“Mau tanya dong, ada gak sih, ancaman pidana untuk orang yang menyebarkan kabar kalau seseorang kena Covid-19?”
Sayup-sayup saya mendengar pertanyaan itu di kantor pada Jum’at sore. Entah siapa yang menanyakan dan siapa yang kemudian menjawabnya, saya tidak memperhatikan lagi karena suara lagu yang saya dengar melalui headset lebih mendominasi pendengaran saya.
Pagi ini, saya mendengar berita Habib Rizieq Shihab (HRS) menolak hasil tes swab yang dijalaninya di RS UMMI Bogor dipublikasikan. Pengumuman itu dibuat dengan pernyataan tertulis yang ditandatangani HRS sendiri. Satgas Covid-19 pun menghormati keputusan HRS tersebut, tapi tetap meminta RS UMMI Bogor untuk melaporkan hasil tes swab HRS.
Lebih lanjut, Satgas Covid-19 Kota Bogor pun sampai melaporkan Direktur Utama RS UMMI Bogor ke kepolisian dengan alasan ‘menghalang-halangi upaya dalam menangani wabah dan penyakit menular.’ Mengutip dari beberapa media, Satgas Covid-19 Kota Bogor menyatakan bahwa hal yang dilakukan oleh RS UMMI Bogor merupakan bentuk pelanggaran terhadap Peraturan Walikota (Perwal) Kota Bogor Nomor 107 Tahun 2020 tentang Sanksi Administratif Pelanggaran Tata Tertib Kesehatan Penanggulangan Covid-19 Di Kota Bogor.
PRIVASI PASIEN
Sebenarnya, tindakan HRS membuat pernyataan tertulis bahwa dirinya tidak ingin hasil tes swab dirinya dipublikasikan merupakan langkah yang tepat secara hukum. Privasi seseorang berupa riwayat kesehatan merupakan privasi yang dilindungi oleh hukum. Tidak tanggung-tanggung, ada sedikitnya 3 (tiga) ketentuan yang mengatur hal tersebut.
BACA JUGA: PERLINDUNGAN DATA DI INDONESIA
Ketentuan pertama diatur dalam Pasal 17 huruf h angka 2 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Yang kedua, ketentuan privasi tersebut diatur dalam Pasal 57 Ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Terakhir, Pasal 32 huruf i UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit juga menyatakan bahwa pasien berhak atas privasi mengenai riwayat kesehatannya.
Hanya saja, terdapat pengecualian terhadap ketentuan-ketentuan tersebut. Pengecualian tersebut dapat berupa izin dari pasien yang bersangkutan, perintah undang-undang, perintah pengadilan, kepentingan masyarakat atau kepentingan pasien sendiri.
DAPATKAH RS UMMI BOGOR DIKENAI SANKSI?
Dengan perlindungan privasi sedemikian ketat, maka pertanyaan selanjutnya adalah dapatkah RS UMMI Bogor dikenai sanksi, mengingat HRS tidak menginginkan adanya pengungkapan informasi riwayat kesehatannya?
Apabila anda orang yang kontra dengan HRS, maka anda akan menyatakan bahwa RS UMMI Bogor dapat dikenai sanksi. Merujuk pada pernyataan Satgas Covid-19 Kota Bogor bahwa RS Ummi Bogor melanggar Perwal Kota Bogor Nomor 107 Tahun 2020, maka bisa saja RS Ummi Bogor dikenai sanksi administratif, meskipun tidak ada pasal yang menyatakan dengan jelas bahwa rumah sakit dikenai kewajiban melaporkan riwayat kesehatan pasiennya yang melakukan tes swab di rumah sakit tersebut.
Kalau tidak percaya, cek saja Pasal 6 Perwal Kota Bogor Nomor 107 Tahun 2020 tersebut dan anda tidak akan menemukan kewajiban bagi rumah sakit melaporkan hasil tes swab pasiennya. Saya menduga bahwa Pasal 6 huruf k Perwal yang digunakan untuk memberikan sanksi pada RS UMMI Bogor, karena Pasal 6 huruf k Perwal tersebut menyatakan bahwa salah satu kriteria pelanggaran adalah “Pelanggaran lain yang berpotensi mengganggu, menghambat, menggagalkan upaya pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dan menangani penyebaran dan penularan Covid-19.”
Akan tetapi, apabila anda merupakan orang yang pro dengan HRS, maka anda akan menyatakan bahwa RS UMMI Bogor tidak dapat dikenai sanksi sebagaimana yang dikatakan oleh Satgas Covid-19 Kota Bogor. Setidaknya terdapat dua alasan untuk membantah pernyataan Satgas Covid-19 Kota Bogor tersebut.
BACA JUGA: DIBALIK HEBOHNYA PENURUNAN BALIHO, ADA APA?
Pertama adalah pemberian sanksi administratif dengan menggunakan Perwal Kota Bogor Nomor 107 Tahun 2020, tepatnya berdasar Pasal 6 huruf k Perwal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah setempat, dalam hal ini pemerintah Kota Bogor, justru bertindak sewenang-wenang dengan membuat aturan yang ketentuannya sangat karet tersebut.
Lha, gimana mau gak disebut karet? Yang menentukan, “berpotensi mengganggu, menghambat, menggagalkan upaya pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dan menangani penyebaran dan penularan Covid-19” itu siapa sih, kalau bukan pemerintah Kota Bogor sendiri? Apa coba batasannya?
Yang kedua, HRS sudah memberikan pernyataan bahwa dirinya tidak bersedia riwayat kesehatannya dipublikasikan. Itu berarti pihak rumah sakit wajib melindungi informasi riwayat kesehatan HRS dari pihak manapun, termasuk pihak Satgas Covid-19, sebagaimana diatur Pasal 38 Ayat (1) UU Rumah Sakit.
Selain itu, ada sanksi pidana terkait pihak-pihak yang membocorkan riwayat kesehatan seseorang, sebagaimana diatur di Pasal 54 Ayat (1) UU Keterbukaan Informasi Publik. Ketentuan ini berlaku, apabila pasien tidak bersedia informasi riwayat kesehatannya diungkapkan dan HRS sudah menyatakan bahwa dirinya tidak bersedia informasi riwayat kesehatannya diungkapkan. Jadi ya kalau RS UMMI Bogor mengungkapkan informasi riwayat kesehatan HRS, justru mereka dapat dikenai sanksi pidana berdasar Pasal 54 Ayat (1) UU Keterbukaan Informasi Publik tersebut.
Yah, begitulah kira-kira. Mau anda pro atau kontra dengan HRS, kita semua tahu yang sekarang pusing adalah RS UMMI Bogor, yang seolah dipaksa makan buah simalakama gara-gara HRS berobat di sana. Yang sabar, yaaaa.