Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) menandai babak baru dalam sistem hukum pidana Indonesia. Salah satu terobosan fundamental adalah diaturnya pidana pengawasan sebagai salah satu jenis pidana pokok (Pasal 65 Ayat (1) huruf c). Pidana pengawasan, yang merupakan penyempurnaan dari konsep pidana bersyarat dalam KUHP lama, adalah manifestasi dari pergeseran filosofi pemidanaan dari yang semula berorientasi pada pembalasan (retributif) menjadi lebih berfokus pada pemulihan, perbaikan dan reintegrasi sosial (restoratif, rehabilitatif dan korektif).
Urgensi Filosofis: Menggeser Dominasi Pidana Penjara
KUHP Nasional secara eksplisit menempatkan pidana penjara sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Pidana pengawasan menyediakan jalur hukum alternatif bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi yang non-institusional bagi tindak pidana tertentu, khususnya yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Ini adalah langkah progresif untuk meminimalisir dampak negatif pemenjaraan jangka pendek, seperti stigma sosial, putusnya hubungan keluarga dan pekerjaan serta potensi kriminalisasi sekunder di dalam lembaga pemasyarakatan.
Indonesia telah lama menghadapi krisis kelebihan kapasitas (overcapacity/overcrowding) lembaga pemasyarakatan. Dominasi penjatuhan pidana penjara, bahkan untuk kejahatan yang termasuk ke dalam klasifikasi ringan, telah menyebabkan lembaga pemasyarakatan berjubel penuh. Pidana pengawasan, bersama dengan pidana kerja sosial, adalah solusi yang konkret untuk menekan populasi narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan.
Karakteristik Pidana Pengawasan
Penjatuhan pidana pengawasan terhadap orang yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara, sepenuhnya terletak pada pertimbangan hakim, dengan memperhatikan keadaan dan perbuatan terpidana. Jenis pidana ini dijatuhkan kepada orang yang pertama kali melakukan tindak pidana. Sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 75 UU No 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), Terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dapat dijatuhi pidana pengawasan. Pidana pengawasan tersebut dijatuhkan paling lama sama dengan pidana penjara yang diancamkan yang tidak lebih dari 3 (tiga) tahun.
Syarat-Syarat Pidana Pengawasan
Pelaksanaan pidana pengawasan wajib disertai beberapa syarat.
- Syarat Umum (Pasal 76 Ayat (2) KUHP Baru) Terpidana tidak akan melakukan tindak pidana lagi.
- Syarat Khusus (Pasal 76 Ayat (3) KUHP Baru) Mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul akibat tindak pidana yang dilakukan dan/atau melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu (tanpa mengurangi kemerdekaan beragama, menganut kepercayaan dan berpolitik.
Konsekuensi Pelanggaran
KUHP Nasional memberikan kepastian hukum yang jelas mengenai konsekuensi jika terpidana melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan. Jika terpidana tidak memenuhi syarat umum atau syarat khusus, maka:
- Terpidana wajib menjalani pidana penjara yang lamanya tidak lebih dari ancaman pidana penjara bagi tindak pidana itu.
- Jaksa berdasarkan pertimbangan pembimbing kemasyarakatan mengusulkan kepada hakim agar terpidana menjalani pidana penjara atau memperpanjang masa pengawasan yang ditentukan oleh hakim yang lamanya tidak lebih dari pidana pengawasan yang dijatuhkan.
Tantangan Implementasi
- Kesiapan Balai Pemasyarakatan (Bapas)
Tantangan terbesar adalah kesiapan Bapas dan Petugas Kemasyarakatan (PK). Jumlah PK saat ini jauh dari kata memadai untuk menangani beban kasus yang diperkirakan akan meningkat drastis dengan implementasi pidana pengawasan. Selain kuantitas, kualitas pembinaan yang dilakukan PK haruslah berbasis pada risiko dan kebutuhan, bukan sekadar pengawasan administratif. Oleh karena itu hal yang dapat dilakukan pemerintah adalah perlunya alokasi anggaran signifikan untuk rekrutmen PK dan pelatihan berbasis ilmu kriminologi/pemasyarakatan modern. Selain itu juga perlu adanya penyusunan peraturan pemerintah/menteri yang mengatur SOP teknis Litmas dan pembimbingan yang terstruktur.
- Koordinasi Antar Lembaga
Keberhasilan pidana pengawasan sangat bergantung pada sinergitas tripartit antara pengadilan (sebagai penentu putusan), kejaksaan (sebagai pelaksana putusan) dan Bapas (sebagai eksekutor pengawasan dan pembinaan). Koordinasi data dan informasi mengenai kepatuhan terpidana harus dilakukan secara real-time dan terintegrasi.
Oleh karena itu perlu adanya optimalisasi penggunaan aplikasi E-Berpadu. E-Berpadu (Elektronik Berkas Pidana Terpadu) adalah aplikasi mengenai sistem informasi manajemen perkara pidana yang menghubungkan real-time data pengadilan, kejaksaan, kepolisian, lapas/rutan. Untuk kedepannya Mahkamah Agung perlu menyempurnakan fitur aplikasi E-Berpadu untuk mengakomodir sinergitas antar lembaga demi lancarnya pelaksanaan pidana pengawasan.
- Respon dan Stigma Masyarakat
Apabila masyarakat masih memandang pidana pengawasan sebagai hukuman yang sepele, hal ini dapat menghambat proses reintegrasi terpidana. Stigma terhadap mantan narapidana, bahkan yang menjalani pengawasan, dapat mempersulit mereka mencari pekerjaan dan hidup normal. Oleh karenanya perlu dilaksanakan edukasi menyeluruh kepada masyarakat mengenai filosofi dan tujuan pidana pengawasan sebagai upaya korektif yang menuntut tanggung jawab penuh dari terpidana. Selain itu juga pemerintah perlu mendorong peran serta tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dalam program pembimbingan dan penerimaan terpidana pengawasan.Pidana pengawasan dalam KUHP Nasional adalah manifestasi dari sistem peradilan pidana Indonesia yang tak lagi berorientasi pada pembalasan belaka, namun sudah berorientasi pada prinsip-prinsip yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pidana ini menawarkan solusi yang konkrit untuk menjawab permasalahan mengenai overcrowding lembaga pemasyarakatan sambil tetap menjamin terwujudnya tujuan pemidanaan, yakni perbaikan dan reintegrasi pelaku tindak pidana.


