Kalian pasti sudah sering denger istilah Restorative Justice (RJ). Bukan cuma di lingkup anak hukum atau seminar, tapi istilah Restorative Justice sering banget muncul di berita, media sosial, bahkan obrolan warung kopi. Kalian tau gak kalau Restorative Justice bisa terjadi di Kejaksaan dan di Pengadilan, walaupun istilahnya yang dipakai sama, tapi dalam praktiknya ada perbedaan. Biar tahu dan paham kita bahas perbedaan Restorative Justice di Kejaksaan dan Pengadilan.
Apa Itu Restorative Justice?
Sebelum masuk ke perbedaan syarat, kita samakan dulu pemahaman. Restorative Justice pada dasarnya adalah penyelesaian perkara pidana dengan cara musyawarah, mengedepankan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, dibanding sekadar menghukum. Jadi, intinya bukan siapa yang salah dihukum seberat-beratnya, tapi lebih ke bagaimana masalah ini bisa diselesaikan supaya adil bagi semua pihak.
BACA JUGA: MENGENAL SYARAT RESTORATIVE JUSTICE PADA TINGKAT PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN
Restorative Justice di Kejaksaan
Di Kejaksaan, mekanisme Restorative Justice sudah diatur jelas dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Intinya, Restorative Justice di Kejaksaan bisa dilakukan sebelum perkara masuk ke pengadilan, yaitu pada saat penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (tahap dua). Jaksa punya kewenangan untuk menghentikan perkara kalau memenuhi syarat tertentu. Syarat ini terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 yang mengatur bahwa Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut:
- Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
- Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
- Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,OO (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Selain itu ada juga syarat lain seperti yang termuat dalam ayat (3) pasal tersebut, yang menyatakan untuk tindak pidana yang dilakukan terhadap orang, tubuh, nyawa, dan kemerdekaan orang ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dikecualikan.
Jadi, bisa dibilang Restorative Justice di Kejaksaan itu lebih ke mencegah perkara kecil naik ke pengadilan. Kalau perkara sudah terlanjur masuk ke pengadilan, sebenarnya peluang untuk menerapkan Restorative Justice masih ada. Bedanya, mekanismenya tidak seketat aturan di Kejaksaan. Di pengadilan, Restorative Justice biasanya diterapkan dalam bentuk mediasi penal atau perdamaian yang dijadikan dasar hakim untuk menjatuhkan putusan.
Restorative Justice di Pengadilan
Peraturan yang secara eksplisit mengatur terkait Restorative Justice adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Pasal 6 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2024 menjelaskan bahwa hakim menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif apabila terpenuhi salah satu dari tindak pidana di bawah ini:
BACA JUGA: RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENEGAKKAN HUKUM PIDANA
- tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian Korban bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat;
- tindak pidana merupakan delik aduan;
- tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun;
- tindak pidana dengan pelaku Anak yang diversinya tidak berhasil; atau
- tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan.
Berbeda dengan Kejaksaan yang memiliki kewenangan yaitu penuntut umum dalam menghentikan penuntutan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP. Restorative Justice di Pengadilan diwujudkan dalam bentuk putusan berdasarkan penilaian hakim terhadap suatu perkara agar mencapai tujuan keadilan restoratif, hasil dari penilaian hakim itu adalah peringanan pidana atau penjatuhan pidana bersyarat/pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2024.
Restorative Justice sebenarnya adalah upaya untuk menghadirkan hukum yang lebih manusiawi. Baik di Kejaksaan maupun di Pengadilan, tujuannya sama menyelesaikan perkara dengan damai, adil, dan tidak menambah masalah baru. Bedanya hanya di teknis dan syarat penerapannya.
Kalau dianalogikan sebagai jalan, Restorative Justice di Kejaksaan itu seperti jalan keluar darurat supaya kasus kecil tidak berlarut-larut dan tidak masuk ke jalan utama. Sedangkan Restorative Justice di Pengadilan seperti jalan keluar alternatif kalau kasus sudah terlanjur masuk jalan utama. Keduanya sama-sama penting, tinggal bagaimana masyarakat dan aparat penegak hukum bisa memanfaatkannya secara bijak.