Berita perseteruan antara Hendropriyono dan Kesultanan Pontianak sukses menarik perhatian saya pada pekan ini. Ketika banyak pihak meributkan new normal dan penanganan pandemi COVID-19, kedua pihak tadi justru meributkan sejarah dari mendiang Sultan Hamid II yang sudah lama meninggal dunia. Ya ampun.
Pangkal permasalahan dari ribut-ribut ini adalah ketika Yayasan Sultan Hamid II mengusulkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Joko Widodo. Alasannya, karena Sultan Hamid II merupakan perancang dari lambang negara kita, Burung Garuda. Itu tuh, burung dengan perisai di dadanya yang menggambarkan Pancasila dan di kakinya ada pita bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika.”
Kemudian muncullah Hendropriyono. Bapak yang oleh banyak kalangan dituduh sebagai dalang Peristiwa Talangsari dan pembunuhan Munir itu angkat bicara mengenai Sultan Hamid II. Masalahnya adalah, si bapak ini justru menganggap Sultan Hamid II sebagai pengkhianat, bukan sebagai pahlawan.
Alasan si bapak sih, sebenarnya juga berlandaskan pada sejarah bahwa Sultan Hamid II merupakan kaki tangan Belanda dan berencana mengadakan pembunuhan terhadap Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang saat itu merupakan Menteri Pertahanan melalui Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) bentukan Raymond Westerling. Untuk sejarah lengkapnya, silakan googling, jangan mager.
Karena perbedaan tafsir mengenai sejarah itulah, si bapak akhirnya dilaporkan sama Kesultanan Pontianak yang diwakili oleh Sultan Pontianak IX. Mereka beralasan, Sultan Hamid II gakpernah dinyatakan bersalah oleh pengadilan, meski pada akhirnya dipenjara selama 10 (sepuluh) tahun. Jangan nyuruhsaya buat cari putusan mengenai Sultan Hamid II di website Mahkamah Agung. Tau sendiri kan, bagaimana website-website lembaga negara di Republik ini?
BACA JUGA: PENGANUGERAHAN PAHLAWAN NASIONAL
Kabarnya sih, laporan terhadap Bapak Hendropriyono tersebut atas tuduhan penghinaan dan pencemaran nama baik. Ya ampun, jadi ingat kasusnya Dandhy Dwi Laksono yang dilaporkan karena menulis soal pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa Megawati jadi presiden.
Jujur saya salut dengan Kesultanan Pontianak. Mereka berani ‘adu kuat’ melawan orang yang terakhir kali memiliki empat bintang di pundaknya, mantan ketua umum sebuah partai politik, dan mantan raja intelijen pula. Kalau saya sih, gak berani. Minder saya kalau disuruh berhadapan dengan beliau. Ya gimana? Saya single fighter, je. Followers gak punya, uang apa lagi. Lha si bapak? Di dunia militer pasti masih dihormati. Sekali jari menunjuk orang … Ampun pak, jangan nunjuk Saya ya pak. Saya cuma penulis di Klikhukum.id yang gak dibayar.
Oke, lanjut. Karena ribut-ribut kedua pihak itulah saya jadi penasaran, sebenarnya apa sih, syarat mendapat gelar pahlawan? Kalau melihat Pasal 24 UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, maka syaratnya terdiri dari syarat umum dan syarat khusus.
Karena keterbatasan jumlah kata dan saya takut diomeli sama tim redaksi, maka saya akan membahas syarat umum saja. Syarat umum diatur dalam Pasal 25 UU a quo, syarat umum itu terdiri dari:
- WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekaranng menjadi wilayah NKRI;
- memiliki integritas moral dan keteladanan;
- berjasa terhadap bangsa dan negara;
- berkelakuan baik;
- setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara; dan
- tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
Kalau kita melihat syarat umum tersebut, pada dasarnya yang menjadi permasalahan dari ribut-ributnya Bapak Hendropriyono melawan Kesultanan Pontianak itu ada di poin e dan f. Sialnya, poin e dan f itu merupakan syarat yang paling multitafsir ketimbang syarat lainnya. Mari kita bahas.
Pada bagian Penjelasan, poin e diartikan sebagai “konsisten memperjuangkan dan membela kepentingan bangsa dan negara, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan NKRI.” Masalahnya adalah bagaimana sih, cara menilai konsistensi tersebut? Benar sih, ada Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang diberi wewenang tersebut. Tapi bagaimana dengan cara penilaiannya? Saya kok gak menemukan, ya?
BACA JUGA: PENYAMARAN RAJA YANG TERBONGKAR
Jangan dianggap remeh soal cara penilaian konsistensi ini. Karena kalau syarat itu dijalankan secara konsisten tanpa batasan yang jelas, seharusnya Ventje Sumual, pemimpin PERMESTA bisa mendapat gelar pahlawan karena jasanya ikut berjuang di Yogyakarta waktu Agresi Militer Belanda II.
Selain itu, aksi beliau melalui PERMESTA yang didahului dengan deklarasi bahwa PERMESTA tidak berniat memisahkan diri dari Indonesia juga merupakan perbedaan pandangan politik dengan Bung Karno karena beliau merasa daerah tidak diperhatikan oleh pusat. Toh, di buku biografinya beliau menyebutkan kalau beliau juga gak pernah diadili sama pengadilan. Kalau dipenjara karena perintah Bung Karno sih, pernah.
Lebih jauh, Pak Harto, yang bagi sejumlah pihak tidak pantas mendapat gelar pahlawan karena kepemimpinannya yang sarat akan pelanggaran HAM juga harusnya bisa mendapat gelar tersebut, wong jasanya beliau dalam perang kemerdekaan juga ada. Toh, juga beliau belum pernah dipidana. Yang ada, beliau belum sempat diadili tapi sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Masih mau yang lebih jauh lagi? Ada. Dipa Nusantara Aidit, pemimpin Partai Komunis Indonesia alias PKI yang selalu dituduh sebagai dalang Gerakan 30 September atawa G30S itu. Beliau dibedil sama tentara dan kabarnya dikubur di dalam sumur di bilangan Boyolali sana tanpa sempat diadili. Kayak gitu mau disebut mengkhianati bangsa dan negara? Apa buktinya? Diadili saja enggak.
Masalah kedua adalah syarat umum tersebut bersifat kumulatif. Artinya, syarat umum tersebut harus terpenuhi semua. Kalau memang benar klaim dari pihak Kesultanan Pontianak mengenai Sultan Hamid II yang tidak pernah dipidana dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, lalu gimana dong?
Pada akhirnya, ribut-ribut Bapak Hendropriyono vis a vis Kesultanan Pontianak tersebut lebih banyak disebabkan karena ketidakjelasan dari UU Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Ingat, pemberian gelar dilakukan oleh Presiden, di mana secara politik berarti negara mengakui kiprah orang yang diberi gelar tersebut. Tapi gak apa-apa. Sejak kapan sih, ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang benar-benar jelas dan tidak multitafsir? Hehehehe.