Halo kru redaksi klikhukum.id, izin bertanya donk kak. Apakah proses perceraian harus melalui pengadilan agama? Ataukah bisa hanya kesepakatan kedua belah pihak (suami/istri) secara lisan dan atau tertulis?
Jawaban:
Halo juga sahabat setia pembaca klikhukum.id di mana pun berada. Sebelumnya syukron atas pertanyaannya. Kami coba jawab pertanyaan kamu ya.
Dalam perkawinan, perceraian merupakan suatu peristiwa yang kadang tidak dapat dihindari. Perceraian merupakan salah satu sebab putusnya ikatan perkawinan di luar sebab lain yaitu kematian dan atau atas putusan pengadilan seperti yang terdapat di dalam Pasal 38 UU Perkawinan. Dalam hal perceraian dapat dilakukan dan diputuskan apabila memiliki alasan-alasan, baik dari pihak suami maupun istri.
Dasar hukum proses perceraian di Indonesia dituangkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Berdasarkan UU tersebut, dimungkinkan salah satu pihak, yaitu suami atau istri melakukan gugatan perceraian. Walaupun demikian, ada pembeda soal perceraian ini.
Dengan demikian, dalam proses perceraian berdasarkan KHI terdapat dua istilah yaitu ‘cerai gugat’ dan ‘cerai talak.’ Pasal 116 KHI menegaskan hal tersebut, “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.”
Berdasarkan penjelasan Pasal 14 UU Perkawinan dan PP 9 Tahun 1975 diatur tentang cerai talak yaitu cerai yang dijatuhkan suami di depan pengadilan yang sesuai dengan hukum Islam. Talak menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi.
“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”
Adapun cerai gugat (gugatan cerai) hanya dapat diajukan oleh istri sebagaimana terdapat dalam Pasal 132 Ayat (1) KHI, “Gugatan perceraian diajukan oleh istri atas kuasanya pada pengadilan agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.”
Gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 132 Ayat (2) KHI).
Nah, dalam penceraian pasangan muslim hanya dapat dilakukan di depan pengadilan agama. Pasal 115 KHI mengatakan bahwa “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, yaitu melalui mediasi oleh mediator yang ditunjuk pengadilan agama.”
Dalam penjelasan di atas mengenai penceraian menurut hukum positif yang terdapat dalam UU Perkawinan dan PP 9 Tahun 1975 maupun menurut hukum Islam, perceraian itu hanya sah apabila melalui proses sidang di pengadilan.
Jadi, jelas secara hukum jika dokumen perkawinan saudara sah tercatat secara negara, maka perceraian kamu harus dilakukan di pengadilan agar sah menurut hukum. Kecuali perkawinan kamu tidak tercatat di buku nikah atau di surat-surat kawin. Yaaa, tinggal kalian mengucapkan “Cerai” secara islam sudah tidak ada hubungan kawin. Makanya jangan main-main dengan ucapan “Cerai.”
Kalau perceraian kamu dilakukan dengan membuat perjanjian untuk menyataan cerai atau pernyataan di atas meterai, maka perceraian itu tidak sah secara hukum baik KHI dan UU Perkawinan.
Tapi saran ustad foxtrot, perceraian haruslah sebaik-baiknya dijauhi, bukan dibuat-buat masalah. Percerain itu dibenci Tuhan. Kalo bisa sih, jangan sampai perkawinan dipisahkan oleh palu hakim, lebih baik jika perkawinan dipisahkan oleh liang lahat.
Mungkin penjelasan itu yang bisa kami berikan, semoga dapat bermanfaat ya ….
Hadjar