Ketika mendengar istilah judicial review, sebagian mahasiswa hukum langsung teringat skripsi dan dosen penguji yang gemar mencoret-coret pakai pulpen merah. Padahal, judicial review bukan sidang skripsi jilid dua. Ia hanyalah mekanisme hukum untuk mengecek apakah sebuah aturan masih sesuai dengan aturan yang lebih tinggi. Tanpa mekanisme ini, peraturan bisa saja melenceng jauh dari konstitusi tanpa ada yang berani mengingatkan.
Dalam sistem hukum Indonesia, ada dua aktor utama yang menjalankan mekanisme ini, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Keduanya sama-sama berwenang menguji peraturan, tetapi berbeda level.
Wewenang Judicial Review MK
MK bertugas menguji undang-undang terhadap UUD 1945, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana terakhir diubah dengan UU No 7 tahun 2020. Dengan kata lain, MK adalah penjaga utama agar UU tidak membelok dari konstitusi. Salah satu contoh aktualnya adalah putusan MK mengenai syarat usia calon presiden dan wakil presiden dalam Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Aturan itu menetapkan batas minimal usia 40 tahun, namun MK memberi tafsir bahwa calon yang belum 40 tahun tapi sudah menjabat sebagai kepala daerah tetap boleh maju.
BACA JUGA: MENYETOP KRITIK DENGAN PRAKTIK JUDICIAL HARASSMENT
Wewenang Judicial Review MA
Sementara itu, MA memiliki ranah berbeda, yakni menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sebagaimana tercantum dalam Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 dan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Contohnya terlihat ketika PKPU tentang Pilkada mengatur usia minimal calon kepala daerah 30 tahun untuk gubernur dan 25 tahun untuk bupati/wali kota yang dihitung sejak penetapan pasangan calon. MA kemudian menafsirkan ulang, usia minimal cukup dihitung sejak pelantikan.
Untuk mempermudah, ada rumus sederhana yang sering dipakai mahasiswa hukum, yaitu MK menguji UU terhadap UUD, sedangkan MA menguji peraturan di bawah UU terhadap UU. Rumus ini menjadi kunci untuk memahami perbedaan mendasar antara keduanya. MK bekerja pada level konstitusi, sehingga putusannya berhubungan langsung dengan UUD 1945. Sementara itu, MA berfungsi memastikan peraturan turunan tetap sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam UU.
Lalu, Bagaimana Kalau Putusan MK dan MA Saling Bertentangan?
Misalnya, MK bilang “Boleh” sementara MA bilang “Tidak boleh.” Jawabannya sederhana, ikuti putusan MK. Sebab, menurut Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, putusan MK bersifat final dan mengikat. MK juga dijuluki, “The guardian of the constitution,” sehingga posisinya berada di atas MA dalam urusan pengujian peraturan. Secara hierarki, UUD 1945 menempati posisi tertinggi, disusul UU, lalu peraturan turunan. Jadi, logis bila putusan MK lebih kuat dibanding MA.
Judicial review menjadi penting, karena pada prinsipnya hukum dibuat untuk masyarakat bukan sebaliknya, sehingga hukum tidak boleh merugikan masyarakat. Bayangkan kalau peraturan dibuat semaunya tanpa mekanisme pengujian. Masyarakat bisa dirugikan dong. Untunglah ada MK dan MA yang memastikan aturan tidak boleh merugikan masyarakat. Judicial review juga merupakan bentuk kontrol demokrasi, memberi kesempatan masyarakat menggugat aturan yang dianggap tidak adil. MK menjaga agar UU tidak melanggar UUD, sedangkan MA memastikan peraturan turunan tidak menabrak UU. Semua itu sejalan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang menegaskan pentingnya hierarki hukum.
Akhirnya, judicial review bukan hanya istilah akademis di dalam buku pelajaran, tetapi mekanisme nyata yang berpengaruh dalam tata kelola hukum dan kehidupan bernegara. Judicial review memastikan setiap peraturan berjalan sesuai dengan hierarki perundang-undangan yang berlaku.
Maka, meskipun konsep ini terdengar rumit, rumus sederhananya tetap berlaku, yaitu MK menguji UU terhadap UUD, MA menguji peraturan di bawah UU terhadap UU dan jika keduanya berbeda pendapat, MK yang diikuti. Sesederhana itu.