Tidak ada yang menyangka bahwa Pahinggar Indrawan benar-benar merealisasikan apa yang dia ucapkan di status Facebook miliknya. Sesaat sebelum melakukan aksinya, dalam video yang dia unggah, dia menyatakan bahwa sebetulnya dia tidak berani melakukan aksinya tersebut. Akan tetapi, para viewers justru menantangnya untuk segera melakukan aksinya.
Hingga akhirnya Pahinggar Indrawan benar-benar melakukannya. Dia menggantung dirinya dengan seutas tali hingga meregang nyawa. Peristiwa itu ditayangkan secara live di akun Facebook miliknya, dan segera viral karena banyak netizen yang menyebarkannya. Gara-gara itu, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) sampai mengeluarkan himbauan agar tidak menyebarkan rekaman bunuh diri tersebut karena “melanggar UU ITE dan nilai kemanusiaan.”
***
Sejak tahun 2003 silam, setiap tahunnya dunia memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia (World Suicide Prevention Day)pada tanggal 10 September. Hari yang dicanangkan oleh International Association for Suicide Prevention atau IASP dan bekerjasama dengan World Health Organization alias WHO (iya, organisasi yang akhir-akhir ini dituduh sebagai biang keladi pandemi virus Covid-19 berdasar teori konspirasi itu, tuh) secara khusus bertujuan untuk meningkatkan kesadaran bersama terkait bunuh diri dan melakukan berbagai upaya untuk mencegah seseorang melakukan bunuh diri.
Selain itu, peringatan tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental. Mengapa kesehatan mental? Kalau saya boleh menebak, hal itu disebabkan kenyataan bahwa kesehatan mental tidaklah terlihat secara kasat mata, sehingga dari luar penderita gangguan mental dapat terlihat baik-baik saja. Sialnya, karena tidak terlihat itulah, maka kesehatan sering kali dimaknai secara sempit sebatas kesehatan fisik saja.
BACA JUGA: BULLYING ITU JAHAT
Kalau tidak percaya, cobalah ambil gawai anda dan googling video rekaman Chester Bennington yang direkam 36 jam sebelum vokalis Linkin Park itu meninggal dunia akibat bunuh diri. Rekaman video yang diunggah oleh istri Chester, Talinda Bennington justru menampilkan Chester dalam kondisi tertawa dan sedang gojek kere bersama dua temannya. Tidak pernah ada yang menyangka bahwa 36 jam kemudian, Chester yang dalam video tampak sumringah justru ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa.
***
Berbeda nasib dengan Chester Bennington yang kematiannya ditangisi oleh jutaan manusia di bumi ini, Pahinggar Indrawan justru masih mendapat celaan dari beberapa netizen, bahkan beberapa jam setelah tayangan live bunuh diri tersebut berakhir. Ada yang menyebut dirinya bodoh karena bunuh diri, tak sedikit pula yang menyebut dirinya tidak beriman dan pasti akan masuk neraka karena memutuskan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Sampai sini, saya tertegun. Sebelum Pahinggar Indrawan melakukan aksinya, banyak netizen yang menghujat dengan menyebut dirinya pengecut apabila tidak melakukan aksinya. Sedangkan setelah dirinya melakukan aksi bunuh diri, masih saja ada yang mencacinya bahkan mengatakan bahwa korban akan masuk neraka karena perbuatannya. Apakah dunia maya memang sebebas itu sehingga jari bisa bebas saja mengetik kata-kata tanpa mempedulikan perasaan orang lain?
Sialnya, meskipun Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengancam setiap orang yang menghasut atau memberikan fasilitas kepada seseorang untuk melakukan bunuh diri, saya tidak bisa menemukan satupun putusan yang pernah dikeluarkan oleh pengadilan untuk menghukum seseorang berdasar Pasal 345 KUHP. Entahlah, mungkin hingga saat ini memang tidak ada kasusnya.
Kasus bunuh diri Pahinggar Indrawan pun demikian. Kendati netizen yang berkomentar senyinyir Bu Tedjo tersebut tidak sedikit, nyatanya sampai saat ini tidak ada satupun dari mereka yang terpaksa berurusan dengan penegak hukum dengan tuduhan melanggar ketentuan Pasal 345 KUHP. Koreksi saya jika saya salah.
***
Menyitir dari laman Geo Times, berdasar data WHO pada 2018 menunjukkan angka 3,4 per 100.000 penduduk. Meskipun angka ini relatif sedikit dibanding Korea Selatan (26,9) dan Jepang (18,5), sayangnya hukum di Indonesia masih teramat minim untuk meminimalisir terjadinya bunuh diri di Indonesia. Hanya ada Pasal 344 KUHP yang melarang seseorang untuk menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan tersebut dan Pasal 345 KUHP yang melarang seseorang mendorong atau memfasilitasi seseorang untuk bunuh diri.
Itu artinya, hukum yang ada masih ditujukan terhadap orang-orang di sekitar korban bunuh diri atau calon korban bunuh diri. Tidak ada aturan hukum yang menyasar korban bunuh diri atau calon korban bunuh diri itu sendiri. Seperti di Jepang misalnya, larangan terhadap percobaan bunuh diri. Jika gagal melakukan bunuh diri, maka pelaku akan dikirim ke penjara, lalu jika percobaan bunuh diri sukses serta dilakukan di area publik, maka keluarga pelaku dapat didenda oleh otoritas setempat.
BACA JUGA: SAKIT JIWA, BISAKAH DIPIDANA?
Hanya saja, alih-alih mencoba menghentikan warganya untuk melakukan bunuh diri, terdapat negara yang justru ‘memfasilitasi’ orang-orang yang ingin bunuh diri dengan legal melalui permohonan sebagaimana halnya Belgia. Apabila permohonan dikabulkan, maka pemohon tersebut akan difasilitasi dengan suntikan mati, sehingga prosesnya sama dengan orang yang terkena hukuman mati, bedanya pemohon dengan sukarela meminta agar hidupnya segera diakhiri oleh negara.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebagaimana Indonesia mengakui bahwa hak untuk hidup merupakan hak yang termasuk dalam non derogable rights atau hak yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun, maka kecil kemungkinan Indonesia akan menjadi seperti Belgia. Akan tetapi, Indonesia juga tidak menerapkan kebijakan ala Jepang dan masih mempertahankan hukum warisan kolonial untuk urusan bunuh diri, tanpa berorientasi pada korban bunuh diri atau calon korban bunuh diri.
Jadi, mau ke mana Indonesia? Jepang? Atau Belgia?
***
Sebagai penutup, saya akan mengakhiri tulisan ini dengan pesan singkat di bawah ini.
Selamat merayakan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia. Teruntuk kamu yang membaca tulisan ini, percayalah kamu adalah orang yang berharga dan kamu berhak untuk bahagia. Bunuh diri bukanlah solusi bagi masalahmu. Jangan sungkan untuk mencari pertolongan, karena kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Tetap semangat!