KERANGKENG BUPATI LANGKAT, EKSPLOITASI, HAM DAN TPPO

Polisi mendalami kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin.

Dugaan perbudakan mulai diusut.

Berdasarkan penelusuran polisi, kerangkeng manusia ini dinyatakan ilegal. Kerangkeng itu diketahui sudah dibangun sejak tahun 2012.

“Tidak berizin, tidak terdaftar sesuai dengan Undang-undang,” Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan di Mabes Polri.

Membaca berita di portal detik.com tersebut, Yono Punk Lawyer Si Advokat Kelas Medioker, hatinya tergetar dan marah seperti El Comandante Ernesto Che Guevara ketika menyaksikan ketidakadilan.

Oleh karena itu, ia segera bergegas membuka komputer dan menulis artikel di website hukum papan atas, yang tiada tanding dan tiada banding. Apalagi kalo bukan klikhukum.id.

Perbudakan itu adalah sebuah tuduhan serius. Fakta kerangkeng dan isu perbudakan oleh Bupati Langkat ini pertama kali diungkap oleh perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migrant berdaulat (Migrant Care). Masih menurut Migrant Care, kerangkeng manusia tersebut digunakan untuk para pekerja di kebun kelapa sawit.

Mari sekarang kita coba elaborasi apa itu perbudakan dan pengaturannya.

BACA JUGA: INDONESIA MERDEKA?

Secara umum, perbudakan adalah segala hal tentang pengendalian terhadap seseorang oleh orang lain dengan cara paksaan. Perbudakan biasanya terjadi untuk memenuhi keperluan akan buruh atau kegiatan seksual. 

Dengan perbudakan, manusia dirampas kebebasan hidupnya, dipaksa untuk bekerja guna kepentingan manusia yang lain.

Menurut sejarah internasional dan nasional, perlawanan fisik atas perbudakan terjadi pada 1791 di Santo Domingo (sekarang Haiti dan Republik Dominika). Momen itu oleh PBB diperingati sebagai titik awal penghapusan perbudakan di dunia.

Selanjutnya di Nusantara (bukan ibu kota negara loh ya), pada tahun 1811-1816 masa pendudukan Inggris, ada seorang tokoh anti perbudakan bernama Thomas Stanford Raffles. Di tahun 1816 ia mendirikan “The Java benevolent institution,” semacam lembaga dengan tujuan penghapusan perbudakan.

Secara yuridis di Indonesia, ketentuan tentang larangan perbudakan bisa kita lihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Definisi perbudakan dapat kita temukan dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Di dalam penjelasan umum UU TPPO dijelaskan definisi dari perbudakan sebagai “Kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktik serupa perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghendakinya.”

Perbudakan merupakan salah satu bentuk ekploitasi manusia. Kalo kita baca penjelasan dalam Pasal 1 angka 7 UU TPPO dijelaskan bahwa.

“Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial.”

Di dalam penjelasan umum UU TPPO juga disebutkan bahwa perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia.

Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.

Pelaku perbudakan dapat dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) UU TPPO dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Selain diatur dalam UU TPPO, larangan perbudakan manusia juga diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).

Pasal 4 UU HAM mengatur bahwa:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”

Selanjutnya, ketentuan Pasal 20 UU HAM menyatakan sebagai berikut.

  1. Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba.
  2. Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang.

Berkenaan dengan perbudakan, jika yang menjadi korban eksploitasi adalah anak-anak atau di bawah umur, maka ada ketentuan hukum lain yang mengatur.

Jika melibatkan anak sebagai korban perbudakan, maka pelaku perbudakan dapat dijerat dengan perbudakan atau eksploitasi anak sebagaimana diatur di Pasal 88 Jo pasal 76 I UU No. 35 Tahun 2014 Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

BACA JUGA: YUK, BERANTAS PERDAGANGAN ORANG

Pada intinya diatur bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76I UU perlindungan anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Selain itu perbudakan anak juga diatur dalam Pasal 74 Ayat (2) huruf a jo Pasal 183 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 74
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;

 Pasal 183

  1. Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Intinya, ada banyak regulasi yang mengatur tentang larangan perbudakan dan ancaman hukuman bagi pihak yang melanggar baik itu terhadap pekerja yang sudah dewasa ataupun anak-anak (di bawah umur).

Jadi jikalau Bupati langkat non aktif, Terbit Rencana Perangin Angin memang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan praktek perbudakan. Wah, tentu ngeri-ngeri sedap coy, sanksinya. Belum lagi perkara dugaan korupsi selesai, sudah kena jerat pidana lainnya. Bisa sampai tua di penjara.

Oleh sebab itu waspadalah, waspadalah. Kejahatan terjadi bukan karena adanya niat, tapi kesempatan!!!

Daru Supriyono
Daru Supriyono
Advokat Keras Kepala, Penyuka Sepak Bola.

MEDSOS

ARTIKEL TERKAIT

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

DARI KATEGORI

Klikhukum.id