Bulan Mei kemarin, di Senayan lagi pada ribut mengenai Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Selidik punya selidik, ribut-ribut itu dikarenakan tidak dimasukkannya Ketetapan MPRS (TAP MPRS) Nomor XXV Tahun 1966 sebagai dasar hukum perancangan RUU HIP. Judulnya itu TAP MPRS panjang banget, tapi pokoknya terkait larangan komunisme, deh.
Nah, gara-gara TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 yang gak dimasukin sebagai dasar hukum, akhirnya ada fraksi yang tidak terima dan menyatakan tidak mendukung RUU HIP itu. Sedangkan fraksi yang setuju TAP MPRS gak dimasukkannya di bagian dasar hukum beralasan kalau tujuan RUU HIP itu bukan untuk melarang komunisme, tapi membumikan nilai-nilai Pancasila.
Okelah, mari lupakan perdebatan antar fraksi di DPR tersebut. Toh, ini masih RUU. Biarlah itu jadi urusan mereka. Saya lebih tertarik membahas mengenai TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 itu. Kenapa sih, TAP MPRS ini penting banget dimasukkan sebagai dasar hukum perancangan RUU HIP?
Kalau mengutip pendapat Pak Jazuli mengenai sikap partainya yang menolak RUU HIP karena tidak memasukkan TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 itu, jawabannya sih sangat Orde Baru: TAP MPRS harus dimasukkan karena Komunisme bertentangan dengan Pancasila, Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan dalang Gerakan 30 September, masih ada bahaya laten Komunisme yang mengancam, gitu-gitulah. Kesimpulannya adalah Pancasila harus berani secara tegas menolak anasir-anasir yang mengancam keberadaan Pancasila itu sendiri. Wuih.
Cuma apakah keberadaan TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 itu masih relevan dengan kondisi sekarang ini? Nanti dulu. Coba deh baca Pasal 3 TAP MPRS itu. Di situ dijelasin kalau mempelajari komunisme, bahkan secara ilmiah sekalipun, dapat dilakukan secara terpimpin dengan syarat Pemerintah dan DPR harus membentuk peraturan perundang-undangan sebagai pengaman. Gak tau ‘pengaman’ apa yang dimaksud.
Dari situ saja sebenarnya TAP MPRS tersebut sudah bertentangan dengan Pasal 8 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang justru mengamanatkan kebebasan akademik yang seluas-luasnya. Masak ya, orang mau berpikir dan berpendapat, khususnya terkait PKI dan ontran-ontran tahun 1965 itu kudu diatur pakai undang-undang?
BACA JUGA: MAU DIBAWA KEMANA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (MPR)???
Baiklah, berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, TAP MPR merupakan peraturan yang kedudukannya secara hierarki lebih tinggi dari undang-undang. Akan tetapi, coba deh lihat Pasal 28 UUD NRI 1945. Di situ dijelasin kalau kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya diatur dengan undang-undang, dan Pasal 23 Ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sudah mengatur tentang hal tersebut.
Kalau dilihat dari peraturan-peraturan kiwari, pada akhirnya TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tersebut justru cuma mengacaukan peraturan perundang-undangan karena bikin semuanya jadi gak nyambung satu sama lain. Bukankah peraturan perundang-undangan yang baik itu secara hierarki dari atas sampai bawah gak bertentangan, ya?
Oh, bisa banget. Caranya yaitu dengan berharap pada MPR untuk mencabut TAP MPRS tersebut. Sebenarnya MPR sebagai lembaga yang mengeluarkan TAP MPRS itu dapat mencabut semua TAP MPR yang pernah dikeluarkan dan masih berlaku sampai sekarang, jadi gak cuma terhadap TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 doang.
Cuma apa ya yakin MPR bakalan mencabut TAP MPRS tersebut? Lha wong anggota MPR kan terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD, dan ada fraksi yang menyatakan menolak RUU HIP hanya gara-gara TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 gak dimasukin sebagai dasar hukum. Kayak gitu mau berharap ke MPR?
“Lalu gimana dong, kalau misal MPR gak mau mencabut TAP MPRS tersebut?”
Nah, ini yang jadi masalah. TAP MPRS (beserta TAP MPR lainnya) kan pada dasarnya merupakan produk hukum yang secara materiil seharusnya bisa dilakukan judicial review. Yang bikin ruwet adalah judicial review di Indonesia itu cuma bisa dilakukan karena 2 (dua) hal, yaitu menguji Undang-Undang dengan batu ujinya berupa Undang-Undang Dasar dan diujikan di Mahkamah Konstitusi. Dasar hukumnya ada di Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
BACA JUGA: DEMOKRASI OLIGARKIS
Yang satunya? Menguji peraturan perundang-undangan yang secara hierarki di bawah Undang-Undang dengan batu uji berupa Undang-Undang dan diujikan di Mahkamah Agung. Dasar hukumnya ada di Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 31 Ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan terakhir diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2009.
Permasalahannya adalah berdasar hierarki peraturan perundang-undangan, TAP MPRS kan berada di bawah Undang-Undang Dasar dan berada di atas Undang-Undang. Jadi gimana dong?
Kalau mau kita bawa ke Mahkamah Konstitusi, jelas gak bisa karena TAP MPRS kedudukannya ada di atas Undang-Undang. Dibawa ke Mahkamah Agung, makin gak bisa, wong batu uji judicial review di Mahkamah Agung kan Undang-Undang yang notabene berada di bawahnya TAP MPRS. Masak ya, TAP MPRS diuji dengan batu uji yang secara hierarki berada di bawahnya?
Pada akhirnya, baik Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung ini gak punya kewenangan untuk menguji TAP MPRS (beserta TAP MPR lainnya). Mungkin sudah saatnya kita memperlakukan TAP MPRS (beserta TAP MPR lainnya) selayaknya kitab suci yang hanya bisa direvisi oleh Tuhan sendiri selaku pihak yang mengundangkan kitab suci tersebut. Toh, TAP MPR juga cuma bisa dicabut kalau MPR mau mencabut, kan?