indonesia saat ini. Tetapi polisi menganggap bahwa mural itu telah mencoreng nama baik sebagai lambang negara. Padahal lambang negara sendiri adalah Garuda Pancasila. Kalau kalian ada di pihak mana, guys?
- Mohammad Isbun Payu
Aktivis mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta ini ditangkap polisi karena dituding melakukan ujaran kebencian kepada Presiden Jokowi. Dia mengunggah story di akun Instagramnya dengan menulis bahwa Jokowi lebih mementingkan investasi daripada kesejahteraan rakyat. Dia pun dikenai pasal dalam UU ITE.
- Muhammad Arsyad
Masih dalam UU ITE, aktivis antikorupsi ini dituduh mencemarkan nama baik Nurdin Halid yang divonis terlibat kasus korupsi minyak goreng. Adik Nurdin Halid yang tidak terima melaporkan hal ini ke polisi. Arsyad pun ditahan selama tujuh hari, kemudian dibebaskan dengan bantuan advokasi dari kelompok masyarakat dan Majelis Hakim PN Makassar.
Itu adalah beberapa contoh kasusnya.
Paradoks banget, kan? Katanya dipersilakan untuk kritik. Giliran dikritik kok, malah ditangkap? Giminisih! Kzl kzl kzl ….
Kalau pejabat lain sih, alasannya karena itu bukan kritik yang membangun. Tapi menurut pernyataan Najwa Shihab, dia nggak setuju.
Alasannya karena kalimat ‘kritik yang membangun’ adalah kalimat yang tersusun dari kata yang sifatnya berlawanan. Kritik bersifat dekonstruktif atau membongkar. Sedangkan membangun sifatnya konstruktif. Keikutsertaan solusi selalu menjadi alasan utama mengapa kritik selalu ditentang.
BACA JUGA: PEMERINTAH TIDAK PERLU DIKRITIK, TAPI PERLU BERKACA SAJA
Padahal kan, kritik tidak harus menyertakan solusi. Justru menurut Najwa, kritik yang membangun hanyalah bahasa dari para pejabat untuk meredam aktivitas politik di kehidupan. Mereka membebankan kritik yang solutif pada masyarakat agar nantinya bangsa Indonesia menjadi bangsa yang pasif, apolitis dan tidak mau tahu. Jadi siapapun orangnya, apapun tingkat pendidikannya, mereka sah-sah saja untuk ikut mengevaluasi pemerintah.
Bahkan cendekiawan Daniel Dhakidae menyanggah istilah kritik yang membangun dengan ucapannya, “Kritik harus tajam menghujam, menguliti apa yang tersurat dan menohok apa yang tersirat. Menjelujur hingga jantung persoalan.” Daripada “Kritik yang membangun,” Pak Daniel lebih suka menggunakan istilah “Membangun dengan kritik.” Wih, kece banget Pak Daniel!
Jaminan hak kita untuk bersuara juga sudah diatur lho, dalam undang-undang. Nih, aturannya sebagai berikut.
- UUD NRI 1945 Pasal 28 dan 28E Ayat 3.
- UU No. 9 Tahun 1998.
- UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 14, 23, 24, dan 25.
- Deklarasi Universal HAM Pasal 1.
- TAP MPR No XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia dan lain-lain.
Jadi, apakah kita boleh mengevaluasi pemerintah? Tentu saja boleh. Kalian jangan takut untuk mengkritik ya.
Kritik itu memang dibutuhkan untuk memperbaiki kesalahan yang memang seharusnya dibetulkan. Jangan terbebani oleh solusi. Tetapi niatkan kritik untuk memperbaiki negeri. Semangat untuk generasi muda Indonesia!
Masya ALLAH…, Keren tulisanmu Dira! 😍👍✨ Trus berkarya dg Akal Sehat & Hati Nuranimu ya, Sayang 🤗💪💖 Alhamdulillah…t’nyata Mama Ade & Papa Yudhi d’karuniai Anak Gadis nya yg Hebat 😊