REGULASI SUMBER DAYA NUKLIR DI INDONESIA, SERIUSKAH PEMERINTAH KITA?

Pembahasan mengenai energi baru dan terbarukan selalu menempatkan tenaga nuklir sebagai salah satu pilihannya. Tenaga nuklir dianggap sebagai pilihan yang tepat karena melepaskan gas rumah kaca lebih kecil dari sumber energi lain. 

Sebagai perbandingan pembangkit listrik tenaga nuklir mengeluarkan 3 ton CO2 per GWh, sedangkan pembangkit listrik tenaga batu bara mengeluarkan 820 ton CO2 per GWH atau sekitar 273 lebih banyak dari pembangkit listrik tenaga nuklir. 

Walaupun masih banyak pro-kontranya, politik hukum menunjukkan kalau Indonesia menegaskan diri sebagai negara yang akan menggunakan tenaga nuklir sebagai pilihan sumber daya berikutnya. 

Tapi kita nggak bahas pro-kontranya ya, kali ini kita fokus pada regulasinya.

Sumber daya nuklir pertama kali diatur melalui Undang-undang nomor 31 tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom. 

Seperti judulnya, undang-undang ini hanya berisi sedikit pasal yang menjelaskan ketentuan pokok mengenai tenaga atom dan nuklir. Kemudian undang-undang ini dicabut dengan undang-undang nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, sebagian isi undang-undang ketenaganukliran diubah oleh undang-undang tentang CIPTAKER. 

BACA JUGA: WASPADA NUKLIR, SENJATA PEMBUNUH MASSAL

Konsideran undang-undang ketenaganukliran menjelaskan bahwa ketenaganukliran menyangkut kehidupan dan keselamatan orang banyak, sehingga harus dikuasai oleh negara, yang pemanfaatannya digunakan untuk pembangunan nasional. 

Di sini terlihat optimisme negara untuk mengembangkan nuklir sebagai salah satu sumber energi baru di Indonesia, dengan melakukan monopoli pemanfaatan tenaga nuklir. 

FYI, Indonesia pertama kali memiliki reaktor nuklir pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno, yaitu Triga Mark II di Bandung yang masih beroperasi sampai sekarang. Selain itu ada Reaktor Kartini di Yogyakarta dan reaktor serba guna (RSG) Gerrit Augustinus Siwabessy di Tangerang. 

Secara kelembagaan, undang-undang ketenaganukliran mengatur beberapa lembaga yang secara khusus menangani sumber daya nuklir. Pasal 3 Undang-undang Ketenaganukliran menjadi cikal bakal terbentuknya badan pelaksana yang dibentuk oleh pemerintah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. 

Badan pelaksana ini bernama Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). BATAN bertugas untuk melakukan penelitian dan pengembangan, penyelidikan umum, eksplorasi dan eksploitasi bahan galian nuklir, produksi bahan baku untuk pembuatan dan produksi bahan bakar nuklir, produksi radioisotop untuk keperluan penelitian dan pengembangan dan pengelolaan limbah radioaktif. Banyak nggak tuh, pokoknya yang berhubungan dengan pemanfaatan nuklir itu tugas BATAN. 

BACA JUGA: ATURAN HUKUM TENTANG KENDARAAN LISTRIK

Eits, ada pengecualian nih, khusus untuk pemanfaat nuklir secara komersial itu wewenang dari PT. Industri Nuklir Indonesia (PT. INUKI), ini juga sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Undang-undang Ketenaganukliran yang memperbolehkan pembentukan BUMN untuk pemanfaatan nuklir secara komersial. 

Nah, untuk menyeimbangkan kelembagaan yang ada, Pasal 4 Undang-undang Ketenaganukliran yang telah diubah oleh UU CIPTAKER memerintahkan pemerintah pusat, untuk membentuk badan pengawas, yang saat ini bernama Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). 

BAPETEN berfokus pada penyelenggaraan peraturan, perizinan dan inspeksi setiap kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir. Pengawasan ini tidak lain untuk memastikan penggunaan tenaga nuklir sesuai dengan tujuan yaitu untuk memberikan manfaat dan kesejahteraan kepada masyarakat. 

Selain itu ada Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan mengenai pemanfaatan tenaga nuklir, ketentuan ini termuat dalam Pasal 5 Undang-undang Ketenaganukliran.

Keseriusan pemerintah Indonesia semakin terlihat dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2022 tentang Keselamatan dan Keamanan Pertambangan Bahan Galian Nuklir. 

Peraturan pemerintah ini mengatur seluruh aspek pertambangan bahan galian nuklir, yang meliputi pertambangan mineral radioaktif, pengolahan mineral ikutan radioaktif dan penyimpanan mineral ikutan radioaktif.

Uniknya peraturan pemerintah ini lahir 25 tahun setelah Undang-undang Ketenagalistrikan disahkan, ini menunjukkan stagnasi pengelolaan sumber daya nuklir mulai menemukan jalannya. 

BACA JUGA: MENGAPA HUTAN PERLU DILINDUNGI?

Hal ini juga diamini oleh Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN)-BRIN Rohadi Awaludin yang dimuat laman resmi BRIN, ia menjelaskan kalau Indonesia memiliki sekitar 90.000 ton Uranium dan 140.000 ton Thorium  sebagai bahan bakar nuklir. 

Rohadi berpendapat sumber daya yang ada tersebut harus dimanfaatkan dan berharap pemerintah segera menetapkan pembangunan PLTN di Indonesia.

Tapi melihat track record Indonesia dalam mengelola energi terbarukan yang masih buruk, pengambilan kebijakan pemanfaatan harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Mengingat penggunaan tenaga nuklir memiliki resiko dampak lingkungan dan keselamatan yang sangat besar apabila ada kesalahan dalam pengoperasiannya. Sebagai contoh kebocoran pipa geothermal di PLTP Sorik Marapi yang terjadi berulang kali atau kebocoran gas beracun di PLTP Dieng menjadi catatan merah pada pengelolaan energi terbarukan di Indonesia. 

Setiap inovasi dan pembangunan harus memperhatikan keselamatan masyarakat. Tidak ada nyawa yang pantas dikorbankan atas nama pembangunan. Merdeka!!

Arif Ramadhan
Arif Ramadhan
Sarjana hukum yang baru lulus kuliah dan masih mencari jati diri

MEDSOS

ARTIKEL TERKAIT

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

DARI KATEGORI

Klikhukum.id