homeEsaiPERTEMPURAN BISNIS TELKOM VS NETFLIX

PERTEMPURAN BISNIS TELKOM VS NETFLIX

survey

Dahulu, bioskop bisa jadi tontonan kelas atas nan mahal. Akan tetapi siap-siap saja mereka akan digilas oleh teknologi streaming digital yang digawangi oleh beberapa ‘kesebelasan’ sebut saja Netflix, iFlix, Viu, Hooq, dkk. Dengan hanya berbekal kuota internet, kita tidak lagi letih berdiri hingga loket pembelian tiket studio bioskop dibuka. Mau horror, action, drama, romantic, fiction, sampe katak kawin khas discovery chanel juga ada.

Dari ‘kesebelasan’ yang tadi saya sebutkan di atas, ada satu ‘club’ yang hingga saat ini tidak diijinkan untuk ikut berkompetisi di Liga Telkom bidang streaming media. Dia lah, Netflix. Entah apa alasan utamanya sampai Netflix gak boleh ikut kompetisi.

Informasi yang saya terima dari kumparan.com, berdasar dari penjelasan Direktur Consumer PT. Telkom, Ibu Siti Choiriana, pemblokiran Netfix dilakukan demi melindungi konsumen, upaya untuk mendesak Netflix agar mematuhi regulasi yang berlaku di Indonesia, mencegah konten negatif dan demi kepentingan ekonomi bangsa. Sedappp.

Pemblokiran Netflix oleh PT. Telkom sudah sejak 2016, tapi jangan salah, sampe awal tahun 2020 netizen masih aja bahas soal pemblokiran tersebut. Netizen merasa telkom sengaja melarang Netflix untuk ikut berkompetisi karena sudah ada deal dengan penyedia layanan over the top yang lain. Geramnya netizen berujung pada munculnya petisi melalui situs change.org. Di petisinya, netizen minta supaya telkom segera mencabut pemblokiran terhadap Netflix.    

Petisi yang ditandatangani kurang dari 2000 orang itu lantas direspon oleh KPPU. Melalui siaran persnya, KPPU berjanji akan menelusuri indikasi dugaan persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh PT. Telkom terhadap Netflix.

Hari berganti bulan, tahun pun berganti angka. Hingga tibalah gerhana matahari memayungi bumi, belum juga nampak tanda-tanda dari pihak KPPU menyajikan hasil kajian dan penelitiannya. Padahal kita sangat berharap sekali. Ya nggak.

BACA JUGA: BUMN, HALO SAYA DATANG LAGI

Permasalahan antara PT. Telkom vs Netflix sangat menarik untuk dikaji. Memang sih yang bikin rame itu kajian tentang dugaan monopoli dan persaingan usaha tidak sehatnya. Tapi perlu diingat, Netflix merupakan perusahaan luar negeri yang sampai hari ini belum BUT (badan usaha tetap). Padahal dia menjalankan usahanya di Indonesia, jelas dia dapet banyak duit dari kita selaku konsumennya.

Sejarahnya, Netflix berawal dari sebuah perusahaan persewaan DVD player yang berdiri pada tahun 1997 di atas payung hukum negeri paman sam. Melihat potensi yang luar biasa di dunia digital, netflix pun tidak mau ketinggalan. Lalu Netflix mengubah haluan bisnisnya menjadi penyedia layanan konten streaming digital. Pada akhirnya, bisnis streaming digital Netflix tumbuh menjadi bisnis raksasa yang punya nilai valuasi luar biasa, bahkan sudah menjamah Indonesia sejak 2016 silam. 

Terkait dengan pemblokiran konten Netflix yang dilakukan oleh Telkom. Dalam bahasan kali ini saya pengen kepoin alasan-alasan Telkom yang berujung pada petisi dari netizen. Jadi penasaran, apa iya Netflix bisa dilindungi oleh UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?

Dari Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999 kita ketahui bahwa tujuan diundangkannya UU ini ialah untuk menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil melalui suatu pengaturan persaingan usaha yang sehat, mencegah praktek monopoli yang ditimbulkan oleh pelaku usaha guna tercapainya efisiensi ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Karenanya, demi mencapai tujuan tersebut UU No. 5 Tahun 1999 mengatur berbagai ketentuan yang berkaitan dengan: i) Perjanjian yang dilarang; ii) Kegiatang yang dilarang; iii) Posisi dominan; iv) Sanksi terhadap pelanggar ketentuan yang diatur. Poin-poin tersebut dapat dilihat di Perkom No. 5 / 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 Huruf a UU No. 5 / 1999. 

Ruang lingkup dalam UU No. 5 Tahun 1999 sejatinya mengikat bagi pelaku usaha yang mendudukkan diri dalam hukum Indonesia. Akan tetapi dalam prakteknya, ada beberapa putusan KPPU yang mendudukkan pelaku usaha asing yang tidak berbendera Indonesia sebagai para pihak.

Asas ekstrateritorialitas terhadap pelaku usaha yang berada di negara lain dan didirikan berdasarkan hukum negara tersebut pernah dilakukan dalam dua kasus yaitu dalam Perkara Very Large Crude Carrier (VLCC) lewat Putusan No. 07/KPPU-L/2004 dan Perkara Temasek lewat Putusan No. 07/KPPU-L/2007. Pada kedua putusan tersebut mendefinisikan Pasal 1 angka ke 5 berdasarkan prinsip entitas  ekonomi tunggal.  

Konsekuensi dari prinsip tersebut adalah pelaku usaha dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan oleh perusahaan lain dalam satu entitas ekonomi, meskipun pelaku usaha yang pertama beroperasi di luar yurisdiksi hukum persaingan usaha suatu negara, sehingga sifat ekstrateritorialitas dari penegakan hukum persaingan usaha dapat terpenuhi.

BACA JUGA: PERGULATAN POLITIK ALA OLIGARKI

Berbeda halnya dengan yang dialami oleh Netflix. Dalam kasus ini, Netflix adalah pihak yang dirasa sedang ‘didzolimi’ oleh kelompok usaha Telkom. Namun beda dengan 2 kasus sebelumnya. Di sini, Netflix seperti anak yang dilahirkan di luar status perkawinan yang sah. Sehingga selama dia tidak jadi subyek hukum Indonesia, maka akan sulit baginya untuk mendapat ‘keadilan’ atau ‘hak’ sebagai subyek hukum.

Hambatan yang dilakukan oleh Telkom bisa jadi berakar pada rumusan Bab IX tentang Ketentuan lain yang di dalamnya berdiri dua pasal yakni Pasal 50 dan Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999. Telkom dan anak usahanya yang dalam hal ini merupakan entitas penyedia layanan internet  mencoba untuk menegakkan aturan perundang-undangan yang berlaku di wilayah republik Indonesia. Selain itu, usaha telkom juga sebagai langkah untuk menjaga kekayaan alam Indonesia dalam lingkup ruang angkasa.

Namun, jika saja Netflix mau mendudukkan diri sebagai entitas badan usaha tetap seperti yang diatur dalam Permenkeu No. 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap, maka Netflix bisa melakukan perlawanan terhadap ‘pemboikotan’ yang dilakukan oleh telkom dengan mendasari pada ketentuan tentang penguasaan pasar yang diatur dalam Pasal 19 huruf ‘a’ pun bisa juga dengan huruf ‘d’ yang berbunyi: Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:

Dalam huruf ‘a’ berbunyi: Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan. Dalam huruf ‘d’ berbunyi: Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Akhirul kalam, bila saja Netflix berniat untuk menggaet 167,8 juta pelanggan Telkomsel dan 6,5 juta pelanggan Indihome, saya sarankan kepada Netflix untuk segera merealisasikan diri menjadi BUT (Badan Usaha Tetap) sebuah badan usaha yang dipergunakan oleh subyek pajak luar negeri.  

Dari Penulis

NEW NORMAL, SUDAH TERSEDIAKAH FASILITASNYA?

Nggak kerasa sudah 3 bulan Sultan Covid-19 (2019-nCoV) yang...

PEREBUTAN KURSI KERAMAT

Voice is political action par excellence (bersuara adalah wujud utama dari...

PENTINGNYA SOCIAL DISTANCING

Hari ini saya harus menyelesaikan misi membela hak-hak seorang terdakwa...

PERSYARATAN MENGAJUKAN ADOPSI ANAK

“Dek berapaan harga korannya?” tanya saya pada seorang anak...

SAKIT JIWA, BISAKAH DIPIDANA?

Udah pada tau kan ada give away tiket nonton film...

TerkaitRekomendasi buat kamu
Artikel yang mirip-mirip

Dedi Triwijayanto
Dedi Triwijayanto
Anggota Team Predator klikhukum.

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Dari Kategori

Klikhukum.id