Halo, gaes. Uda pada tau kan kalo Selasa malem, tanggal 31 Maret ini, pemerintah akhirnya menetapkan kedaruratan kesehatan masyarakat terhadap wabah Corona Virus Disease 2019 alias COVID-19? Penetapan itu diatur dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Nah, penetapan itu sekaligus dibarengi dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Dengan penetapan melalui Keppres dan pengundangan PP tersebut, seenggaknya pemerintah mulai menunjukkan arah kebijakannya untuk menghadapi pageblug corona ini. Yah, meski bisa dibilang agak telat, sih.
Oke, mari kita bedah PP tersebut. Ketika pada akhirnya presiden mengumumkan penerapan Pembatasan Sosial Bersala Besar itu malah banyak yang protes, karena di UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pemerintah ‘cuma’ wajib ngasih makan kalo pemerintah menerapkan Karantina Wilayah. Nah, yang ditakutin kalo Pembatasan Sosial Berskala Besar itu diterapkan, orang-orang yang secara ekonomi lemah, khususon orang-orang yang berpenghasilan harian itu nantinya pada gak bisa makan, padahal mereka bukan pohon yang tinggal berfotosintesis auto bisa menghasilkan makanan. Inget, kewajiban pemerintah ngasih makan berdasar UU Kekarantinaan Kesehatan cuma berlaku kalau pemerintah memutuskan melakukan karantina wilayah.
Setelah PP itu diundangkan, terdapat ketentuan soal perkara pangan ini, gaes. Ketentuan itu diatur di Pasal 4 Ayat (3), katanya Pembatasan Sosial Berskala Besar dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dasar penduduk. Kebutuhan dasar penduduk sendiri kalo dilihat di Penjelasan Pasal 4 Ayat (3) seenggaknya terdiri dari kebutuhan pelayanan kesehatan, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya.
BACA JUGA: CURKUM #40 ATURAN HUKUM POLRI MEMBUBARKAN KERUMUNAN
Adapun untuk Pembatasan Sosial Berskala Besar sendiri, berdasar Pasal 4 Ayat (1) sedikitnya meliputi 3 (tiga) jenis, yaitu: peliburan sekolah atau tempat kerja; pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Pasal 4 Ayat (3) itu berlaku kalo Pembatasan Sosial Berskala Besar yang dilakukan berupa pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Cuma gini, gaes. Sebelum pada nganggep kalo PP ini ngasih jaminan ke rakyat semacam ngasih makanan ke rakyatnya selama pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar, saran saya duduk dulu dan banyakin berdoa aja. Soalnya kalo dilihat dari pasalnya, ketentuan itu justru menimbulkan pertanyaan. Lho, kok bisa? Udah, jangan tanya mulu, baca dulu sampai selesai.
Coba deh baca ketentuan Pasal 4 Ayat (3) PP itu. Nih ya, aku kutipin.
“Pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud Ayat (1) huruf c dilakukan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk.”
Coba deh perhatiin, ada gak kata ‘wajib’ di situ? Gak ada, kan? Kalo kayak gitu, apa dong jaminannya pemerintah memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk? Kan malah gak jelas juga. Lagian, apa coba bentuk dari ‘memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk’? Kalo bentuk perhatiannya cuma modal sms berisi kalimat, “Uda makan belum? Jaga kesehatan yuk, biar imun gak turun. Dari pada nanti kena corona, lho,” maaf aja, para jomblo di luar sana juga banyak yang lebih jago. Termasuk saya, upps.
Selain itu, apa sih maksud dari kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya? Mohon maaf aja, nih. Kalo mau realistis, sekarang kebutuhan hidup gak cuma melulu perkara sandang, pangan, dan papan. Internet juga uda jadi kebutuhan hidup sehari-hari, lho. Itu baru satu contoh. Apalagi kebutuhan hidup sehari-hari tiap orang juga beda-beda. Kalo ngaturnya gak jelas gitu pembatasannya, yang ada bakal terjadi kondisi “yang di sini merasa kebutuhannya uda tercukupi, yang di sono merasa kebutuhannya masih kurang,” padahal negara harus memperlakukan setiap penduduknya dengan adil. Ya, gak?
Sekarang, mari kita ngomongin yang lainnya, yaitu perkara pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Dilihat dari Pasal 3 PP-nya, ada dua kriteria yang harus dipenuhi, yaitu: jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah; dan terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.
BACA JUGA: PENTINGNYA SOCIAL DISTANCING
Nah, masalahnya adalah kalo menurut Pasal 6 PP itu, pemerintah daerah gak boleh memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Mereka cuma boleh ngusulin ke Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kesehatan. Kalo usul ditindaklanjuti sih gak masalah. Yang jadi masalah itu kalo usul gak ditindaklanjuti, tapi sebenarnya suatu daerah uda memenuhi dua kriteria pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Kan repot. Noh contohnya Jakarta.
Ya sebenernya kalo mau merujuk Pasal 11 Ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan, emang cuma pemerintah pusat yang boleh menyelenggarakan Kekarantinaan Kesehatan, di mana Pembatasan Sosial Berskala Besar termasuk salah satu jenisnya. Cuma terkadang pemerintah pusat juga terlalu lamban kerjanya. Buktinya tuh, sampai ada pemerintah daerah yang ngide buat ngadain local lockdown kayak Kota Tegal.
Yang terakhir adalah terkait dengan judul dan materi PP yang khusus digunakan untuk menangani wabah corona. Itu artinya kalo misal suatu saat Indonesia mengalami wabah kayak gini lagi, ya pemerintah pusat kudu bikin PP baru. Apa gak cukup nih, wabah corona jadi pembelajaran buat pemerintah pusat buat gak nyepelein wabah dan menyiapkan segala hal yang diperlukan sebelum wabah terjadi, salah satunya dengan menyiapkan peraturan pelaksana UU Kekarantinaan Kesehatan?
Baik, kira-kira segitu aja, deh. Yang jelas menurut saya pribadi masih banyak ketidakjelasan dalam PP ini sebagaimana uda saya jelasin panjang kali lebar di atas. Semoga aja teknis pelaksanaannya lebih jelas ketimbang PP ini. Eh, tapi kalo dasar hukumnya aja gak jelas, gimana pelaksanaannya?