Halo bestie, by the way udah masuk bulan Juni nih, iyaa beneran, lho. Satu semester di tahun 2022 telah berlalu dan kalian masih pada jomblo (eh maap).
Ngomongin bulan Juni nih, kalian pada tau nggak sih, bulan Juni itu dikenal sebagai bulan apa? Betul, bulan Juni adalah bulan sebelum Juli. Hahaha, bercanda.
Mungkin sebagian besar dari kalian bakal menjawab “Juni adalah bulan lahirnya Pancasila.” Yups, betul juga sih. Namun, jika kita melirik sedikit ke isu skala global, ada ‘perayaan’ bagi golongan tertentu, lho! Ternyata pada bulan Juni, golongan lesbian, gay, biseksual dan transgender yang selanjutnya disingkat LGBT merayakan hari yang disebut “Pride month.” (Buset, apaan tuh?)
Jadi singkatnya, pride month adalah momen bersuka-cita kelompok LGBT. Khusus pada bulan ini, mereka (kelompok LGBT di seluruh dunia) merayakannya sebagai momen berekspresi. Seperti mengadakan pawai, simposium, parade dan lokakarya. Kalian udah pada tau kan, kalo LGBT itu dikenal memiliki orientasi seks menyimpang.
“Okei bestie, so what? Do I need to worry? ‘Bout their existence? Jumlah mereka kan, ga banyak-banyak amat, apalagi di Indonesia!”
But, open your eyes. Kelompok ini sudah ada di mana-mana, bahkan di Indonesia! Beneran dah, kalo bicara soal data populasi LGBT di Indonesia, sebenarnya belum diketahui secara pasti berapa jumlah mereka (ini sih, kata Kemen PPA RI tahun 2015). Namun kita bisa ‘menaksir’ eksistensi mereka melalui Laporan Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI tahun 2017, yang menyebutkan pada tahun 2016 terdapat 13.063 kasus seks sesama laki-laki (pengidap HIV/AIDS). (Itu baru yang gay bestie, belum LGBT lainnya )
BACA JUGA: AKIBAT CINTA KELEWAT BATAS
Bertamengkan kebebasan berpendapat dan Hak Asasi Manusia, kelompok LGBT di seluruh dunia (tak terkecuali di Indonesia) ‘mendesak’ agar keberadaan mereka diakui dengan menormalisasikan perilaku menyimpangnya, salah satunya adalah mengesahkan perkawinan sesama jenis.
Lalu bagaimanakah regulasi positif Indonesia menyikapinya? Okei, check this out !
”Ubi societas ibi ius.”
Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Seperti itulah ungkapan Marcus Tullius Cicero, seorang filsuf berkebangsaan Italia yang lahir jauh sebelum adanya Gen-Z, si paling open minded sejak lahir. Simpelnya, di mana pun kita berada, selagi ada masyarakat, pasti di sana ada regulasi alias peraturan.
Regulasi wajib ditaati seluruh perintahnya dan dijauhi segala larangannya (jangan nurutnya sama ayang doang). Itulah makanya Ketentuan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, menyatakan bahwa negara kita adalah negara hukum. Which is why warga negaranya wajib tunduk kepada hukum.
Alright, let’s get back to the question. Apakah kelompok LGBT dapat melakukan perkawinan sesama jenis di Indonesia? Hell no.
Coba bestieku yang open minded buka UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kalo udah, lihat Pasal 1.
Di pasal itu dijelaskan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.” ( Ingat ya sobat, antara seorang pria (P-R-I-A) dengan seorang wanita (W-A-N-I-T-A), mon maaf caps lock jebol).
Gak cuma itu, dalam Pasal 2 UU Perkawinan di Ayat (1) menegaskan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Nah loh, gimana mau sah, kalo gak sesuai dengan hukum agama? Jadi jangan coba-coba melakukan perkawinan sesama jenis di Indonesia. Ga akan bisa. Ini serius.
“Oke, kalo mereka kawinnya di luar negeri, terus balik ke Indonesia. Itu gimana akibat hukumnya?”
Singkatnya, selagi yang bersangkutan adalah Warga Negara Indonesia, sadly perkawinan mereka tidak bakal diakui oleh negara! Memang benar, mereka kawin di luar wilayah yurisdiksi Indonesia, jadi mereka tunduk pada hukum negara tempat mereka melaksanakan perkawinan.
Tapi jelas dong, secara formil dan materil mereka tidak memenuhi syarat.
Lah, kok iso?
Ya, karena berdasarkan UU a quo, Pasal 2 Ayat (2) menegaskan kalau WNI tidak boleh melanggar ketentuan perkawinan di Indonesia.
“Lalu, jika ada WNI yang tetap ngotot kebelet kawin di luar negeri, tapi melanggar ketentuan Undang-undang Perkawinan Indonesia, gimana akibat hukumnya. Apakah bisa pulang dengan status perkawinannya diakui?”
Negara tidak melarang mereka pulang ke tanah air, itu hak mereka sebagai warga negara. Tapi perkawinan yang bersangkutan tidak dapat diakui sah oleh negara Indonesia. This happened because:
- Yang bersangkutan melanggar ketentuan UU perkawinan yang berlaku di Indonesia.
- Yang bersangkutan tidak dapat mencatatkan perkawinannya di Kantor Urusan Agama (Bagi yang beragama Islam) atau Catatan Sipil (Bagi yang beragama lain). Obviously, pada Pasal 2 Ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 menegaskan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.“
“Biasa aja ah, yang penting kan bisa hidup berdampingan. Ga usah dicatat-catat ga apa kali, ribet banget jadi orang.“
Perlu diingat ya bestie, pada hakikatnya negara hanya ingin melindungi hak setiap warga negaranya. Jika sampai perkawinan ga diakui negara, akibatnya fatal, loh! Salah satu akibatnya adalah negara tidak bisa memberi perlindungan hukum terkait perkara atau sengketa akibat perkawinan. Misalnya kalau sampai terjadi perebutan harta bersama gitu? Xixixixi.