Beberapa hari lalu klikhukum.id mengangkat artikel berjudul “Surat Terbuka Buat Mas Dedi.” Artikel itu berisi kicauan tentang saya yang katanya absurd, suka ngembat rokok temen hingga berujung pada kerugian negara. Korelasi yang sangat, sangat membingungkan.
Pertama, saya mengapresiasi ilustrasi yang sumpah bikin dahi saya berkerut. Bayangkan, saya yang aslinya bertubuh subur malah digambarkan layaknya Manny Pacquiao mau mukul petinju amatiran kelas bulu super ringan.
Kedua, entah apa motivasi Dik Mahend di balik tulisan tersebut, tega nian dia bikin surat tantangan kepada saya. Ah, mungkin saja Dik Mahend lagi menahan bisul yang selama ini nggak pecah-pecah. Semoga saja, setelah ini bisulnya pecah lalu meleleh kaya Gunung Merapi yang lagi erupsi.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, bersama ini disampaikan eksepsi atas surat terbuka sebagaimana yang Dik Mahend layangkan kepada saya.
Hey, Mahend (pake nge-gass), kamu sudah tahu kan Eksepsi itu apa? Tahu kan! Tahu kan! Pokoknya kamu harus tahu, saya nggak mau tahu. Karena kamu itu terdidik di kawah condrodimukonya ahli hukum Republik Indonesia. Kalo sampe nggak tahu, saya bakal adukan ketidaktahuan kamu ke Bp. Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M. Hum.
Intinya, eksepsi ini saya buat untuk memenuhi asas hukum yang berbunyi audi et alteram partem yang artinya kedua belah pihak harus didengar bersama-sama, jangan hanya mendengar salah satu pihak saja. Sebagai subyek hukum (orang) yang terdiskreditkan dalam tulisan kamuh, maka saya akan membantah dengan tegas.
Gimana, sudah siap baca eksepsi atau tangkisan atau bantahan dari saya. Kalo kamu belum siap, makan dulu sana biar ruso-ruso kamu cukup buat menahan kamehameha saya. Pastinya serangan balik khas Real Madrid saya bakal bikin jantung kamu senam SKJ.
BACA JUGA: MENGENAL HUKUM PIDANA DAN PERDATA
Wahai penulis surat terbuka a.k.a Mahendra Wirasakti (saya perjelas namamu biar nggak dikira empu Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dan nggak dianggap error in persona).
Saya akui kalo saya absurd, gara-gara itu kamu nggak percaya kalo manusia absurd kayak saya adalah kakak tingkatmu di Gadjah Mada. Oke, nggak masalah! Secara, jaman saya kuliah dirimu tidak diakui (sorry) maksud saya belum terdaftar sebagai mahasiswa.
Biasanya nih, biasanya. Orang yang berhasrat bisa kuliah di sana dapat dipastikan sebelum jadi mahasiswa pernah ngerasain fasilitas kampus buat, buat ngedate misalnya, “yank, nanti temenin mas makan nasi pecelnya Yu Par yang di Bonbin ya?”, dijawab. “asssssiyap”. Halah, lagu lama.
Bantahan saya yang pertama adalah surat adek cacat formil, kenapa? Sudah nggak usah berpanjang lebar-kali tinggi, jelas surat itu error in persona.
Bukunya Pak Moh. Romdlon berjudul “Pokok-pokok Hukum Acara Perdata” pada intinya bilang, Pasal 8 No. 3 RV mengharuskan gugatan itu memuat identitas para pihak atau persona standi in judicio. Salah satunya meliputi nama lengkap. Inget ya “nama harus lengkap.”
Coba cek nama saya dalam suratmu itu, pasti keliru. Kau ini bagaimana atau aku harus bagaimana (lho, kenapa jadi judul puisinya Gusmus, hadeh). Kita kembali ke laptop. Pokoknya nama saya keliru. Untung H. Yanto nggak tahu, kalo sampe dia tahu, bisa-bisa dia order GoFood bubur merah putih. Sebagai seorang yuris, Dik Mahend jelas mengerti thoo kalo nama itu hal yang fundamental dan punya arti penting.
Sebenernya kalo Dik Mahend mau tau nama asli saya, mudah bingit kok. Tinggal ketik di Google pengacara handsome, pastilah nama saya berada di puncak hasil searching. Nah, kalo ketiknya ‘pengacara jalan ninjaku’ pasti yang keluar Mas Muhsin, S.H., (C) M.H., (kok ada ‘c’nya, namanya juga candidate).
Oh ya, saya kasih tau lagi nih, surat terbuka adek juga diskualifikasi in person, kenapa demikian? Prof. Yahya Harahap dalam bukunya menyampaikan, bahwa diskualifikasi in person terjadi apabila yang bertindak sebagai penggugat adalah orang yang tidak memenuhi syarat (diskualifikasi) karena salah satunya penggugat tidak mempunyai hak untuk menggugat perkara yang disengketakan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kan lucu kalo kamu yang merasa keberatan karena saya mengambil atau mengembat rokok temen-temen RH. Saya akui faktanya benar demikian, tapi kan saya mengejawantahkan anjuran untuk mengurangi rokok. Lagian dalam surat itu kamu juga gak bilang rokoknya siapa yang saya embat. Nah, jadi saya nggak salah dong.
Tapi yang pasti, itu rokoknya temen-temen kita di RH lho, bukan rokoknya Dik Mahend. Nah, karena bukan rokoknya Dik Mahend, maka tepatlah kalo surat itu saya kategorikan sebagai diskualifikasi in person. Secara, kan kamu bukanlah orang yang saya rugikan.
BACA JUGA: KISAH DARI MAHASISWA FH UGM
Jika perilaku saya dianggap merugikan negara, saya malah heran. Kenapa jadi saya yang salah? Yang menaikkan harga cukai rokok kan pemerintah. Seharusnya pemerintah merasa rugi dong, kalo sampai kebijakan tersebut berdampak pada berkurangnya konsumsi rokok di masyarakat yang pada akhirnya berpengaruh pada kondisi fiskal negara kita. Kenapa negara ga komplain sama saya?
Terakhir, saya katakan surat terbuka tersebut dikategorikan sebagai obscuur libel yang artinya, jika merujuk pada bukunya Prof. M. Yahya Harahap menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan obscuur libel merupakan surat gugatan penggugat tidak terang atau isinya gelap (onduidelijk). Disebut juga formulasi gugatan yang tidak jelas. Padahal agar gugatan dianggap memenuhi syarat formil, dalil gugatan harus terang dan jelas atau tegas (duidelijk).”
Ketidakjelasan surat tersebut saya temukan dalam kebimbangan Dik Mahend perihal ketidakjelasan rokok siapa yang saya ‘embat’. Belum selesai kamu menyampaikan hal tersebut, ujug-ujug kamu menyampaikan perihal kerugian negara yang timbul karena perbuatan saya.
Hal di atas itu persis dengan yang disampaikan Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., dalam buku “Hukum Acara Perdata Indonesia.” Dalam buku itu beliau bilang, “maka oleh karena itu penggugat harus merumuskan petitum dengan jelas dan tegas (eenduidelijke en bepaalde conclusie, pasal 8 Rv).”
Cukup 2 hal itu saja yang menjadi eksepsi saya terkait surat terbuka Dik Mahend. Seandainya surat kamu kemarin adalah gugatan, saya haqul yakin majelis hakim akan menyatakan gugatan kamu tidak dapat diterima alias niet ontvankelijke verklaard (NO).