Hukum rimba itu sebenarnya hanya disalahpahami saja oleh kita. Kita keburu ngeri duluan, karena kata ‘rimba’ terdengar seperti tempat segala kejahatan bersembunyi atau sarjana hukum tersesat. Padahal, kalau kita mau sedikit menurunkan ego manusia yang modern ini, hukum rimba justru jauh lebih logis, adil, bahkan sustainable dibanding hukum buatan manusia yang katanya beradab, tapi tak jarang keputusannya lebih mirip acara lawak.
Di rimba, tidak ada pasal, tidak ada hakim, tidak ada lawyer, tidak ada jaksa, tidak ada polisi, tapi semuanya teratur. Tidak ada pungli, tidak ada ‘suap daun kering’ dan tidak ada rapat pembahasan undang-undang yang dilakukan sembunyi-sembunyi, bahkan molor sampai hewan nokturnal ikut-ikutan begadang di siang hari. Semua berjalan sesuai fitrah—bukan fitnah.
Kekejaman pada hukum rimba juga kerap disalahpahami. Padahal, tidak ada kekejaman di dalam rimba, semua hanya menjalankan keharusan hidupnya (fitrah). Justru kekejaman terletak pada manusia yang diciptakan untuk menjadi wakil kasih sayang di bumi, tapi malah merusak, menghancurkan, bahkan menumpahkan darah. Adapun keunggulan hukum rimba yang dapat saya temukan, kayak gini.
1. Hirarki yang Tidak Menindas
Banyak orang mengira hukum rimba itu cuma soal kekuatan (siapa yang kuat dia menang). Padahal, sejujurnya, hukum di Indonesia juga begitu, hanya lebih halus bahasanya. Bedanya, kalau di rimba, yang kuat tidak pernah curang, yang lemah tidak perlu menulis petisi.
Di rimba ada hirarki, ada pohon tinggi dan semak rendah, ada singa dan ada kelinci. Tapi hirarki di sana bukan soal siapa yang lebih berkuasa, melainkan siapa yang lebih berperan. Pohon tinggi memberi teduh, semak rendah menahan erosi. Tidak ada yang memaksa semua makhluk jadi setara dalam bentuk, karena mereka setara dalam fungsi.
BACA JUGA: BATAS TIPIS ANTARA DEMOKRASI, PENGRUSAKAN DAN KEKERASAN SAAT DEMONSTRASI
Sementara di dunia hukum manusia, hirarki sering jadi menara gading. Kita mendirikan sistem piramida kekuasaan yang katanya demi keteraturan, padahal lebih sering untuk sembunyi dari tanggung jawab. Di rimba, semua elemen adalah pusat. Di negeri ini, semua yang kuat merasa pusat dunia.
2. Selalu Adil Berkelanjutan
Di rimba, keadilan itu siklus, bukan keputusan. Singa memang memakan rusa, tapi singa tua yang sudah ompong dan tidak bertenaga pun akan gantian dimakan waktu. Tidak ada kekuatan yang abadi, tidak ada hak istimewa yang bisa diwariskan. Rantai makanan hanyalah siklus keadilan yang terdistribusi dengan sempurna.
Kita sering bilang, “Hukum harus menegakkan keadilan.” Tapi di kita, keadilan sering jongkok dulu menunggu amplop lewat. Di rimba, keadilan mengalir alami seperti air sungai dari hulu ke hilir. Tidak ada KPK versi monyet, karena tidak ada korupsi daun pisang.
3. Audit Butterfly Effect
Hukum rimba punya auditor internal yang lebih jujur daripada lembaga pemeriksa. Dalam teori Butterfly Effect, satu gerakan dari entitas terkecil dapat berefek kepada entitas yang besar. Kupu-kupu di Amazon mengepakkan sayap, bisa bikin badai di Pasifik. Badai di gurun Sahara, dapat membuat penyebaran nutrisi kesuburan di hutan Amazon.
BACA JUGA: DEWI THEMIS: SIMBOL KEADILAN YANG TERLUPAKAN
Sebaliknya, apabila ada kerusakan sedikit saja pada lingkungan ekologi, alam akan merespon dengan memperbaikinya: rantai makanan bergeser, pohon baru tumbuh, keseimbangan pulih. Itulah sistem audit yang terbaik, setiap tindakan sekecil apapun akan otomatis direspon pada keseluruhan sistem.
Di negeri hukum, kalau ada kerusakan moral dan hukum, masih bisa bersikap senang dan tenang. Sistem masih dijalankan, penegakkan seolah disiarkan, tapi si pelaku malah tetap naik jabatan. Ada!
4. Hukum yang Tak Pernah Direvisi
Hukum rimba sudah miliaran tahun berlaku dan never expired. Dirusak manusia berkali-kali, tapi ia tetap bisa pulih. Coba bayangkan kalau KUHP kita punya daya tahan seperti itu—tidak perlu tiap dekade diributkan lagi pasalnya.
Rimba tidak pernah butuh “Revisi undang-undang,” karena setiap generasi makhluk hidup otomatis menyesuaikan. Di sana, hukum berevolusi, bukan dikorupsi.
5. Rumah yang Paling Demokratis
Coba cari satu hewan yang pernah demonstrasi, karena harga rumput naik. Tidak ada. Karena mereka hidup dalam hukum yang membuat semua pihak nyaman. Tidak ada yang merasa dipaksa menjadi warga rimba, semua tinggal dengan sukacita. Sedangkan banyak orang tinggal di bawah hukum Indonesia bukan karena cinta, tapi karena terpaksa. Seringkali hukum terasa seperti rumah kontrakan yang sewaktu-waktu bisa digusur, sewaktu-waktu bisa dinaikkan tarifnya.
Mungkin sudah saatnya kita belajar dari hukum rimba: bahwa supremasi hukum dan keadilan bisa ditegakkan karena kesetaraan, bukan kekuatan. Karena di sana, tidak ada yang berperan raja selamanya — singa sekalipun tunduk pada hukum alam (rimba). Kalau saja hukum Indonesia bisa mau memahami hukum rimba, mungkin keadaan ke depan bisa jadi lebih baik.


