MENGENAL TRADISI TAKJIL YANG KINI DISUKAI NON MUSLIM

Faktanya umat non muslim di Indonesia ikut merayakan semarak tradisi bulan Ramadhan salah satunya dengan berburu takjil. Apa sih, penyebabnya dan bagaimana tradisi takjil itu melekat dalam masa perayaan ibadah puasa di bulan Ramadhan.  

Berbeda dengan bulan-bulan pada kalender Hijriyah lainnya, bulan Ramadhan tersirat banyak momentum kultural yang kemungkinan besar hanya ditemukan di kebudayaan umat muslim Indonesia.  

Salah satunya tradisi ngabuburit, berburu takjil, sampai dengan aktivitas membangunkan orang sahur menggunakan alat musik tradisional sesuai dengan kebudayaan masyarakat kita.  

Kali ini aku akan mencoba membahas tentang takjil, yang akhir-akhir ini sedang ramai dibahas warganet, dikarenakan yang ikut berburu atau membeli takjil bukan hanya umat muslim, namun faktanya banyak warga non muslim juga gemar berburu takjil.  

Tentu saja bagi aku ini menjadi vibes positif, secara nilai keagamaan dengan hadirnya umat non muslim ikut menyemarakkan berburu takjil menandakan bahwa mereka juga senang dengan bulan Ramadhan. Hal ini ketika dikaji lebih mendalam dapat memperkuat persatuan dan kesatuan hubungan antar warga negara yang berbeda agamanya.  

Selain dalam ruang toleransi, dengan hadirnya umat non muslim berburu takjil, menjadi nilai perekonomian bertambah karena adanya daya jual yang manfaatnya bisa dirasakan para penjual takjil. Tentunya hal ini sangat berpengaruh dalam pendapatan perekonomian masyarakat.  

Selain dua manfaat tersebut, kira-kira bagaimana sih, sejarah adanya takjil dan adakah aturan hukum Islam yang memang mengaturnya. Mari kita bahas ya, pren.  

Sejarah Takjil  

Untuk membahas tentang sejarah takjil, aku mengambil sumber dari Muhammadiyah.or.id. Dalam laman website tersebut diartikan bahwa, peristilahan takjil diambil dari Hadis Nabi Muhammad Riwayat Bukhari dan muslim yang berbunyi, “Manusia masih terhitung dalam kebaikan selama ia menyegerakan (Ajjalu) berbuka.”  

Secara penafsiran bahasa, istilah ‘menyegerakan’ dalam hadis tersebut adalah Ajjalu dan dalam bahasa Arabnya memiliki semantik bahasa, ajjala–yu’ajjilu–ta’jilan yang artinya momentum, tergesa-gesa, menyegerakan atau mempercepat.  

Sehingga makna bahasa Arab yang diturunkan dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa, takjil dapat diartikan agar menyegerakan berbuka puasa apabila sudah tiba waktunya.  

Menurut Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda dalam karya penelitiannya berjudul De Atjehers, melaporkan setelah mengunjungi Aceh di antara tahun 1891-1892 mencatat bahwa masyarakat lokal telah mengadakan buka puasa (takjil) di masjid beramai-ramai dengan ‘ie bu peudah’ atau bubur pedas.  

Selain itu Profesor Munir Mulkhan dalam bukunya berjudul Kiai Ahmad Dahlan – Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan, mencatat bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid mempopulerkan tradisi mengakhirkan makan sahur menjelang waktu subuh tiba dan menggelar takjil untuk menyegerakan kaum muslimin untuk berbuka.  

Melalui transformasi kebudayaan tersebut, selanjutnya makna takjil dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengistilahkan takjil sebagai makanan berbuka puasa yang disegerakan. Contohnya, jajanan pasar yang banyak ditemukan sekarang menjelang waktu berbuka puasa.  

Takjil Diburu Bukan Hanya Umat Muslim  

Dengan adanya transformasi bahasa tentang makna takjil tersebut yang kini familiar diartikan sebagai makanan berbuka puasa yang disegerakan, menurutku ini merupakan pergeseran budaya yang positif.  

Apalagi jika dicermati lebih mendalam, penyuka takjil itu rupanya bukan hanya umat muslim saja, nyatanya umat non muslim pun gemar berburu takjil. Ya, walaupun kadang mereka nyolong start duluan pas beli takjil, jadinya orang yang berpuasa hanya kebagian tahu goreng sama lontong saja.  

Namun ini bukan hal negatif, apalagi diperdebatkan, justru bisa menciptakan vibes positif di bulan Ramadhan yang harus terus dirawat untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.  

Jika ditanya tentang alasan, kenapa mereka non muslim juga ikut berburu takjil? Melalui detik.com pemburu takjil non muslim menjelaskan bahwa suasana atau vibes berburu makanan saat bulan puasa sangatlah berbeda. Pada bulan ini, menurutnya lebih banyak penjual makanan yang menjajakan jualannya di pinggir jalan.  

Nah, secara pengalaman batin saja, umat non muslim merasakan vibes berbeda hanya sekedar pada momentum beli jajanan di sore hari, yang nyatanya sangat bisa dilakukan di bulan-bulan lainnya.  

Sehingga kesimpulannya, membahas takjil selain memang terdapat anjuran yang harus dilaksanakan umat muslim dengan menyegerakan berbuka puasa pada waktunya, namun secara kultur takjil juga sudah mengajarkan kecintaan umat non Islam pada tradisi Ramadhan yang secara outputnya mengajarkan persatuan dan kesatuan umat beragama.  

Mohsen Klasik
Mohsen Klasik
El Presidente

MEDSOS

ARTIKEL TERKAIT

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

DARI KATEGORI

Klikhukum.id