Tidak seperti perayaan tahun baru lalu, Desember kali ini Aku kesusahan mencari bapak tua penjual terompet dengan kaos oblong lusuh yang biasa mangkal di perempatan Jalan Singkil. Apa mungkin penyebabnya sekarang orang lebih asik menyuarakan isu politik, ketimbang suara tetetoet yang keluar dari terompet kertas penanda tahun baru segera tiba.
Sudah hampir satu jam lebih Aku mencari penjual terompet tahun baru bersama keponakanku dan hasilnya tidak ketemu. Pencarian dimulai dari perempatan jalan Singkil, kemudian ke arah Selatan menuju Pasar Banjaran dan terakhir kami mencari di Alun-Alun Slawi yang kini namanya menjadi Alun-Alun Hanggawana. Namun apesnya tidak ketemu juga.
Dari pencarian yang sia-sia itu akhirnya Aku mengajak keponakanku yang kini duduk di kelas tiga sekolah dasar, makan siomay dan es teh yang ada di Alun-alun.
Setelah siomay dan es teh habis kami santap, barulah kami pulang melewati jalan yang berbeda dari jalan kami berangkat tadi.
Laju sepeda motor honda win ku telah sepuluh menit meninggalkan Alun-alun. Tepat di depan Gor Trisanja akhirnya Aku menemukan bapak penjual terompet tahun baru yang lagi duduk bersandar di bawah pohon mahoni sambil berkipas-kipas memakai topi lusuhnya.
Langsung saja aku menyapanya, hendak membeli satu terompet buat keponakanku itu. Seraya bapak tua berdiri dari sandarannya, Aku langsung menyahut “Terompetnya berapaan pak ?”
“Ini harganya tiga puluh ribu Mas,” sembari Pak Tua itu menata kembali terompet yang digantung pada pikulan supaya terlihat menarik pembeli yang lain.
“Dua puluh empat ribu, boleh nggak Pak? Kalau boleh saya beli,” ucapku sambil berharap mendapat diskon harga.
“Aduh Mas, belum bisa. Ini saja seharian baru laku dua Mas. Njenengan pembeli ketiga, belum bisa Mas. Kalo jadi dua puluh empat ribu,” balasnya sembari Pak Tua mengelap keringatnya memakai handuk good morning yang dikalungkan di leher.
“Yo wes dek, kamu suka yang warna apa? Sana, pilih sendiri terompetnya. Sama ini Pak, tiga puluh ribu ya, uangnya.” Terangku kepada ponakan sembari membayar terompet itu.
***
Dalam perjalanan pulang ke rumah, lantas aku mbatin bertanya kepada diriku sendiri, kenapa sangat tumben banget, menjelang tahun baru ini penjual terompet tidak banyak seperti biasanya. Apa karena tahun ini tahun politik, jadi menyuarakan isu politik dianggap lebih penting ketimbang menyuarakan bunyi tetetoet penanda bergantinya tahun.
Padahal isu politik itu syarat akan kegaduhan apalagi jika isu yang diteriakkan sudah masuk dalam kategori hoax atau kabar palsu alias bohong yang tentunya sangat merugikan bagi orang yang jadi korban termakan isu hoax itu.
Faktanya juga sudah ada kasus-kasus yang menyeret tokoh publik kita gara-gara isu hoax. Aturan hukumnya pun sangat jelas bisa terkena Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik atau jika disebarkan melalui media internet bisa melanggar Pasal 28 Ayat (1) UU ITE, dengan ketentuan pidana penjara maksimal enam tahun dan denda maksimal 1 miliar rupiah menurut Pasal 45 Ayat (1) UU ITE.
Batin saya, “Apa orang-orang tidak kapok, terus menerus saling membunyikan isu politik apalagi kalo ternyata beritanya bohong.” Masa iya sih, terompet tahun baru ini akan berubah menjadi terompet isu politik.
Dan nanti pas menjelang jam 00.00 waktu pergantian tahun, orang-orang akan ramai handphonenya berbunyi bukan karena pesan ucapan selamat tahun baru, tapi notifikasi broadcast yang isinya hoax menjelekkan calon tokoh pemimpin kita. Dengan ujung kalimatnya, “Sebarkan pesan ini demi keselamatan bangsa dan negara.”
Apalagi di media sosial, yang biasanya ramai update foto dan story kembang api bersama suara khas terompet. Gegara tahun ini tahun politik akan berubah menjadi saling posting berita tidak jelas berjudul “4 Fakta tentang si Anu yang ditolak kedatangannya di Pantura,” Kalo nggak berita yang tajuknya “Ketahuilah 5 Fakta ternyata si Ini Keturunan itu.”
Kalo memang hal ini benar terjadinya di tahun baru nanti dan tidak ada lagi suara terompet, adanya suara isu saling serang, tidak bisa Aku bayangkan kondisi politik masyarakat kita nampaknya sudah pada sakit semua gara-gara politik praktis ini.
***
Sesampainya di rumah Aku dikagetkan dengan suara teriakan Mbakku yang merupakan ibu dari keponakanku, ternyata sudah menunggu kami pulang duduk di kursi depan garasi rumah.
“Heh, anakku mana! Tadi pamit beli terompet sama kamu. Lah kok, kamu pulang sendirian.”
Makjegagik! Belum sempat aku menjawab pertanyaan dari Mbakku, seraya aku menengok ke jok motor belakang rupanya keponakanku tidak ada. Sembari termenung sebentar, rupanya keponakanku ketinggalan di depan Gor Trisanja bersama Bapak tua penjual terompet tahun baru.