Jika kita sepakat arti kata ambigu bermakna ganda, ketidakjelasan dan sebagainya. Menurut saya kata ini cocok disematkan pada momen Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Pasalnya tembakau mereka benci, tapi hasil bea cukai dari produk rokoknya tetap dinikmati.
Sebenarnya siapa sih, tokoh di balik perayaan hari tanpa tembakau sedunia. Apakah gerakan ini lahir dari politik dan budaya bangsa Indonesia atau memang merupakan agenda kepentingan politik luar negeri untuk menyempitkan ruang gerak produk budaya lokal kita.
Rupanya peringatan hari tanpa tembakau sedunia diciptakan oleh World Health Organization (WHO) atau dikenal dengan organisasi kesehatan dunia di bawah naungan PBB pada tahun 1987.
Dikarenakan pada tahun 1987 WHO memperkirakan terdapat enam juta orang meninggal dunia akibat rokok, sehingga mereka mendeklarasikan peringatan hari tanpa tembakau, dengan tujuan menekan jumlah perokok aktif yang semakin banyak di dunia dan diharapkan masyarakat dapat meningkatkan kesadaran akan bahaya rokok bagi diri sendiri dan orang sekitar.
Di Balik Gerakan Anti Tembakau
Tameng kesehatan dan anggapan merokok itu membunuhmu merupakan senjata ampuh yang digunakan penggiat gerakan anti tembakau. Apalagi pola gerakan ini didukung penuh PBB melalui WHO.
BACA JUG: JIKA ADA TEMBAKAU DI LADANG BOLEHKAH PEMERINTAH MENAIKKAN TARIF CUKAINYA?
Sebagai contoh pada tahun 2003 WHO mengeluarkan dokumen aturan pertembakauan di seluruh dunia, yaitu Framework Convention on Tobacco Control/FCTC yang diharapkan diratifikasi menjadi undang-undang nasional bagi negara yang menandatangani konvensi tersebut.
Aturan Framework Convention on Tobacco bersifat memaksa kepada negara yang telah meratifikasinya, dengan konsekuensi hukum harus dibuatkan hukum nasional yang mengatur tentang pengendalian tembakau.
Menurut Wanda Hamilton dalam bukunya “Nicotine War” menyebutkan propaganda anti rokok merupakan bagian dari pemasaran industri farmasi. Ada koneksi yang tidak terbantahkan di antara propaganda anti-merokok dengan kepentingan industri farmasi.
Targetnya agar orang berhenti merokok melalui penanganan atas ketagihan nikotin. Dari situlah terbuka jalan bagi terapi atau obat yang dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT).
Selain itu Wanda Hamilton juga mencatat perusahaan farmasi yang disebutkan ikut serta dalam pembuatan produk penghenti rokok dan keterlibatan mereka dalam kampanye anti tembakau seperti Bill Gates, Rockefeller, Michael Bloomberg dan lainnya.
Jika suatu gerakan merupakan alat legitimasi suatu kepentingan produk untuk menghancurkan produk yang lain, maka asumsi selanjutnya apakah kemungkinan konsep dan kampanye soal kesehatan merupakan alat isu yang mereka gemborkan demi tujuan kapitalisasi hasil kepentingan produk farmasi ke depan.
Walaupun sampai saat ini Indonesia masih satu-satunya negara di Asia yang belum turut serta meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control. Jika tidak percaya silakan lihat dan klik di fctcuntukindonesia.org.
Tembakau, Budaya dan Cukai Negara
Lebih dari empat abad yang lalu, tembakau masuk ke Jawa dan dimanfaatkan sebagai rokok. Namun secara produk kebudayaan, rokok racikan negara kita ini berbeda dengan rokok yang ada di negara-negara lain.
BACA JUGA: AGENDA ASING DI BALIK BISNIS PENGENDALIAN TEMBAKAU
Berbeda dengan sikap yang dikampanyekan oleh WHO, rokok di Indonesia dalam bentuk kretek malah diriwayatkan Haji Jamhari pada tahun 1880 sebagai sarana untuk meredakan rasa nyeri di dadanya. Tentu saja kretek buatan beliau tidak hanya tembakau saja, melainkan dicampur dengan cengkeh dan rempah pilihan. Hal inilah yang menjadi pembeda rokok kretek nusantara dengan negara lain.
Alhasil citarasa kretek Indonesia sampai dengan sekarang disukai penikmat rokok di seluruh dunia. Apalagi campuran olah rasa cengkeh dan rempahnya yang tidak ditemukan di negara lain. Inilah produk budaya khas Indonesia.
Selain merupakan produk budaya, hasil dari rokok kretek juga menyumbang pajak negara melalui cukainya. Pada tahun 2023 saja, penerimaan cukai negara dari rokok berhasil tembus di angka 286, 2 triliun.
Atas dasar pendapatan cukai yang kian tahun makin menaik inilah, menjadikan negara kita meratifikasi FrameWork Convention On Tobacco Control. Bayangkan saja jika FCTC akan menekan laju rokok di tanah air, jelas kerugian akan dialami negara, karena aturan yang lebih ketat terhadap rokok.
Sehingga sampai dengan sekarang, hari tanpa tembakau sedunia menurut saya kurang ngefek di Indonesia. Pasalnya bicara rokok apalagi kretek bukan hanya budaya yang sudah mengakar, namun ada nilai ekonomis juga yang dimanfaatkan negara. Masa iya, negara mau melarangnya, rugi dong.