BUAT APA MERDEKA KALAU SEBATAS RETORIKA KATA

Aku benci berkelana ria menyusuri tiap detik alur pandang tak kunjung berlabuh pada sebuah perlintasan. Semua seakan berlarut dalam porak-poranda dunia. 

Aku jenuh berkata membelalak fakta mengatup semua sandiwara dibalik kata merdeka. Dengarkan dan siarkan! 

Bukan hanya aku! Sekali lagi bukan! Bukan hanya aku yang mengubah Indonesia! Apalah aku? Sebutir gandum jauh lebih layak dimahkotai emas. Tiada yang lebih murni daripada ketulusan cinta. Ya! Cinta untuk negeri. Lantas sudahkah? 

Inilah cuitanku. Ku kumandangkan bukan untuk siapa yang paling berintelegensi. Tapi unjuk eksistensi demi sebuah kontribusi wujud bakti bagi negeri. 

Hai sobat. Apa kabar? Ga terasa baru aja kita menyambut hari kemerdekaan negeri ini yang ke-77 kalinya.

Celotehan kali ini aku mau mengajak sobat untuk mengupas tuntas seputar kemerdekaan Indonesia? Check it out! 

BACA JUGA: DEMOKRASI OLIGARKIS

Menanggapi pertanyaan “Kenapa Indonesia harus merdeka?”

Aku yakin, jumlah bintang di langit bakal kalah banyak. Ya! Indonesia harus merdeka! “Siapa coba, yang ga mau merdeka. Merdeka itu enak, bisa mengkritik melakukan apapun sesuka hati tanpa dibatasi. ”Hayolo … siapa yang mikir gitu? Hehehe.

Secara de jure (berarti “berdasarkan hukum”) dan de facto (berarti “pada kenyataannya”)

Indonesia telah memenuhi kriteria sebagai negara merdeka. Indonesia punya rakyat, wilayah, pengakuan dari negara lain dan memiliki pemerintahan sehingga sangat pantas dikatakan sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. 

Mendalami lagi makna merdeka 

Kata ‘merdeka’ berasal dari Bahasa Sanskerta (Maharddhika) yang berarti kaya, sejahtera dan kuat. Jadi merdeka berarti melepaskan diri dari belenggu penjajah. Tanggal 17 Agustus 1945 merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. 

Tapi perlu kita ingat bahwa bangsa Indonesia dapat dikatakan merdeka yang hakiki jika bangsa ini mampu hidup mandiri, artinya tidak menggantungkan nasib bangsa kepada bangsa lain. 

Menurut opiniku ya, merdeka itu bukanlah melulu tentang lepas dari penjajah seperti Jepang, Belanda dan lainnya. Tetapi merdeka artinya membebaskan diri dari belenggu hawa nafsu dan ambisi pribadi serta mampu memerdekakan dirinya dari berbagai penghambaan lainnya. 

Jadi merdeka adalah bagaimana kita dapat mengendalikan ego dan hasrat negatif dalam diri dan tetap berdedikasi agar Indonesia jauh lebih baik. 

Jika ego kita ketinggian kepalamu bisa keserempet pesawat, bikin kita seperti binatang yang cuma peduli sama diri sendiri dan tidak mempedulikan orang lain dalam arti lain ‘egois.’ Ingat sobat, perang terbesar adalah melawan keegoisan kita. Sudahkah kamu merdeka kawan? 

Coba cek media sosial saat ini, sulitnya sobat menegakkan fakta di tengah-tengah masyarakat, karena masyarakat telah disuguhkan oleh berita yang gak penting, seperti gosip artis, kawin cerai artis, selebgram alay bikin ulah, yang ini itu lah, huft.  Kita terus dijejalkan dengan berita gak penting untuk menutupi isu dan berita yang penting. Otak kita akhirnya penuh dengan informasi sampah yang gak penting.

Saat ini gampang banget orang terprovokasi dengan hasutan yang faktanya belum tentu benar, dalam laporan terbaru Digital Civility Index (DCI) mencatat Netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara, alias paling tidak sopan. 

Hal itu diperkuat kembali dengan adanya data resmi dari Dirjen Aptika Kemkominfo mengatakan dari sekitar 132 juta pengguna internet di Indonesia, 65% ternyata masih mudah terhasut berita bohong dan Indonesia berada di posisi ketujuh dunia. Ibarat ujung korek api, punya kepala gak punya otak, digesek dikit kebakar, blaar. 

BACA JUGA: 5 PENYEBAB KORUPSI MAKIN MERAJALELA

Retorika kaum cendekiawan

Kaum cendekiawan, akademisi, pejabat birokrasi dan penegak hukum diragukan kontribusinya untuk turut memerdekakan Indonesia.

Waduh, waduh … berat, berat ….

Tenang, jangan esmochi. Izinkan aku untuk menggores opiniku seluruhnya. 

Kita tau, bahwa tidak ada cendikiawan, akademisi, pejabat birokrasi dan penegak hukum yang tidak menyandang gelar. Pintar? Iya, terhormat? Iya, sudah pasti! Jadi sudah sepantasnya sebagai golongan kaum berintelektual, mereka turut serta menyuarakan kebenaran, jangan cuma diam saja, apalagi kalau tau ada oknum yang melakukan upaya pembodohan masyarakat. 

Ayo dong, setting ulang komitmen yang kuat untuk menempatkan hukum sebagai panglima tertinggi negeri. Sebagai orang terpandang, haruslah membebaskan diri dari ambisi egoisme, bukan hanya mikirin diri sendiri, tapi ikut serta dalam upaya kesejahteraan rakyat. 

Tapi coba lihat kembali realitanya? Hmmm, sepertinya sih, mereka terlalu sibuk beretorika!

Sedikit kita flashback!

Masih ingat dengan kasus suap Jaksa Pinangki, suap hakim Merry Purba, suap dua perwira polisi dari calon siswa bintara yang mengikuti seleksi penerimaan bintara pada 2016 dan berbagai kecurangan juga terjadi di kalangan perguruan tinggi seperti tiga dosen UPI nekat plagiarism demi berburu gelar guru besar. 

Itu cuma secuil kasus yang menghiasi negeri ini. Di sisi lain, Indonesia berhasil menduduki Peringkat Kedua Negara Berbahaya se-Asia Pasifik bagi perempuan. Lantas bagaimana? 

Masihkah kita tergiur dengan kata “Kita telah merdeka?” 

Nyatanya kita masih terbelenggu oleh nafsu dan hasrat kita sendiri. Kalau kata Alm Ustad Jefri Al Buchori “Semakin berkuasa manusia semakin banyak ego yang dipertontonkan.” 

Penutup

Mari menyatukan asa, memantapkan langkah mencetus iklim inovasi guna menjadi generasi unggul, berdaulat dan berdikari di kancah internasional. 

Merdeka bukanlah sebatas retorika kata, namun bentuk manifestasi cita-cita bangsa. Ingat!

MEDSOS

ARTIKEL TERKAIT

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

DARI KATEGORI

Klikhukum.id