Per 5 Oktober 2020 kemarin, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang ditolak oleh masyarakat, terutama kaum pekerja, resmi disahkan menjadi undang-undang. Banyak pihak menilai pengesahaan RUU Cipta Kerja menjadi UU tersebut merupakan bentuk paling jelas dari keberpihakan pemerintah dan wakil rakyat yang, katanya, terhormat itu kepada investor, pengusaha atau apapun sebutannya, pokoknya bukan kaum buruh atau pekerja.
Tuduhan tersebut makin kentara karena viral video anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Irwan Fecho, yang sedang menyampaikan pandangannya terkait RUU Cipta Kerja, tetapi justru mic yang digunakan olehnya diduga dimatikan oleh Puan Maharani (iya, yang Ketua DPR dan cucunya Bung Karno itu, tuh). Alhasil, publik menilai bahwa UU Cipta Kerja memang sudah tidak beres sejak dalam kandungan, dan karena itu wajib ditolak, hahaha.
Hanya saja, gara-gara Pak Presiden dalam konferensi pers pada Jum’at, 9 Oktober 2020 kemarin meminta para pihak yang menolak UU Cipta Kerja untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), terdapat pihak-pihak yang menanggapi konferensi pers tersebut. Salah duanya adalah Haris Azhar, Direktur Eksekutif Lokataru, dan Nadirsyah Hosen, dosen dari Fakultas Hukum Monash University.
Kalau Haris Azhar meminta masyarakat untuk tidak terlalu berharap banyak ke MK gara-gara hakim MK dipilih oleh Presiden dan DPR, Gus Nadir menjelaskan bahwa dalam mengajukan judicial review suatu UU ke MK, maka harus jelas pasal yang dipermasalahkan. Lebih jauh, Gus Nadir juga mengingatkan untuk hati-hati dan spesifik menyusun argumen dalam mengajukan judicial review.
Sebenarnya sih tidak ada yang salah dengan argumen Gus Nadir. Hanya saja, argumen Gus Nadir lebih menitikberatkan kepada judicial review dalam hal uji materi, yang memang terkait dengan substansi dari suatu peraturan perundang-undangan. Padahal, ada satu lagi jenis judicial review yang jarang dikenal oleh kalangan luas.
Apa itu? Salah satu jenis judicial review itu adalah uji formil. Gampangnya, apabila judicial review uji materi dilakukan terhadap substansi peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), maka judicial review uji formil dilakukan terhadap proses pembentukan undang-undang yang diduga tidak memenuhi ketentuan dalam UUD NRI 1945.
Ketentuan uji formil tersebut terdapat dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), dan meskipun UU MK sudah diubah tiga kali dengan UU Nomor 8 Tahun 2011, UU Nomor 4 Tahun 2014 dan UU Nomor 7 Tahun 2020, ketentuan mengenai uji formil masih dijamin keberadaannya, sehingga uji formil dapat menjadi salah satu alternatif untuk menggugat UU Cipta Kerja yang menyebalkan itu.
Uji formil dalam judicial review nantinya akan diuji dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan peraturan-peraturan terkait lainnya. Alasannya adalah meskipun uji materiil maupun uji formil di MK dilakukan dengan cara menguji UU terhadap UUD NRI 1945, Pasal 22A UUD NRI 1945 menyatakan bahwa ketentuan tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang, sehingga berdasar ketentuan Pasal 22A tersebut, uji formil harus memperhatikan ketentuan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.
Kerumitan Uji Formil
Hanya saja, apakah semudah itu mengajukan uji formil terhadap UU Cipta Kerja? Nah, itu dia masalahnya. Jelas tidak mudah. Padahal sesuai dengan wejangan Gus Nadir tadi, kita harus hati-hati dan spesifik menyusun argumen dalam mengajukan judicial review. Mengapa bisa demikian?
BACA JUGA: MERAYAKAN #MOSITIDAKPERCAYA
Saya rasa sudah banyak yang mengetahui bahwa pembahasan UU Cipta Kerja secepat Valentino Rossi dalam berkendara: tidak ada satu tahun, padahal merevisi 79 undang-undang. Lha wong saya mengerjakan skripsi dengan modal review 3 (tiga) peraturan saja skripsi saya kelarnya lama, lha ini selain review masih mengubah, menambah, dan bahkan mengurangi ketentuan dalam 79 undang-undang tersebut. Sungguh, saya segan dengan kinerja DPR yang sudah seperti Bandung Bondowoso tersebut.
Karena hal itulah, apabila ingin mengajukan uji formil terhadap UU Cipta Kerja, maka harus memerhatikan Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, yang merupakan putusan uji formil pertama yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan itu, MK memberikan tafsir atas uji formil.
Salah satu tafsirnya adalah uji formil dapat dilakukan hanya dalam waktu 45 hari sejak UU yang akan diajukan uji formil diundangkan di Lembaran Negara. Artinya, apabila dalam waktu 45 hari tidak ada pengajuan uji formil terhadap UU yang bersangkutan, maka uji formil tak bisa diajukan.
Alasan pembatasan 45 hari tersebut sebenarnya cukup masuk akal, karena berkaca pada putusan tersebut, meskipun suatu UU dinyatakan cacat secara procedural oleh MK, tetapi karena sudah ada beberapa peraturan perundang-undangan terkait yang merupakan penerapan UU, sehingga haruslah tetap dinyatakan berlaku meski cacat procedural. Karena dianggap sudah menimbulkan akibat hukum dan demi terpenuhinya asas kemanfaatan hukum.
BACA JUGA: MEMBANDINGKAN KERUGIAN AKIBAT DEMO RUSUH DENGAN KORUPSI DI SEKTOR SDA
Itu artinya, apabila ingin mengajukan uji formil terhadap UU Cipta Kerja, maka harus diajukan setidaknya dalam waktu 45 hari setelah UU Cipta Kerja diundangkan. Selain itu, harus juga dipastikan bahwa belum ada peraturan perundang-undangan lainnya yang dibuat untuk menerapkan ketentuan dalam UU Cipta Kerja sehingga UU Cipta Kerja belum menimbulkan akibat hukum.
Sialnya, salah satu poin Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa cacat prosedur dalam pembentukan UU harus dimaknai sebagai koreksi atas proses pembentukan UU tersebut.
So, sudah sangat jelas bagaimana sebenarnya uji formil itu di MK. Meskipun kita mengajukan uji formil terhadap UU Cipta Kerja, maka hampir pasti MK hanya melakukan koreksi terhadap proses pembentukan UU Cipta Kerja. Akan tetapi, meski MK menyatakan ada cacat procedural, selama dipandang baik dan bermanfaat secara substansi, maka UU Cipta Kerja tidak akan dibatalkan oleh hakim MK.
Pertanyaannya, siapakah yang berhak menilai UU Cipta Kerja secara substansi bermanfaat? Presiden dan DPR, selaku lembaga yang menunjuk enam dari sembilan hakim MK bilang kalau UU Cipta Kerja bermanfaat, lho. Jadi wajar saja kalau Haris Azhar sampai pesimis apabila UU Cipta Kerja diajukan judicial review ke MK.
Gimana? Pusing, to? Nah, kalau begitu, yakin mau mengajukan uji formil terhadap UU Cipta Kerja?