Pada Rabu, 8 Desember 2021 jagad twitter kembali dihebohkan oleh nitizen yang merasa jengkel dengan tampilan Siskaee setelah ditangkap menggunakan jilbab. Sontak mereka menjadi jengkel dan beramai-ramai menaikkan hastag #SiskaeeBukanMuslim. Saya pribadi heran. Kok, segitunya mereka mengecam seseorang yang sedang menjalani proses hukum sampai mengatakan, “Dia bukan muslim.”
Keheranan saya di sini, terkait kenapa agama dibawa dalam ruang batin seseorang yang sedang menjalani proses hukum. Perkara apapun agama yang dia peluk, itu adalah hak privasi yang dilindungi oleh undang-undang.
Kita gak ada hak untuk memutus bahwa #SiskaeeBukanMuslim. Alasannya, yang pertama kita bukan hakim, selaku wakil Tuhan di muka bumi. Dan saya yakin, Siskaee tidak bakalan disidangkan soal kasus apakah dia muslim atau bukan. Jelas itu bukan perkara yang akan menjeratnya.
Jadi sudahlah, yang bukan tugas kalian, gak usah ikut campur. Perkara dalam beberapa adegan konten yang dibuatnya terdapat simbol salib, jelas bukan kapasitas kita mengklaim bahwa Siskaee agamanya Nasrani.
BACA JUGA: MENGHUKUM PEMBOKEP
Sedangkan kenapa dia berjilbab sewaktu habis ditangkap di Bandung, itu juga bukan alasan kita untuk melarangnya.
Apalagi ada tanggapan dari pihak Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menyampaikan fakta di kolom KTP agama Siskaee Islam. Terkait kenapa ia mengenakan jilbab, itu memang permintaan dia sewaktu habis ditangkap di Bandung dan akan dibawa ke Yogyakarta. Jadi sekali lagi bukan berarti dia dipaksakan mengenakan jilbab, tapi memang permintaan pribadinya.
Jadi buat para si pengetweet hastag #SiskaeeBukanMuslim, menurutku anda-anda sekalian kurang kerjaan banget. Mbokyao membuat hastag yang rada mbois gitu loh. Jangan jadikan perkara remeh temeh semacam ini membanjiri timeline gout.
Kalo anda-anda mau issue hukum yang bergengsi dan berintelek dari kasus Siskaee, nih saya kasih usulan topik, kali aja menarik. Yakan.
Misalnya, tentang pengakuannya sebagai eksibionis. Bisa tuh, buat para nitizen yang budiman dan mbakdiman mengangkat hastag #Ekhibionis. Terkhusus dalam kasus ini apakah seorang yang menderita eksibionis secara hukum dapat dimintai pertanggungjawaban? Dan apakah eksibionis itu termasuk penyakit mental yang menjadikan seseorang dianggap tidak cakap hukum.
Nah, bagi saya pembahasan ini jauh lebih memiliki muatan ilmu pengetahuan dan tidak sekedar soal agama.
Faktanya dalam pertanggungjawaban hukum pidana seseorang tersebut haruslah cakap hukum. Selain cakap hukum dalam kategori sudah dewasa, unsur kesehatan jiwa juga termasuk dalam seseorang itu layak dimintai pertanggungjawaban secara pidana.
Jika melihat kasus Siskaee, dia menyampaikan bahwa sebagai eksibionis dan hasil pemeriksaan sementara dari tim psikolog dia mengalami trauma masa lalu walaupun hasil lengkapnya akan dibuka pada persidangan nanti. Namun bagi saya akan terasa apik ketika para nitizen membahasanya untuk diskusi santai di twitter.
Pasalnya jelas apabila eksibionis merupakan kategori gangguan mental, bisa jadi Siskaee itu tidak cakap hukum. Artinya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidananya, tapi hal ini tentu kewenangan seorang ahli yang mengatakannya dan untuk selanjutnya diputus oleh hakim.
Jika kalian merujuk Pasal 44 KUHP berbunyi, “(1) Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal. (2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.
Maka dengan pasal tersebut yang mensyaratkan bahwa Siskaee dapat terlepas dari tuntutan pertanggungjawaban pidana.
BACA JUGA: TERNYATA PEMBERANTASAN VIDEO BOKEP MASIH TEBANG PILIH
Tapi saya pertegas lagi ya, Pasal 44 dapat diterapkan apabila seorang ahli psikologi menyatakan bahwa eksibionis termasuk dalam unsur “Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal seseorang dalam dimintai pertanggungjawaban pidana yang dilakukannya.”
Tentunya seorang ahli psikologi mengatakan hal demikian berdasarkan kajian ilmiah yang sudah tervalidasi dan dapat dipertanggungjawabkan, maka dapat dipastikan majelis hakim akan mengabulkan Pasal 44 dijadikan alasan dalam kasus Siskaee.
Dan sebaliknya, apabila fakta yang ada, eksibionis bukan merupakan penyakit mental sebagaimana yang termasuk dalam Pasal 44 KUHP, maka dengan jelas dan terang Siskaee harus mempertanggungjawabkan tindak pidana yang telah dilakukannya.
Hal seperti ini seharusnya yang kerap menjadi topik pembahasan bagi nitizen di twitter, bukan malah membahas tentang agama. Kan tau sendiri membahas agama di Indonesia dampaknya kekmana, yakan. Ujung-ujungnya nanti ada reuni lagi, gimana tuh.
Sekali lagi saya tegaskan, ngapain coba kalian urusi masalah agama Siskaee, apalagi yang dipermasalahkan soal jilbab. Selagi dia perempuan, gak masalah toh pakai jilbab. Kecuali kalo dia lelaki, barulah kalian sindir. Betul gak pren ….